
Bangsa Indonesia akan selalu memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tiba tanggal 1 Juni. Tetapi yang perlu menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah peringatan ini hanya menjadi seremonial tahunan? Atau sudahkah kita benar-benar merenungkan makna di balik lima sila yang menjadi dasar negara kita? Di tengah zaman yang serba cepat, teknologi yang melaju, serta tantangan sosial dan ekonomi yang makin kompleks, nilai-nilai Pancasila sebenarnya justru makin relevan dan penting untuk dipegang erat oleh seluruh lapisan masyarakat, dari kelas bawah, menengah, atas, hingga para pemegang kekuasaan di pemerintahan.
Pancasila dirumuskan dari kearifan lokal dan pengalaman sejarah bangsa ini. Nilai-nilainya tidak kaku, tapi luwes dan kontekstual. Di era digital, Pancasila bisa menjadi filter moral saat kita bermedia sosial. Ia mengajarkan kita untuk tidak menyebar fitnah, menghormati perbedaan, dan bijak dalam menyuarakan pendapat. Dalam menghadapi krisis ekonomi, Pancasila menuntun kita untuk saling membantu, tidak egois, dan menjunjung keadilan.
Hari Lahir Pancasila bukan hanya untuk diperingati dengan upacara, tapi untuk dijadikan momen refleksi. Missal dalam rumah tangga, kita bisa mulai dengan mengajarkan nilai Pancasila kepada anak-anak melalui teladan, bukan sekadar nasihat. Di sekolah dan kampus, Pancasila tidak cukup diajarkan lewat buku teks, tapi perlu dihidupkan lewat diskusi, aksi sosial, dan praktik demokrasi. Di tempat kerja, Pancasila bisa diwujudkan lewat budaya kerja yang jujur, adil, dan menghargai sesama. Di pemerintahan, Pancasila harus menjadi dasar dalam merancang kebijakan, bukan sekadar jargon politik.
Baca Juga: Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila di Tengah Polarisasi Politik Digital
Pancasila bukan hanya lambang negara yang kita hafal sejak SD. Pancasila adalah panduan hidup yang bisa menjembatani perbedaan, meredam konflik, dan menyatukan langkah dalam membangun bangsa. Di tengah derasnya arus informasi, maraknya ujaran kebencian di media sosial, serta ketimpangan sosial-ekonomi yang kian terasa, nilai-nilai Pancasila mampu menjadi “kompas moral” agar bangsa ini tidak kehilangan arah.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai ketuhanan adalah akar dari moralitas. Di tengah kehidupan modern yang terkadang memisahkan agama dari kehidupan sosial, sila pertama mengingatkan kita untuk tetap menempatkan Tuhan di atas segalanya. Bagi masyarakat bawah yang hidup dalam keterbatasan, nilai ini menjadi sumber harapan dan kekuatan. Bagi kelas menengah dan atas, ia menjadi pengingat bahwa harta dan jabatan hanyalah titipan. Bagi para pejabat negara, nilai ketuhanan seharusnya menjadi pilar integritas, agar keputusan yang diambil bukan sekadar legal, tapi juga bermoral.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Setiap manusia, siapapun dia, pantas diperlakukan dengan adil dan beradab. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak ketidakadilan yang kita lihat: buruh yang diperlakukan semena-mena, warga miskin yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, hingga diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Sila ini mengingatkan kita semua, bahwa kemajuan tidak boleh meninggalkan kemanusiaan. Kelas atas tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan di bawah. Pemerintah wajib menegakkan keadilan, bukan hanya untuk yang kuat, tapi terutama untuk yang lemah.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Indonesia adalah bangsa yang majemuk: suku, agama, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Perbedaan ini seharusnya menjadi kekayaan, bukan sumber konflik. Namun, dalam era digital, media sosial sering kali memecah belah, bukan menyatukan. Informasi yang tidak benar (hoaks), provokasi, dan ujaran kebencian menyulut perpecahan. Di sinilah pentingnya nilai persatuan: kita perlu saling menghargai, berdialog, dan menumbuhkan empati. Di rumah tangga, persatuan mengajarkan kerukunan. Di masyarakat, ia menumbuhkan gotong royong. Di pemerintahan, ia menuntut kebijakan yang inklusif dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sila keempat berbicara tentang demokrasi yang bijak. Demokrasi bukan sekadar pemilihan umum atau adu suara. Demokrasi sejati harus berlandaskan musyawarah, mendengarkan suara rakyat, dan mengutamakan kepentingan bersama. Saat ini, banyak kebijakan publik yang belum mencerminkan semangat ini. Terkadang suara rakyat kecil tidak didengar, atau hanya dijadikan alat politik. Kita semua, sebagai warga negara, punya tanggung jawab untuk menjaga agar demokrasi tidak menjadi alat kekuasaan segelintir orang, tapi benar-benar menjadi sarana mencapai keadilan sosial.
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima adalah tujuan akhir dari semua nilai Pancasila: keadilan yang merata bagi semua. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan rasa aman. Saat masih ada anak-anak yang putus sekolah karena kemiskinan, ketika harga kebutuhan pokok melambung tinggi, atau ketika pengangguran meningkat, kita harus bertanya: sudahkah kita adil?
Baca Juga: Belajar dari Gus Dur, Menerapkan Kritik Berdasar Nilai Pancasila
Kelas atas punya tanggung jawab moral untuk berbagi dan tidak memperkaya diri dengan mengorbankan yang lemah. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan kelompok tertentu. Dan kita sebagai masyarakat, sekecil apapun peran kita, bisa ikut mewujudkan keadilan sosial, dengan membantu tetangga, jujur dalam bekerja, dan peduli terhadap sesama.
Kepada masyarakat kelas bawah, jangan merasa kecil. Pancasila ada untuk menjamin hak kalian sebagai warga negara. Suara kalian penting. Jangan takut bersuara atau menuntut keadilan. Kepada kelas menengah, jadilah jembatan antara yang di atas dan yang di bawah. Gunakan pendidikan dan pengetahuan untuk membawa perubahan, bukan sekadar kenyamanan pribadi. Kepada kelas atas, jangan lupa bahwa kekayaan bukan milik pribadi semata. Ada tanggung jawab sosial yang harus diemban. Jadilah teladan dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila, terutama dalam keadilan dan kemanusiaan.
Baca Juga: Merawat Pusaka Pancasila
Kita semua punya tanggung jawab untuk menjaga agar Pancasila tidak hanya hidup di dinding sekolah atau halaman pembukaan UUD, tapi juga dalam hati, ucapan, dan tindakan sehari-hari. Mari jadikan 1 Juni bukan sekadar perayaan, tapi momentum untuk belajar, merefleksi, dan memulai langkah nyata. Karena Pancasila adalah milik semua, bukan milik satu golongan. Ia adalah tali pengikat bangsa, dari Sabang sampai Merauke, dari masa lalu, kini, dan masa depan. Selamat mempertingati Hari Lahir Pancasila…
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary