Santri Pondok Pesantren al-Hikam belajar memainkan wayang potehi secara langsung dari sang maestro, Pak Widodo. Sumber foto: penulis
Santri Pondok Pesantren al-Hikam belajar memainkan wayang potehi secara langsung dari sang maestro, Pak Widodo. Sumber foto: penulis

Di sebuah sudut kecil Gudo, Jombang, panggung merah sederhana berdiri di depan Klenteng Tua. Setiap malam pukul tujuh di Klenteng Gudo, suara tabuhan tambur dan denting alat musik tradisional menggema, membuka tirai merah tempat boneka-boneka kain itu akan tampil. Wayang Potehi, seni pertunjukan khas budaya Tionghoa yang telah hidup sejak ratusan tahun lalu, kembali menghidupkan cerita di atas panggung kecil. Di balik layar, ada tangan-tangan penuh cinta yang tak hanya memainkan karakter, tapi juga menjaga warisan budaya dari kepunahan.

Pusat Wayang Potehi di Jombang

Gudo, sebuah daerah di Kabupaten Jombang, telah lama menjadi rumah bagi kesenian wayang potehi. Di balik bertahannya potehi di Gudo, nama Pak Toni Harsono tak bisa dilewatkan. Ia adalah pelestari utama, pendiri Museum Potehi di Gudo, dan penerus generasi seniman potehi sejak kakek dan ayahnya. “Pak Toni itu luar biasa. Semua alat panggung, kostum, alat musik semua disediakan sendiri. Bahkan kalau mau pinjam, dipakai gratis,” ujar Pak Widodo. Bagi Pak Toni, potehi bukan hanya warisan keluarga, tapi warisan bangsa. Ia tidak memungut biaya untuk pemakaian alat-alat tersebut, sebagai bentuk dedikasinya.

Bahkan Pak Toni menyebut visinya sebagai “Potehi Indonesia”, bukan sekadar ritual klenteng, tapi budaya yang bisa tampil di berbagai acara seperti pernikahan, ulang tahun, perayaan Imlek, hingga pentas di gereja dan pondok pesantren. Semua itu bentuk dari moderasi beragama.

Dalang dan Perjalanan Tradisi

Salah satu dalang aktif yang memainkan wayang potehi di Gudo adalah Pak Widodo sendiri. Ia memulai perjalanannya sejak 1993 sebagai asisten dalang, hingga akhirnya resmi menjadi dalang utama pada 2011. Kecintaannya tumbuh sejak kecil karena tinggal dekat dengan klenteng.

Menjadi dalang potehi bukan hal mudah. Tak hanya menggerakkan boneka tangan, seorang dalang juga harus menghidupkan tokoh lewat suara dan karakter. Pak Widodo belajar secara otodidak. “Dulu saya belajar ngomong sendiri di rumah, seperti sandiwara radio. Saya pelajari semua suara dan karakter, dari yang lembut sampai yang tegas,” ujarnya. Teknik itu ia sebut sebagai “bogosworo”, kenangnya sambil tertawa kecil.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wayang potehi tak mengenal sinden atau narator seperti wayang kulit. Semua dibawakan dalang. “Kalau wayang kulit kan ada sindennya. Kalau potehi, dalangnya yang harus hidupin semua tokohnya,” tambahnya.

Cerita dan Tokoh dalam Potehi

Cerita yang dimainkan dalam wayang potehi berakar dari legenda-legenda klasik Tiongkok, seperti kisah Dinasti Tong, sejarah kerajaan Tiongkok kuno, atau legenda rakyat yang mengandung nilai moral dan spiritual. Tokoh-tokohnya pun beragam, ada yang mewakili dewa-dewi seperti Dewi Samudra atau Dewa Samudra, ada pula tokoh pahlawan dan raja.

Setiap cerita biasanya dipilih berdasarkan kesepakatan panitia klenteng dan melalui ritual khusus. “Biasanya disembahyangi dulu. Cerita yang akan dimainkan ditentukan setelah mendapat izin secara spiritual,” ujar Pak Widodo.

Musik dan Unsur Pertunjukan

Pertunjukan wayang potehi biasanya dibawakan oleh lima orang, dua dalang dan tiga pemusik. Musik menjadi elemen penting dalam menghidupkan emosi dan suasana. Alat musik yang digunakan meliputi tambur, kendang, genjreng, dan toa, yang semuanya dimainkan secara langsung. “Satu orang pemusik bisa pegang dua sampai tiga alat musik. Jadi meskipun pemainnya sedikit, suaranya tetap kaya dan meriah,” kata Pak Widodo.

Durasi pertunjukan biasanya mencapai empat jam, dibagi menjadi dua sesi, pukul 15.00–17.00 dan pukul 19.00–21.00. Namun, hal itu bisa berubah tergantung permintaan dan kepercayaan panitia penyelenggara.

Sejarah dan Perkembangan

Wayang potehi berasal dari Cina Selatan, dari komunitas Hokkian. Kata “potehi” sendiri berasal dari tiga suku kata dalam dialek Hokkian, “po” berarti kain, “te” berarti kantong, dan “hi” berarti pertunjukan. Jadi potehi secara harfiah adalah pertunjukan boneka kain.

Banyak versi cerita asal mula wayang potehi. Menurut cerita yang beredar, potehi bermula dari lima narapidana yang dijatuhi hukuman mati. Dua di antaranya memutuskan untuk menghibur diri sebelum hukuman mati diberikan, dengan membuat pertunjukan kecil dari sapu tangan. Ternyata pertunjukan itu menarik perhatian raja, yang akhirnya membebaskan mereka dan meminta mereka tampil di istana. Dari situlah seni ini terus berkembang.

Di Indonesia, wayang potehi pernah mengalami dua masa yang penuh pembatasan dengan alasan yang berbeda, tapi dampaknya sama: panggung sunyi, boneka diam, dan cerita yang tak bisa didongengkan. Masa pertama, ketika Orde Baru masih berkuasa. Identitas Tionghoa dianggap sensitif, dan segala bentuk ekspresi budaya Tionghoa termasuk potehi dibatasi bahkan dilarang tampil. Kala itu, tak ada pertunjukan di klenteng, tak ada suara tambur yang menggema. “Saat itu kami diam. Tak bisa pentas, apalagi di tempat umum,” kenang Pak Widodo. “Baru setelah Gus Dur jadi presiden, semuanya berubah.” Gus Dur, atau KH. Abdurrahman Wahid, membuka ruang bagi ekspresi budaya yang selama ini ditekan. Ia meresmikan perayaan Imlek sebagai hari libur nasional dan membuka kembali panggung bagi potehi. “Kami bisa tampil lagi dengan tenang. Potehi seperti hidup kembali,” kata Pak Widodo.

Namun puluhan tahun kemudian, pandemi COVID-19 kembali membuat potehi terpaksa berhenti. Panggung ditiadakan, keramaian dilarang. Tapi semangat untuk bercerita tak padam. Dari keterbatasan itu lahir inisiatif bernama Gopot, singkatan dari “Wayang Potehi Keliling”. Sebuah mobil dimodifikasi jadi panggung mini dengan tirai merah, lampu, dan tempat duduk dalang. “Karena gak bisa ngumpulin penonton, ya kami yang datang ke mereka. Naik mobil, muter dari kampung ke kampung,” jelas Pak Widodo. Kini, potehi kembali bernapas. Tapi tantangan tetap ada terutama soal regenerasi dan dana. Namun ia tak menyerah. Bersama Pak Toni, ia bermimpi membangkitkan kembali bentuk-bentuk seni kolaboratif seperti ketoprak potehi atau ludruk potehi memadukan budaya Tionghoa dan Jawa dalam satu panggung.

Ketika Santri menjadi Dalang

Tak banyak yang menyangka, di tengah wangi dupa dan denting tambur di Klenteng Gudo, muncul sekelompok santri dari Pondok Pesantren Al-Hikam Jombang. Mereka datang bukan untuk menonton atau wisata budaya. Mereka datang untuk belajar. Belajar memainkan wayang potehi secara langsung dari sang maestro, Pak Widodo. “Awalnya saya kira Cuma iseng,” kenang Pak Widodo. “Hari pertama datang, mereka minta diajari. Hari kedua datang lagi. Hari ketiga makin semangat. Di situ saya sadar mereka serius.”

Latihan dilakukan di area klenteng, tempat Pak Widodo biasa mempersiapkan pentas. Di bawah pohon, dengan alat musik sederhana dan boneka potehi berjejer di atas meja, para santri dilatih teknik dasar: memegang boneka, membuat suara karakter, hingga membawakan cerita. Dengan penuh kesabaran, Pak Widodo membimbing mereka satu per satu. Latihan berlangsung intens selama beberapa hari dan hasilnya mencengangkan. “Hanya dalam satu minggu, mereka sudah siap tampil,” ujarnya bangga.

Yang membuat lebih istimewa, penampilan perdana mereka bukan di klenteng, melainkan di halaman pondok mereka sendiri. Di bawah langit pesantren, di antara kitab dan peci, pementasan potehi digelar disaksikan oleh para santri, ustadz, wali santri, dan warga sekitar.

Pertunjukan ini bukan hanya seni. Ia menjadi jembatan antara dua dunia, budaya Tionghoa dan Islam pesantren. Yang dulu mungkin dianggap bertentangan, kini berpadu dalam harmoni. “Saya nggak nyangka. Wong santri kok main potehi. Tapi justru dari situ saya makin yakin, seni itu bisa melampaui sekat. Siapa pun bisa merawatnya,” ujar Pak Widodo.

Fenomena ini pun jadi buah bibir. Masyarakat yang awalnya asing dengan potehi justru tertarik karena tahu para pemainnya adalah santri. Dan di situlah makna paling dalam dari “Potehi Indonesia”: panggung lintas budaya, lintas iman, dan lintas generasi.

Tantangan dan Harapan

Pak Widodo menyebut tantangan terbesar dalam pelestarian potehi adalah minimnya generasi penerus dan kurangnya dukungan dana. “Saya bisa mendidik, tapi kalau tidak ada yang peduli atau mendukung, ya susah berkembang,” katanya.

Namun, semangatnya tak pernah padam. Bersama Pak Toni, mereka terus membuka ruang belajar dan membangun komunitas. Bahkan, pertunjukan rutin di Klenteng Gudo kini dilakukan setiap hari sebagai bagian dari upaya pelestarian.

“Harapan saya, wayang potehi makin dikenal dan dicintai. Saya ingin kelak muncul lagi bentuk-bentuk baru seperti ketoprak potehi atau ludruk potehi. Bisa digabung dengan musik gamelan dan cerita-cerita lokal. Itu akan membuatnya lebih hidup dan dekat dengan masyarakat,” ujarnya penuh harap.

Wayang potehi bukan sekadar boneka kain yang bergerak. Ia adalah warisan, identitas, dan suara budaya yang hidup di balik layar panggung kecil. Dan selama masih ada yang melestarikan dan menjaganya, wayang potehi akan terus berbicara, menuturkan kisah, dan menyatukan kita dalam cerita.

Baca Juga: Gus Kikin Apresiasi Resolusi Jihad Dibuat Pagelaran Wayang

Koleksi wayang potehi yang diadakan di Gudo Jombang. foto: penulis

Penulis: Syafinatin Nazatiyah

Editor: Muh Sutan