Cak Jahlun-Salah AmbilMasa-masa awal mondok adalah masa-masa sulit bagi santri baru. Karena pikiran mereka masih terbagi antara kehidupan di pondok dan ingatan di rumah. Oleh sebab itu, banyak para orang tua yang menitipkan anaknya di pondok kepada kakak pembina atau santri senior yang ada di kamar atau asrama.

Tak ketinggalan tokoh kita, Cak Jahlun, mendapatkan titipan dari Pak Sobrun, orang tua Paijo, agar membimbing anaknya selama di pondok. Amanat ini langsung diterima oleh Cak Jahlun dengan senang hati. Bukan karena teringat nasehat kyai pada kuliah shubuh kemarin “Setiap santri senior harus membimbing adik-adiknya di kamar dengan baik,” namun karena ada pikiran jahiliah yang menghinggapinya. “Wah kalau lihat penampilannya yang necis, pasti orang kaya dan salam tempelnya gede nih.” Pikirnya.

Waktu yang ditunggu-tunggupun akhirnya tiba. Pada saat orang tua Paijo akan pamitan pulang. Cak Jahlunpun nempel kayak prangko. Pak Sobrun merogoh saku celananya dan mengambil kertas berwarna kemerah-merahan seukuran uang dan menyerahkan kepada Cak Jahlun sambari bersalaman pamitan. Namun bukan Cak Jahlun namanya kalau tidak sok emoh-emoh, padahal di dalam hatinya sudah berbunga-bunga “Warna merah, pasti dapat seratus ribuan nih.!” Tanpa babibu lagi Cak Jahlun cepat-cepat memasukkannya ke dalam saku bajunya, malu takut ketauan orang. Sesampainya di kamar ia penasaran dengan salam tempel yang diberikan Pak Sobrun tadi. Maka dirogohnya kertas seukuran uang tersebut. Alangkah kagetnya ia ketika dilihatnya carikan kertas tersebut bukan uang seratus ribuan, melainkan karcis bis antar kota yang telah mengantarkan Pak Sobrun sampai ke pondok. “Walaah, Apes aku” ujarnya sambil memukul kepalanya. []

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online