
Namanya Fauzi, santri kelas akhir di sebuah pesantren tua di Cirebon. Ia dikenal pendiam, tidak menonjol, tapi selalu taat. Ibunya sudah lama wafat. Ayahnya, yang biasa ia panggil ‘Abah’, bekerja sebagai tukang parkir di pasar. Hidup pas-pasan, tapi selalu cukup.
Menjelang Idul Adha, pesantren tempat Fauzi belajar mengumumkan bahwa para santri boleh membawa hewan kurban jika orang tuanya mampu. Tapi juga membuka kesempatan untuk ikut dalam “kurban gotong royong” dimana semua santri bisa ikut menyumbang, berapa pun nilainya.
Malam itu, Fauzi menulis surat untuk ayahnya:
“Bah, kalau Abah gak bisa bantu untuk kurban, Fauzi gak apa-apa. Tapi Fauzi ingin ikut patungan kurban bareng teman-teman. Boleh Fauzi jual sarung yang Abah kasih dulu waktu Fauzi masuk pesantren?”
Sarung yang dimaksud adalah satu-satunya sarung bagus yang ia punya. Sarung itu pemberian sang Abah, bekas milik almarhum kakeknya, motifnya klasik, benangnya lembut, dan bagi Fauzi, nilainya bukan pada harga, tapi pada kenangan.
Surat itu tak pernah dikirim. Tapi Fauzi tetap menjual sarung itu diam-diam ke penjual keliling yang biasa mampir ke pesantren. Uangnya tak banyak, hanya Rp50.000. Namun ia berikan seluruhnya ke kotak infak kurban.
Baca Juga: Bolehkah Daging Kurban Dijadikan Upah untuk Tukang Sembelih?
Saat panitia tahu, mereka menahan air mata. Salah satu ustadz bahkan mencari sarung itu kembali, dan mengembalikannya ke Fauzi, dengan berkata:
“Nak, kalau kamu bisa ikhlas sampai segini, insyaAllah, Allah terima kurbanmu lebih dari seekor kambing.”
Kisah nyata di atas dapat kita jadikan renungan, bahwa Hari Raya Idul Adha bukan hanya tentang penyembelihan hewan kurban. Ia adalah panggung refleksi spiritual tentang apa yang kita korbankan demi Allah, dan tentang sejauh mana keikhlasan kita diuji dalam menanggalkan sesuatu yang kita cintai.
Iman yang Menuntut Bukti
Iman dalam Islam bukan sekadar keyakinan kosong. Iman menuntut konsekuensi, yaitu pembuktian dalam tindakan. Nabi Ibrahim a.s., adalah contoh abadi dari implementasi iman yang dibuktikan. Ketika diperintah Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail a.s.,, beliau tidak sekadar mengiyakan dengan lisan. Meski sempat ragu, beliau tetap bergerak, bersiap, dan mengeksekusi perintah tersebut, hingga Allah menggantikan Ismail dengan seekor kambing. Ini bukan sekadar sejarah pengorbanan, tetapi kisah iman yang melewati titik ekstrem, titik di mana logika manusia diuji oleh cinta kepada Tuhan. Idul Adha adalah warisan iman ini. Ia mengajarkan bahwa ketaatan sejati bukan yang mudah dan ringan, tetapi yang mengalahkan ego dan rasa memiliki.
Eman, Ketakutan Melepaskan
Menariknya, dalam bahasa Jawa atau Melayu klasik, kata ‘eman’ sering dipakai untuk menyebut rasa sayang berlebih hingga enggan melepaskan. “Eman sapi bagus dipotong,” “eman uang saku untuk bersedekah,” dan seterusnya. ‘Eman’ adalah cermin rasa memiliki yang tinggi, tetapi kadang menahan seseorang dari tindakan kebaikan.
Di sinilah terjadi benturan antara ‘iman’ dan ‘eman’. Seringkali, yang membuat seseorang tidak mau berkurban bukan karena tidak percaya pada Allah, tapi karena terlalu ‘eman’ pada hartanya. Terlalu ‘eman’ pada kenyamanan. Terlalu ‘eman’ pada status sosial, pada waktu, pada nama baik. Hingga akhirnya, ‘iman’ tertahan oleh ‘eman’. Padahal, dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
“لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَۗ”
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Baca Juga: Memilih Hewan yang Baik untuk Kurban
Ayat ini menegaskan bahwa jalan menuju birr (kebaikan sejati) adalah menundukkan rasa ‘eman’, dan membuktikan ‘iman’.
Idul Adha sebagai Latihan Melepaskan
Setiap kita punya “Ismail” dalam hidup: sesuatu yang kita cintai, yang kita genggam erat. Bisa harta, waktu, jabatan, atau bahkan dendam. Idul Adha datang sebagai latihan spiritual untuk melepaskan. Bukan untuk menderita, tapi untuk menunjukkan bahwa hati kita tidak terikat pada dunia, melainkan pada Tuhan semesta alam.
Kurban dalam konteks ini bukan hanya ritual tahunan. Ia adalah simbol pengendalian diri dan pengakuan bahwa yang kita miliki sejatinya hanyalah titipan. Dalam dunia yang semakin materialistik, pesan ini terasa makin penting dan relevan.
Baca Juga: Meningkatkan Kualitas Iman dari Keikhlasan Berkurban
Jika ‘iman’ adalah bahan bakar spiritual kita, maka ‘eman’ harus dikendalikan agar tidak menjadi rem penghambat. Idul Adha mengajak kita melihat ke dalam; apakah yang kita korbankan sudah mencerminkan iman kita? Ataukah kita masih terhalang oleh rasa ‘eman’?
Penulis: Ali Subchan, Pembelajar di MTs Sains Salahuddin Wahid Tebuireng.
Editor: Rara Zarary