Dewan Masyaikh Tebuireng, KH. Musta’in Syafi’ie.

Oleh: KH. Musta’in Syafi’ie*

اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَسْلِيمًا كَثِيْرًا

اتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ  فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (الاحقاف:15).

أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ نَتَقَبَّلُ عَنۡهُمۡ أَحۡسَنَ مَا عَمِلُوا۟ وَنَتَجَاوَزُ عَن سَیِّـَٔاتِهِمۡ فِیۤ أَصۡحَـٰبِ ٱلۡجَنَّةِۖ وَعۡدَ ٱلصِّدۡقِ ٱلَّذِی كَانُوا۟ یُوعَدُونَ

Melanjutkan konsep Al-Qur’an tentang panduannya bagi orang yang sudah berusia 40 tahun. Ada enam panduan untuk / bagi mereka yang telah berusia 40 tahun. Tiga poin dari enam panduan terebut sudah dibicarakan dalam mimbar khutbah hingga 49 seri khutbah. Selanjutnya, poin keempat adalah wa aslih li fi dzurriyati (وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي).

Ketika membaca mengikuti Al-Qur’an, terdapat kewajiban untuk menciptakan keluarga yang baik. Dalam arti lain seseorang yang mencipta, mendesain, atau membentuk diri sendiri itu adalah orang baik. Tetapi bagi orang dengan keimanan sempurna itu belum cukup, ia masih harus berkewajiban untuk aslih li fidzurriyati (dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku).

Baca Juga: Jangan Sampai Kebahagiaan Kita Tertahan Hanya Karena Buruk Bersosial

Oleh karena itu, satu dari banyak sekian Rasul yang paling banyak mendoakan kebaikan untuk keluarga adalah Ibrahim a.s., (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim (مِّلَّةَ أَبِیكُمۡ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَۚ) [Surat Al-Hajj: 78]. Sehingga hal tersebut diakui sendiri oleh Hadraturrasul sebagai anak cucu Ibrahim AS. Bahwa derajat yang diperoleh oleh Hadraturrasul Muhammad Saw., menjadi khatam al-anbiya’ wa al-mursalin itu karena doa buyut-buyutnya, millata abikum ibrahima.

Dengan demikian ada dua sisi. Pertama, anak yang mencapai derajat tinggi; entah itu berupa pangkat, kekayaan, atau kepintaran adalah haram diakui secara pribadi. Karena itu adalah perwujudan atau manifestasi dari doa-doa orang tua dan buyutnya. Itulah akhlak yang harus dimiliki oleh anak-cucu yang punya derajat atau kemuliaan. Kedua, kebajikan yang didesain sendiri dalam keluarga. Ada orang ditakdir mempunyai istri yang salehah seperti idaman kebanyakan lelaki. Tetapi ada orang yang ditakdir mendapat istri yang tidak salehah.

Keduanya baik; mendapat istri yang salehah itu sangat beruntung, akan tetapi perjuangannya tidak ada, nasihatnya tidak diperlukan, ilmunya tidak terpakai. Di satu sisi mendapat keberuntungan yang melegakan, namun sisi lain kehilangan ladang pahala dan amal sebagai suami pendidik. Secara sederhana lelaki yang mendapat istri salehah itu menjadi santri dari istrinya sendiri.

Ada juga orang yang ditakdirkan mendapat istri tidak salehah. Di dalam Al-Qur’an disebutkan ada istri Nabi Nuh dan Luth. Bisa dibayangkan seorang Nabi Nuh yang memiliki pangkat ulul azmi memiliki istri yang membantah dan mengajak anak-anaknya agar membantah ayahnya. Begitu pula istri Nabi Luth yang justru memprovokasi kaumnya untuk melawan suaminya.

Dua nabi ini lah yang punya istri brengsek, keduanya pula dipuji oleh Allah. Sebaliknya ada seorang istri yang mempunyai suami yang sangat brengsek yaitu istri Fir’aun; ‘Asyiah binti Muzahim. Manusia sangat salehah mendapat suami seorang Fir’aun yang tidak sekadar melawan Tuhan, bahkan mengaku dirinya sebagai tuhan. Akan tetapi ia tidak pernah meminta cerai. Hingga akhirnya Allah memberinya derajat tinggi di Surga.

Sekarang mengapa di dalam panduan yang keempat dibacakan dengan wa aslih li fi dzurriyati? Ada satu pertanyaan mengapa Allah tidak menakdirkan Rasulullah wafat di Masjid Al-Haram dekat Ka’bah? Atau di masjid Nabawi dekat kamarnya? Atau di medan perang? Melainkan justru Nabi Muhammad Saw., wafat di kamar keseharian dalam pangkuan istrinya. Ini menggambarkan bahwa sebuah syariat jangan sampai meninggalkan kemaslahatan keluarga. Bisa dibayangkan kalau Nabi itu wafat di medan perang, maka kemungkinan umatnya akan sangat sensitif dan mudah berperang. Begitu juga kalau Rasulullah wafat di dalam masjid, maka umatnya bisa jadi salah persepsi akan iktikaf lama tidak pulang ke rumah.

Baca Juga: Ini Akibat Jika Seseorang Meremehkan Shalatnya

Lalu, mengapa Rasulullah begitu mencintai istrinya? Seorang yang nampak brengsek, bisa dibayangkan kesehariannya tiap malam adalah nongkrong di tempat maksiat; perjudian atau perzinaan hingga menjelang Subuh. Hal itu dilakukan terus menerus hingga meninggal. Akan tetapi tetangga sekampung tidak ada yang mau merawatnya. Lalu ada wali diutus untuk merawat jenazahnya dengan alasan itu adalah orang saleh. Tapi dia diprotes oleh orang kampung, “Kiai itu orang brengsek biarkan saja.” Kiai menyela, “Tidak. Saya mendapat kabar bahwa dia orang saleh.”

Bagaimana hakikatnya? Masalah tersebut terselesaikan oleh istrinya sendiri. Betul, pengakuan istrinya. Kata istrinya, “Ya betul suami saya ini semalaman nongkrong di tempat maksiat. Semuanya juga tahu bahwa suamiku hanya nongkrong tidak ikut ngapa-ngapain.” Ternyata lelaki itu di tempat maksiat hanya diam dan mendoakan agar mereka diberi hidayah. Kemudian di dalam rumahnya ada dua anak yatim yang sangat disayangi olehnya, bahkan melebihi kasih sayang pada anaknya. Di sinilah pentingnya berkebajikan untuk keluarga.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ

وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ

وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


*Dewan Masyaikh Tebuireng.



Transkrip: Yuniar Indra Yahya
Editor: Rara Zarary