
“Dago, selamat tinggal. Semoga kau tenang di sana. Maaf, hanya sebatas ini aku bisa merawatmu. Sakit dan virusmu tidak bisa disembuhkan lagi,” ucap Karimah sambil menatap nisan Dago, sang kucing kesayangannya. Air matanya berjatuhan, ditinggal selamanya oleh Dago. Dago memang adalah kucing yang paling ia sayangi di antara semua kucing yang ada di rumahnya.
Siang seperti ini, sepulang kuliah, Karimah selalu memberi makan Dago. Meskipun kadang Dago suka sekali hilang bepergian. Pernah suatu waktu, Dago tidak pulang hingga larut malam. Karimah mencarinya hingga matahari terbenam. Ia khawatir kalau Dago tidak akan pulang lagi. Namun, keesokan harinya, Dago telah tertidur di sampingnya. Betapa bahagianya Karimah bisa bertemu lagi dengan Dago.
“Maaf ya, Dago. Selama kuliah aku sangat sibuk, jadi tak bisa memantaumu setiap saat. Tapi aku akan terus memperhatikan kesehatanmu,” ucapnya sembari mengelus lembut kepala sang kucing yang sangat menggemaskan. Bagaimana tidak menggemaskan? Dago adalah kucing berbulu lembut berwarna putih tulang, dengan warna mata yang sangat unik, berubah-ubah sesuai cuaca. Kadang berwarna biru, kadang juga merah atau kuning.
Karimah memberikan aksen kalung di leher Dago sebagai tanda bahwa kucing itu miliknya. Dago dan Karimah bertemu di bawah pohon beringin. Kala itu, Dago sedang tidak berdaya. Badannya kecil mungil, pucat pasi, matanya berlinang, bulunya berantakan dan kotor, tampak sangat kelaparan. Karimah yang selalu pulang sore bersama teman-temannya selalu melewati pohon beringin itu. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika mendengar rintihan suara kucing yang sangat lirih.
“Miaawww… miaawww…” rintih sang kucing tak berdaya, sambil menjilat-jilati bulunya yang lusuh dan kotor. Karimah melihat kucing itu. Dengan penuh iba, ia pun menggendongnya dengan sangat hati-hati.
“Pussshhh, kasihan sekali kamu. Mulai sekarang kamu akan aku rawat,” ucap Karimah dengan sungguh-sungguh, berjanji bahwa ia akan merawat dan membesarkan Dago.
“Sedang apa di sana, Karimah?” teriak salah satu temannya yang sedari tadi menunggu Karimah keluar dari balik pohon beringin.
“Aku menemukan kucing yang sangat lucu. Namun sepertinya ia ditelantarkan begitu saja oleh induknya. Maka, aku akan merawatnya,” jawab Karimah. Kucing itu berada di balik kerudungnya, bersembunyi, masih malu-malu menampakkan diri.
“Hiii… aku tak suka kucing, Karimah! Rasanya sangat menggelikan! Sana, agak menjauh, jangan dekat-dekat! Aku takut!” Aini, salah satu teman Karimah, memang sangat takut dengan kucing. Padahal menurut Karimah, kucing itu makhluk yang sangat menggemaskan. Tak heran bila Karimah memiliki lima belas ekor kucing di rumahnya.
Karimah yang jahil malah sengaja mendekatkan kucing itu ke Aini. “Ini yang kamu takuti? Hahaha!” tawa Karimah pecah, diikuti gelak tawa teman-temannya melihat tingkah Aini yang ketakutan.
“Karimaaaahhh! Aku tidak suka kucinguuugg!” Dengan teknik lari cepat, Aini langsung kabur tanpa pamit, meninggalkan teman-temannya. Ia benar-benar ketakutan.
Di rumah, Karimah memberitahu ibunya bahwa ia menemukan kucing lagi. Ibunya pun tidak heran dengan perilaku anaknya yang suka mengoleksi dan merawat kucing.
“Ibu, aku membawa koleksi terbaru. Kasihan sekali, Bu. Aku menemukannya di bawah pohon beringin sepulang kuliah tadi,” ucapnya dengan sangat antusias.
“Kurus sekali, ya, kucing ini. Banyak kutu juga di badannya. Segera kau rawat, ya. Masih ada snack makanan kucing di dapur. Nanti ambil saja, ya, Nak,” tutur sang ibu. Karimah memang memiliki ibu yang juga sangat menyayangi kucing, karena ketularan dari Karimah yang sangat cinta pada hewan itu.
“Sebentar, Bu. Sebelum itu aku mau memberikan nama untuk kucing ini. Kira-kira siapa ya namanya? Ibu punya ide, kah?” tanya Karimah. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus memikirkan nama untuk kucing barunya itu.
“Hmmm… Dago. Gimana kalau Dago saja? Karena kucing ini laki-laki,” ujar ibunya.
“Boleh, Bu. Nama yang bagus, Dago,” Karimah sangat senang hari itu.
Satu tahun sudah berlalu. Kini Dago telah bersih dan berisi. Badannya gendut dan bulu ekornya lebat, sangat menggemaskan. Setiap hari, ia dirawat dan dibesarkan oleh Karimah dan ibunya. Kucing-kucing yang lain pun demikian, namun Dago tetap menjadi yang paling istimewa. Ia pernah ikut kuliah bersama Karimah. Ia juga pernah ikut ke pasar bersama ibu, meskipun sempat mencuri ikan di sana dan membuat ibu kapok untuk membawanya lagi. Dago membuat suasana pasar menjadi heboh saat itu.
Namun, suatu hari, Dago terkena virus mematikan akibat keracunan makanan. Ibu dan Karimah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkannya, bahkan membawanya ke dokter hewan. Tapi nyawa Dago tetap tidak tertolong.
“Dago, selamanya kau akan abadi. Terima kasih telah menyinari hari-hariku, seperti matamu yang selalu memberikan warna. Selamat tinggal, Dago,” tulis Karimah di buku diary ungu miliknya.
Penulis: Nabila Rahayu
Editor: Rara Zarary