
Belakangan ini, jagat media sosial diramaikan oleh sebuah video yang memperlihatkan anak kecil menjerit histeris saat hendak dipondokkan. Video tersebut diunggah oleh akun Instagram @nadhirsyahhosen_official dan menuai beragam reaksi. Pertanyaannya: apakah keputusan memondokkan anak tersebut lahir dari keinginannya sendiri, atau justru paksaan dari orang tua?
Dalam masyarakat kita, ada anggapan bahwa pendidikan agama terbaik hanya bisa diperoleh melalui pesantren. Banyak orang tua berlomba-lomba memasukkan anak ke pesantren sejak usia dini, dengan harapan anak akan tumbuh menjadi pribadi religius dan saleh. Namun, apakah ini satu-satunya jalan? Dan apakah benar ini adalah jalan yang selalu aman bagi kesehatan mental anak?
Tanggung jawab mendidik anak dalam hal agama seringkali dibebankan pada ibu semata, dengan dalih bahwa “ibu adalah madrasah pertama bagi anak.” Namun, narasi ini sering menyingkirkan peran ayah dalam proses pendidikan, baik secara spiritual maupun emosional. Ketika anak menangis histeris memanggil ibunya dalam video tersebut, pertanyaan yang muncul adalah: di mana ayahnya? Mengapa figur ayah tidak hadir secara emosional dalam momen sepenting itu?
Baca Juga: Pesantren Tidak Dapat Diidentikkan dengan Aksi Bullying
Padahal, dalam pengasuhan yang sehat, baik ibu maupun ayah memiliki peran vital. Kedua orang tua harus saling berbagi tanggung jawab dalam membentuk karakter anak, baik dari segi agama, moral, maupun kesehatan mental.
Memondokkan Anak, Pilihan atau Paksaan?
Memondokkan anak sejak dini memang bukanlah hal yang salah. Banyak anak yang tumbuh menjadi pribadi tangguh dan religius karena didikan pesantren. Namun, penting untuk dicatat bahwa setiap anak berbeda. Tidak semua anak siap secara mental dan emosional untuk tinggal jauh dari orang tua, terutama di usia yang masih sangat belia.
Anak usia 5-7 tahun belum memiliki kematangan emosional yang cukup untuk menghadapi dunia luar tanpa kehadiran figur yang membuatnya merasa aman, yakni orang tuanya. Jika proses pemondokan dilakukan tanpa kesiapan anak, hal ini dapat berdampak pada kesehatan mental mereka, bahkan hingga dewasa.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10 hingga 20 persen anak dan remaja mengalami gangguan mental. Setengah dari seluruh gangguan mental dimulai pada usia 14 tahun, dan sekitar 75 persen muncul sebelum usia 20-an. Bahkan anak usia lima tahun pun sudah bisa mengalami gangguan mental, mulai dari perubahan suasana hati, gangguan tidur, hingga kecemasan yang berlebihan.
Tak sedikit orang tua yang berdalih bahwa mereka memondokkan anak demi mendapatkan pendidikan agama yang layak. Namun, bukankah membekali anak dengan ilmu agama adalah kewajiban utama orang tua, yang bisa dimulai dari rumah sejak anak masih balita?
Agama tidak sepatutnya dijadikan tameng untuk menutupi ketidaksiapan atau ketidakmampuan orang tua dalam mendidik. Jika anak tidak mendapat bimbingan agama yang cukup dari rumah, lalu kelak enggan merawat orang tua di masa tua, tidakkah kita perlu menelusuri akar permasalahan itu? Bisa jadi, luka masa kecil dan pengalaman traumatis menjadi penyebabnya.
Pentingnya Persiapan Mental Orang Tua
Sebelum memutuskan untuk menikah dan memiliki anak, pasangan perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang parenting dan perkembangan psikologis anak. Anak bukan objek eksperimen. Mereka adalah individu yang memiliki hak untuk merasa aman, dicintai, dan dihargai. Orang tua wajib mengevaluasi keputusan besar seperti pemondokan berdasarkan kesiapan anak, bukan semata-mata ambisi orang tua.
Baca Juga: Hati-hati! Ekspektasi Orang Tua Bisa Membunuh Mental Anak
Sebelum memasukkan anak ke pesantren, ada beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab:
- Apakah anak sudah siap secara emosional?
- Apakah anak merasa nyaman dengan lingkungan pondok?
- Apakah pondok tersebut memiliki sistem pengawasan dan perlindungan yang baik bagi anak-anak?
- Apakah anak memiliki suara dalam keputusan tersebut?
Jangan sampai dalam upaya menanamkan nilai agama, kita justru mengabaikan hak dasar anak atas kasih sayang, kenyamanan, dan kesehatan mental.
Anak adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga, tidak hanya secara fisik, tapi juga mental dan emosional. Memberikan pendidikan agama adalah kewajiban, namun cara dan waktunya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan anak. Jangan sampai, dalam nama agama, kita melukai jiwa anak yang semestinya kita lindungi.
Pendidikan agama dan kesehatan mental anak tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan seiring, asalkan orang tua mau belajar, mendengarkan suara anak, dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan besar. Sebab, luka masa kecil yang tidak ditangani dengan bijak bisa berubah menjadi trauma yang berkepanjangan.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary