Pengurus Aswaja Center Tebuireng saat melakukan diskusi bersama Pengasuh Pesantren Tebuireng, di Ndalem Kasepuhan Tebuireng. (foto: sutan)

Tebuireng.online– Pengurus Aswaja Center Tebuireng Jombang melakukan silaturahmi dan diskusi di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng pada Kamis (27/03/2025) pukul 10.00 WIB. Rombongan disambut langsung oleh Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Machfudz. Adapun tema diskusi yang dibahas seputar al-muhafadhah ‘alal qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.

KH. Abdul Hakim Machfudz (Kiai Kikin) memberi pengantar menyinggung bahwa istilah tersebut belum ada formulasi tertentu. “Kita belum mampu menyimpulkan, atau membuat satu kaidah baru untuk bagaimana kita mengamalkan itu. Kita harus berpikir, karena perkembangan zaman yang terus berubah dan berkembang sangat luar biasa. Nah, kaidah-kaidah itu juga harus mengikuti perkembangan zaman. Kalau tidak, itu akan ditinggal,” kata beliau.

“Kita tahu kandungan dari Aswaja itu al-muhafadhah ‘alal qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, tapi untuk menformulasikannya kita kesulitan. Apalagi (kaidah) ini sudah bertahun-tahun, pasti tidak akan berkutat pada bahasa yang sama, sedangkan zamannya sudah berubah. Bahkan jenuh karena berkali-kali mendengar tapi tidak punya penjelasan yang nyata,” imbuh beliau.

Kiai Kikin menceritakan bahwa, Tebuireng itu juga visioner. Mulai dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dari awal belajar agama lalu bergabung ke banyak organisasi di tahun 1917 dan terus berkembang sampai sekarang.

“Mau tidak mau kita harus mengikuti perkembangan zaman,” ucap Ketua PWNU Jawa Timur ini.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Beliau menjelaskan, artinya kaidah (al-muhafadzah dst.) itu menjadi patokan. Seperti seekor kambing itu bisa ke mana-mana asalkan patoknya jangan dicabut. Kalau kita mau berkembang silahkan talinya diperpanjang tapi jangan dicabut patoknya. Al-shalih itu yang mana yang harus kita pertahankan.

Baca Juga: Aswaja Center Tebuireng, Kuatkan Faham Aswaja di Kalangan Santri

Lalu apa tujuannya, beliau mengutip dari pembukaan kitab Adabul Alim wal Muta’allim bahwa ada tujuan tauhid, iman, syariat, adab.

Pengasuh Pesantren Tebuireng yang juga Ketua PWNU Jatim, Kiai Kikin saat memimpin diskusi. (foto: sutan)

Diskusi berlanjut tentang asal usul kaidah (al-muhafadzah dst.). Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Dr. KH. Ahmad Roziqi, Lc., M.H.I., menyebutkan bahwa tim Tebuireng Institute berdiskusi dengan tim turats Tebuireng telah melakukan penelusuran lafad kaidah tersebut di maktabah syamilah tapi belum ditemukan. Lalu ada temuan menarik oleh Syafiq salah satu tim, bahwa kaidah ini pernah ditulis tahun 1950-an oleh Syekh M. Ghazali, salah satu ulama Al-Azhar. Tapi ada seniornya yang lebih dulu menulis, Dr. Abdullah Darraz telah menulis dengan redaksi yang sama persis, 4 April 1952.

Syekh Darraz dalam kitab Ad Din: Buhutsun Mumahhadah Li Dirasati Tarikhi Adyan, dalam kesimpulan disebutkan bahwa semua agama samawi itu ada dua unsur yang bisa mewujudkan manusia yang mencapai titik kebahagiaan.

“Pertama, unsur bagaimana mengaitkan umat hari ini dengan umat-umat terdahulu. Ada relasi antara syariat Yahudi, Nasrani, kemudian Islam. Itu yang mungkin kita ambil, dalam kajian teologi itulah yang ushul. Begitu pun dalam kajian fikih, tentu ada ushul-ushul yang sama di antara 3 relasi agama besar ini. Kedua, pembaharuan yang kita bahasakan akhdzu bi jadidil ashlah. Yaitu pembaharuan yang mempersiapkan masa depan untuk berkembang dan berkemajuan, untuk menyongsong masa depan yang baik dan sempurna. Bahasanya sama persis yang masyhur di kita,” jelasnya.

Jadi kaidah ini tidak hanya berkaitan dengan Islam saja. Kaidah ini pun bukanlah kaidah ushul atau kaidah fikih. “Pembacaan saya atas dua kitab ini, ialah kaidah ini merupakan guidence hidup yang sudah digariskan sejak agama itu diturunkan oleh Allah SWT. Ada titik temu, di antara 3 agama. Di Nahdlatul Ulama, kita tidak boleh tercerabut dari Hadratussyaikh. Penggalian terhadap apa yang dinilai beliau sebagai ‘al-qadimis sholih’ dan langkah-langkah apa yang diambil beliau sebagai perwujudan ‘al-akhdzu bil jadidil ashlah’, ini yang perlu didiskusikan dan dirumuskan dari kitab-kitab Hadratussyaikh,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Aswaja Center Jombang, Ustadz Abdul Majid menambahkan keterangan, bahwa kaidah itu ada di kitab nukhbatul afkar min masyuratil Akhyar wa Lialil Asfar karya Abi Abbas Zen Musthafa bin Ahmad Kasimi, karangan terbaru asal Indonesia.

“Jika kaidah itu memang digaungkan oleh Kiai Hasyim, kita butuh data yang terdiktat atau tercatat,” katanya.

Baca Juga: Seminar Aswaja Center NU Jombang

Selain itu, dalam paparan yang lainnya, KH. Yusuf Suharto, Dosen Ma’had Aly Denanyar, mengungkapkan, “Mbah Hasyim wafat tahun 47, punya murid KH Ahmad Shiddiq dan KH. Hasyim Latif. Keduanya menyebutkan kaidah/istilah (al-muhafadzah dst.) itu dalam bukunya masing-masing. KH Ahmad Shiddiq di bukunya, Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama tahun 1969, dan KH Hasyim Latif punya buku Penegak Panji Aswaja, menyebut istilah itu di dalam bukunya. Ini menarik, jika ternyata memang Kiai Hasyim lebih dulu  menyebut kaidah itu dibandingkan Syekh Darraz.

Foto bersama pengurus Aswaja Center Tebuireng usai melakukan diskusi. (foto: sutan)

Lalu tentang bagaimana Aswaja, Kiai Yusuf Suharto menjelaskan, tahun 60an jauh sepeninggal Kiai Hasyim. Eksistensi apa itu Aswaja pernah dibahas di Malang dengan mengundang kiai-kiai; salah satu yang hadir ada KH. Syansuri Badawi Tebuireng, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan seorang Habib ahli hadis untuk mendefinisikan Aswaja.

Masih dalam bahasan asal usul kaidah (al-muhafadzah dst.), Dr. Anang Firdaus, Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, menemukan data di catatan kaki buku Prof. Ahmad Zahro “Nahdlatul Ulama dan Wawasan Kebangsaan”, menyebutkan bahwa ‘kaidah’ ditulis dalam tanda kutip karena statusnya sebagai kaidah belum baku. Terbukti masih ada penyebutan lain seperti slogan, jargon, kata hikmah, etos, ini menurut KH. Aziz Masyhuri.

“Di catatan kaki buku yang sama, Kiai Aziz bilang berasal dari ungkapan Ahmad Amin. Dari Ahmad Amin lalu dikutip oleh Anwar Sadat Presiden Mesir dalam sebuah pidatonya. Prof Zahro ini mewawancarai Kiai Aziz pada 3 Maret 2001 di kantor PWNU Jatim. Sedangkan di Indonesia ini dipopulerkan oleh KH Ahmad Shiddiq dan Nurcholis Madjid. Yang kemudian diterima sebagai kaidah keberagaman oleh NU. Ini disebutkan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam ‘NU dan Generasi Baru’,” tambahnya.

Baca Juga: Penguatan Aswaja di Lingkungan Pesantren Tebuireng

Lanjutnya, pada catatan kaki yang lain, menyebutkan bahwa ungkapan (al-muhafadzah dst) berasal dari syair Muhammad Iqbal. Isu yang melekat M Iqbal adalah tajdid dan ishlah. “Tetapi saya kurang setuju kalau Kiai Hasyim terpengaruh M. Abduh. Kalau setuju dengan modernisasi, iya. Tapi kalau modernisasi dimaknai sebagai meninggalkan mazhab, itu tidak,” imbuhnya.

Sedangkan redaksi ini di kitab-kitab, tutur Pak Anang, ditulis juga oleh Syekh Abul Hasan An-Nadawi tetapi dalam redaksi yang berbeda. Al-Jam’u baina qodimis sholih wal akhdzu bil jadidin nafi’.

Diskusi berlanjut dengan pemaparan dan penajaman dari masing-masing pemateri. Ke depan, Aswaja Center Jombang akan mencoba merumuskan apa yang telah dibahas menjadi satu produk yang bisa dinikmati banyak kalangan khususnya generasi muda. Seperti arahan dari Kiai Kikin, tugas kita membuat konsep dan mendefinisikan ulang apa itu Aswaja dan kaidah al-muhafadzah dst.



Pewarta: Sutan