
Tikar di Serambi
Ibu menjemur tikar
sejak pagi,
menyapu halaman yang penuh daun gugur—
seolah menyiapkan
tempat terbaik untuk anak-anaknya pulang.
Ayah menyiapkan tali tambang
dan pisau paling tajam,
sembari bercerita,
“Dulu kamu takut lihat darah,
sekarang malah motongin sendiri.”
Aku pulang
dengan rindu dan napas sedikit lelah,
menemukan bahwa
tak ada yang lebih suci dari
tangan Ibu yang memeras kelapa,
dan punggung Ayah yang tak pernah minta dihormati,
tapi selalu layak dimuliakan.
Hari ini, Idul Adha—
dan aku ingin sujud lebih lama
di atas tikar tua itu,
tempat di mana cinta
tak pernah dipotong atau disembelih.
Kambing, Ketupat, dan Kebahagiaan
Anak-anak bersorak
saat kambing digiring ke halaman.
Bau rumput, jerami, dan keringat
berbaur dengan
takbir yang gemetar di langit kampung.
Ketupat bergelantungan di dapur
seperti doa-doa yang sedang dijemur.
Daging dipotong, dibagi rata,
dan kebahagiaan
mengalir dari panci-panci kuah opor
menuju ruang tengah—
tempat semua duduk bersila,
tertawa tanpa merasa kekurangan apa pun.
Hari raya bukan soal kemewahan,
tapi tentang siapa yang duduk di sekitarmu,
dan bagaimana kamu bersyukur
untuk secuil daging
dan sepotong ketupat
yang dibumbui cinta tak terukur.
Pulang
Pulang itu
tidak selalu tentang perjalanan—
kadang tentang perasaan,
saat kamu menyentuh tangan Ibu
dan air matanya lebih dulu mengucap salam.
Pulang itu
ketika suara ayam tetangga
lebih indah dari notifikasi HP,
dan kamu tiba-tiba hafal lagi
suara azan dari musala kecil
yang dulu kamu anggap terlalu bising.
Idul Adha kali ini,
aku tak membawa banyak—
hanya tubuh yang lelah,
rindu yang sesak,
dan satu janji kecil:
aku ingin jadi anak baik
yang tidak hanya pulang saat hari raya,
tapi juga membawa bahagia
untuk yang menungguku setiap hari.
Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary