Sumber gambar: nuansahati.com

Oleh: Silmi Adawiyah*

Di kalangan para pecinta sastra tasawuf, nama Jalaluddin Rumi tidak asing lagi. Karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarkat muslim, tetapi juga masyarakat Barat. Karena itu, tak mengherankan jika karya sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya.

Dalam puisinya, Rumi banyak menyelipkan pesan indah untuk manusia dari zamannya hingga kini. Salah satu nilai yang tersirat dalam puisinya adalah nilai tawakkal. Dimana manusia berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Dalam QS Ali Imran ayat 259 disebutkan:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Rumi melukiskan betapa pasrah dan tawakal akan menemui Sang kekasih idaman, menyatukan diri dengan kewujudan itu sendiri. Dalam puisinya, ia menuliskan:

Bila awan tidak menangis

Mana mungkin taman akan tersenyum

Sampai anda telah menemukan rasa sakit

Anda tidak akan mencapai obatnya

Sampai hidup anda sudah menyerah

Anda tidak akan bersatu dengan jiwa tertinggi

Sampai anda telah menemukan api dalam diri anda

Seperti teman, anda tidak akan mencapai musim semi kehidupan

Dalam bait di atas sesuai dengan penjelasan Imam Nawawi dalam syarah Qami’ Tughayan bahwa tawakal ada tiga tingkatan. Yaitu tingkatan pertama seperti seseorang yang mewakilkan sesuatu kepada orang lain, tingkatan kedua seperti ketergantungan bayi pada ibunya, dan yang ketiga seperti mayat dihadapan orang yang memandikan. Dan yang nomor tiga inilah tawakal yang paling tinggi, dalam bait di atas ada kecamuk tangis, rasa sakit, kepedihan, dan kalau itu bisa dilalui maka ia akan mencapai kepasrahan kepada Jiwa tertinggi.

Cukuplah bagi Rumi menjadi sebuah kerinduan pertemuan dengan Sang Jiwa tertinggi, dan kerinduan itu dapat ditemukan jika ada kepasrahan kepada Sang Khaliq. Karena dalam surat indahnya, Allah menyebutkan:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

*Penulis adalah alumnus Unhasy Tebuireng dan Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan tinggi di UIN Jakarta.