Setelah diluncurkannya proyek modernisasi pada dekade 60-an yang dipromotori oleh rezim-rezim pasca kolonial di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, pada saat itu juga istilah “Islam tradisionalis” dan “Islam modernis” muncul di wajah perbincangan para peneliti Islam di Indonesia. Kedua istilah tersebut dikenalkan sebagai identifikasi antara umat Islam di Indonesia yang dianggap bersifat konservatif dan progresif dalam menyambut perubahan dunia.

Sejumlah penemuan atas pengamatan sikap kaum muslim di Indonesia dalam menghadapi modernisasi, seperti yang disampaikan Fazlur Rahman, Deliar Noer, dan A. Mukti Ali bahwa Islam modernis lebih identik akan karaktereristik dominannya pada keharusan berijtihad, sementara Islam tradisionalis berkarakteristik sebaliknya (Wahid, 2012).

Artinya, di atas panggung perubahan yang merambah di Indonesia, arus pemikiran utama kaum Islam modernis selalu identik dengan gerakan progresif dengan pembaharuan Islamnya yang mengoreksi atas Islam tradisionalis yang cenderung dipersepsikan dengan sikap konservatif, sinkretis dan berbaur dengan khurafat dan takhayyul serta munutup pintu ijtihad rapat-rapat.

Pada gilirannya, sebagian pendapat megnatakan bahwa Islam tradisionalis di Indonesia diidentikkan pada warga Nahdlatul Ulama yang sangat kuat dalam menjaga tradisinya dalam menyambut arus gerak perubahan dunia, sementara gerakan Islam modernis disematkan pada muslim Muhammadiyah yang cenderung bersikap progresif, yang keduanya sangat antusias dalam menghadapi perubahan zaman.

Sikap kaum tradisionalis terhadap diskursus ijtihad yang menganggap cukup dengan apa yang dihasilkan oleh pemikiran empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali, telah menjadi bahan tuduhan massif bahwa kaum tradisioanlis tidak bisa mengakomodir kebutuhan modern yang tidak bisa terelakkan dalam kelindan kehidupan manusia. Di samping itu, tradisi taqlid (mengikuti sesuatu tanpa pengertian) di kalangan kaum tradisionalis masih mengakar kuat dan diyakini sebagai sesuatu yang wajib.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun sebaliknya, diskursus ijtihad yang diidentikan kepada kaum ,odernis lebih bersifat terbuka dan bahkan menjadi sebuah keharusan, terlebih berijtihad dalam persoalan mu’amalah (interaksi sosial). Tak hanya itu, mereka juga menolak terhadap sikap jumud (stagnan) dan taqlid. Dari sini terasa ada kesan kuat yang melahirkan dikotomisasi antara Islam Tradisionalis dan Islam Modernis, yang keduanya seakan dikontraskan dalam asumsi publik.

Sehingga beberapa pandangan yang mendiskreditkan kaum tradisionalis dalam menghadapi modernisasi tak dapat lagi dibendungkan. Dengan kata lain, kaum tradisionalis seringkali dipersepsikan sebagai kelompok yang anti atau kurang dalam semangat etos progresivisme sosial. Tentu saja persepsi ini masih bercokol hingga saat ini.

Namun demikian, kenyataan sosial yang ada telah menggambarkan, bahwa tidak semuanya kaum tradisioanlis anti terhadap modernisasi, dalam tubuh kaum Nahdliyyin ada juga yang bersikap progresif bahkan liberal. Begitu juga sebaliknya, Muhammadiyah yang selama ini dipersepsikan sebagai Islam modernis, ada juga yang bersikap literal yang identik dengan “kanan”.

Kita dapat melihat sikap progresif pada tubuh kaum tradisionalis NU, melalui Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) tahun 1992 di Bandar Lampung. Yang darinya lahir sebuah hierarki baru dalam mengambil sebuah keputusan hukum atas persoalan baru yang belum memiliki kepastian hukumnya.

Hierarki itu terdiri dari: pertama, merujuk langsung kepada teks-teks kitab mazhab. Kedua, jika tidak ditemukan jawaban darinya, maka dilakukan prosedur ilhaqul masa’il bi nadzoiriha, menyamakan kasus baru yang tidak memiliki kepastian hukumnya dengan kasus mirip yang ada ketetapan hukumnya dalam literatur kitab mazhab. Ketiga, jika cara pertama dan kedua tidak dimungkinkan menjawab sebuah persoalan, maka dilakukanlah bermazhab secara manhaji, dengan mencari jawaban tidak melalui tekstualnya (qouli), melainkan melalui metodelogi yang digunakan empat mazhab dalam meng-istinbath-kan sebuah hukum (Abdalla, 2022).

Artinya, kaum tradisionalis tidak serta merta menutup diri dan menghindar dari perubahan zaman demi menjaga tradisinya, ia menggunakan cara yang berbeda tetapi sama dengan kaum Islam modernis dalam menghadapi perubahan. Akan tetapi, kaum tradisionalis lebih cenderung berhati-hati dalam mengambil keputusan atas persoalan baru yang belum ada kepastian hukumnya.

Mereka (kaum tradisionalis), lebih bersikap menafsir ulang terhadap tradisinya untuk menjawab tantangan baru yang lahir dari modernisasi. Sebab persoalan fikih untuk menjawab kebutuhan umat modern –meminjam istilah Kiai Sahal— memiliki dua aspek: langit (samawi) dan bumi (kebutuhan sosial), yang keduanya harus dipertimbangkan. Dalam artian sebuah jawaban fikih harus memenuhi kebutuhan umat tanpa meninggalkan tradisi transendentalnya.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, antara kaum Islam tradisionalis dan Islam modernis tidak lagi dapat dikontraskan dengan mengatakan: Islam tradisionalis berarti anti atau bukan Islam modernis. Keduanya tidak lagi dapat dipertautkan secara literal, dengan kata lain kaum tradisionalis bukan berarti ia anti modernisme, sebab terdapat banyak sisi progresif dalam pemikiran kaum tradisionalis dalam menghadapai tantangan global akhir-akhir ini.

Sebut saja, Kiai Sahal Mahfudz dengan buku Nuansa Fiqh Sosialnya (1994) yang mererspons problematika sosial masyarakat muslim di belantara modernitas. Dengan gagasannya, Kiai Sahal mampu mangakomodir persoalan modern tanpa meninggalkan fikih dari sisi tradisi dan transendennya. Gagasannya pun masih relevan hingga saat ini.

Selanjutnya, hadir Kiai Husein Muhammad dengan pemikiran progresifnya.  Darinya lahir buku Menuju Fiqih Baru (2020). Dalam bukunya, Kiai Husein menyadari akan stagnansi pemikiran hukum Islam dalam tubuh umat muslim. Sehingga Kiai Husein sangat menyoroti akan pentingnya pembaruan agar hukum Islam dapat merespon realitas baru seperti zakat apartemen, saham dan industri. Beliau juga sangat menekankan pentingnya membaca teks agama secara kontekstual agar Islam tetap relevan di era modern ini.

Keduanya adalah tokoh yang lahir dan tumbuh di lingkungan Islam tradisionalis, namun keduanya bersikap progresif dan terbuka dalam menghadapi persoalan umat dan modernisasi. Tentu saja masih banyak tokoh dari kalangan tradisionalis yang bersikap sama bahkan lebih dari keduannya. Dengan demikian, masihkah Islam tradisionalis dipersepsikan sebagai kelompok yang anti perubahan? Wallahu A’lam Bi Showwab.

Baca Juga: Modernisasi Pesantren, Inovasi dan Internalisasi Transformatik (Bagian I)

Penulis: Muhammad Asyrofudin

Editor: Muh Sutan