Gambaran seseorang yang berusaha memaafkan. (sumber: mui)

Seni memaafkan ketika mampu membalas adalah cerminan kematangan jiwa yang luar biasa. Dalam momen di mana kita memiliki kekuatan untuk membalas, memilih memaafkan bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah keberanian yang lahir dari kedalaman hati dan kedewasaan emosional. Memaafkan berarti menolak terjebak dalam lingkaran dendam yang menghancurkan, dan sebaliknya memilih jalan yang membawa kedamaian dan kebebasan batin. Dengan memaafkan, kita membebaskan diri dari beban amarah dan luka, membuka ruang bagi penyembuhan dan pertumbuhan spiritual yang sejati.

Ketika seseorang mampu mengendalikan diri dan memilih memaafkan di tengah godaan untuk membalas, itu menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Sebuah kekuatan yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Memaafkan dalam situasi yang memungkinkan untuk melakukan pembalasan adalah keputusan sadar yang menegaskan bahwa kedamaian jauh lebih berharga daripada kemenangan sesaat. Ini adalah seni indah yang mengajarkan kita untuk hidup dengan hati yang lapang, menjadikan setiap luka bukan sebagai penghalang, melainkan batu pijakan menuju kedewasaan dan harmoni dalam hidup. Memaafkan bukan hanya tindakan, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang menguatkan jiwa dan memperindah kehidupan.

Sikap indah yang demikian telah diteladankan oleh Nabi kita, Rasulullah Saw., dalam Riwayat Muslim dikisahkan bahwa Rasulullah berangkat ke Thaif untuk berdakwah. Bukannya mendapatkan penduduk Thaif menerima ajarannya, mereka mencemooh dan bahkan memerintahkan anak-anak kecil untuk melempari Rasulullah yang saat itu didampingi oleh Zaid bin Haritsah. Tentu saja hal itu membuat Rasulullah sedih.

Baca Juga: Minta Maaf & Memaafkan, Wujud Penurunan Ego dan Bukti Hati Lembut

Di saat yang sulit itu, tiba-tiba datang Malaikat Jibril bersama malaikat penjaga gunung. Jibril berkata kepada Nabi Muhammad, “Sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang diucapkan kaummu dan penolakan mereka terhadapmu. Allah juga telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk melaksanakan apa pun yang engkau inginkan”. Malaikat penjaga gunung pun berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, jika engkau berkenan, aku akan menimpakan Al-Akhbasain (dua gunung besar yang ada di Makkah, yaitu gunung Abu Qubais dan Gunung Al-Ahmar) kepada mereka”.  Namun jawaban Nabi Muhammad justru tak terduga:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

لَا بَلْ أَرْجُوْ أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ وَحْدَهُ، وَلَا يُشْرِكُ ِبهِ شَيْئًا

“Tidak, bahkan aku berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga.” [HR. Muslim]

Kita sebagai manusia mungkin pernah dibohongi, diabaikan, dicaci, atau bahkan disakiti secara terang-terangan yang membuat sakit hati dan sukar untuk melupakan.  Begitulah kehidupan terus berjalan, perasaan sakit hati harus dibuang jauh untuk melepaskan kita dari keterikatan dan melangkah maju ke depan. Meski banyak yang mengatakan bahwa memaafkan itu hanya mudah diucapkan daripada dilakukan, bukan berarti memaafkan tidak bisa dilakukan. Memafkan tetaplah menjadi pilihan terbaik ketika ada pilihan lain untuk membalas.

Sebuah penelitian tahun 2017 dari Annals of Behavioral Medicine adalah yang pertama kali mengaitkan pengampunan yang lebih besar dengan berkurangnya stres dan memberikan efek yang signifikan pada kesehatan mental yang lebih baik. Tindakan memaafkan ternyata memicu berbagai hormon, seperti dopamin, oksitosin, dan kortisol. Ketika seseorang memaafkan, hormon oksitosin dan dopamin dilepaskan, sehingga menimbulkan perasaan lega dan bahagia. Sementara itu, hormon kortisol yang berhubungan dengan stres menjadi lebih tidak aktif. Alhasil, memaafkan adalah step kehidupan yang sangat baik untuk kesehatan manusia.

Baca Juga: Hati-hati, Ini Akibat Orang yang Tidak Mau Minta Maaf

Memaafkan seseorang kala kita mampu membalas adalah hadiah terindah yang kita berikan bukan hanya kepada orang lain, tetapi pada diri sendiri. Dalam keheningan hati yang memilih damai, kita menemukan kebebasan sejati-bebas dari beban dendam dan luka yang mengikat. Sikap mulia ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah pada balas dendam, melainkan pada kemampuan untuk melepaskan dan mencintai tanpa syarat, menjadikan hidup kita lebih ringan, penuh kasih, dan bermakna. Senada dengan sabda Nabi: “Barangsiapa memaafkan saat ia mampu membalas, maka Allah akan memberinya maaf pada hari kesulitan.” (HR. Thabrani).



Penulis: Silmi Adawiya, Mahasiswa S3 UIN Malang.