Suasana santri baru saat mengikuti Masa Orientasi Santri Baru (foto: panitiamosba-tebuireng)

Setiap awal tahun ajaran, ratusan ribu anak Indonesia memulai perjalanan barunya di dunia pesantren. Mereka datang dengan berbagai latar belakang; dari pelosok desa hingga jantung kota. Beberapa datang dengan semangat membara, sementara yang lain masih menyimpan rasa cemas, asing, bahkan takut. Tidak sedikit orang tua yang menyembunyikan air mata saat meninggalkan buah hati mereka di balik pagar pondok. Namun satu hal yang pasti, pesantren adalah tempat yang bukan hanya menanamkan ilmu agama, tapi juga membentuk karakter dan ketangguhan hidup.

Baca Juga: Antara Pendidikan Agama dan Kesehatan Mental Anak

Dari Rumah ke Dunia Baru

Adaptasi santri baru bukanlah proses yang sepele. Bayangkan seorang anak usia 12-15 tahun yang terbiasa bangun pukul enam pagi, kini harus membuka mata sebelum adzan Subuh berkumandang. Jika biasanya makanan disiapkan oleh ibu, kini ia harus antre dan mencuci piring sendiri. Jika di rumah kamar hanya dihuni satu atau dua orang, kini ia tinggal dalam satu asrama bersama belasan bahkan puluhan teman.

Perubahan ini mengejutkan, dan tidak semua anak siap. Beberapa minggu pertama adalah masa kritis. Banyak santri baru mengalami apa yang disebut sebagai “culture shock pondok.” Fenomena ini mirip dengan yang dialami para mahasiswa baru di perantauan, namun dengan nuansa yang lebih dalam karena terjadi pada usia yang lebih muda dan dalam ruang lingkup yang sangat religius dan disiplin tinggi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun, seperti juga dalam kehidupan umum, adaptasi adalah soal waktu dan sikap. Mereka yang mampu menerima dan memahami perubahan akan tumbuh menjadi pribadi tangguh dan mandiri. Inilah yang menjadi nilai utama pendidikan pesantren.

Kehidupan di Pesantren: Disiplin dan Kemandirian

Bagi banyak santri, pesantren adalah “dunia kedua”. Dunia ini penuh dengan rutinitas padat: dari bangun subuh, salat berjamaah, belajar kitab kuning, hingga kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka atau seni hadrah. Rutinitas ini bisa sangat melelahkan, tetapi justru membentuk pola hidup yang teratur dan disiplin.

Kemandirian adalah nilai lain yang sangat ditekankan. Anak-anak yang terbiasa dilayani di rumah kini belajar mencuci pakaian sendiri, merapikan tempat tidur, mengatur keuangan harian, bahkan belajar memimpin doa atau menjadi imam salat. Ini adalah pengalaman yang luar biasa dan jarang didapatkan di sekolah formal.

Yang juga tidak kalah penting adalah kuatnya nilai komunitas. Di pesantren, anak-anak belajar hidup dalam kebersamaan. Mereka belajar menyelesaikan konflik kecil, berbagi makanan, menjaga rahasia teman, dan saling mendukung dalam kesulitan. Kehidupan bersama ini menumbuhkan rasa solidaritas dan empati, kualitas yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat modern yang semakin individualistik.

Baca Juga: Serba-serbi Mosba, Alasan Mereka Milih Mondok

Salah satu tantangan terbesar adalah kekhawatiran dari orang tua. Kekhawatiran ini wajar dan manusiawi, terutama bagi mereka yang belum pernah mengalami kehidupan pesantren. Mereka takut anaknya sakit, kelaparan, dibully, atau merasa kesepian.

Namun, pengalaman menunjukkan bahwa justru anak-anak yang diasah di pesantren cenderung tumbuh lebih matang, dewasa sebelum waktunya. Mereka memiliki daya tahan mental yang lebih baik, kemampuan sosial yang lebih tinggi, dan yang paling penting: fondasi nilai keagamaan yang kokoh.

Tugas orang tua bukanlah menghapuskan semua kesulitan yang akan dihadapi anak, tapi membekali mereka dengan kesiapan mental. Alih-alih menakut-nakuti, orang tua bisa mulai membangun narasi positif tentang pesantren sebagai “tempat latihan hidup”. Bercerita tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW pun mengalami kesulitan dalam membentuk masyarakat Madinah, atau bagaimana para ulama besar dahulu menempuh perjalanan panjang mencari ilmu sejak kecil, bisa menjadi motivasi kuat bagi anak.

Tips untuk Santri Baru dan Orang Tua

Agar proses adaptasi berjalan lancar, berikut beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh santri baru dan orang tua:

  1. Persiapan Mental Sebelum Masuk: Lakukan simulasi kehidupan pesantren di rumah. Bangun lebih pagi, biasakan mencuci sendiri, dan kurangi penggunaan gadget beberapa minggu sebelum masuk.
  2. Komunikasi Terbuka dan Positif: Bangun komunikasi yang positif antara anak dan orang tua. Jangan membuat anak merasa bersalah karena “meninggalkan” rumah, tapi yakinkan bahwa ini bagian dari perjalanan mereka menjadi hebat.
  3. Bawa Barang Pribadi yang Nyaman: Misalnya selimut kesayangan, foto keluarga, atau buku favorit yang bisa menjadi “teman” di hari-hari awal.
  4. Libatkan Anak dalam Pilihan Pesantren: Jika memungkinkan, ajak anak untuk memilih sendiri pesantren yang akan mereka tempati. Rasa memiliki akan tumbuh jika mereka merasa keputusan ini adalah bagian dari pilihan mereka.
  5. Beri Waktu: Jangan panik jika anak menangis atau minta pulang di minggu pertama. Ini adalah fase yang normal dan akan berlalu.

Baca Juga: Santri Baru Kenali Sistem Sorogan dan Bandongan di Tebuireng

Pesantren bukan tempat pelarian, tapi tempat penempaan. Ia bukan hanya mencetak ulama, tapi juga pemimpin, guru, wirausahawan, dan profesional yang tangguh dan berintegritas. Menjadi santri adalah sebuah proses yang menantang namun sangat membentuk.

Untuk para orang tua, percayalah bahwa anak-anak Anda sedang menapaki jalan menuju kedewasaan. Untuk para santri baru, bersabarlah dan terbukalah terhadap pengalaman baru. Kalian sedang memulai salah satu perjalanan paling berharga dalam hidup. Dan kelak, ketika kalian sudah lulus, kalian akan menyadari bahwa pondok adalah rumah kedua yang paling kalian rindukan.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary