
Sebuah cerita untuk kakak yang hanya ingin dicintai…
Dulu, waktu kami masih kecil, aku dan dia suka rebutan sendok. Lucu, ya?. Satu rumah, satu meja makan, tapi kami selalu berebut. Padahal sendoknya banyak. Katanya, sendok favoritku itu membawa rasa lebih enak. Dan meskipun dia kalah rebutan, dia tetap tertawa. Saat itu, tak ada yang lebih hangat dari suara tawanya.
Tapi itu dulu. Sebelum aku mondok. Sebelum aku pergi jauh dan pulang hanya beberapa kali dalam setahun. Sebelum dinding itu tumbuh di antara kami, dan aku tak tahu cara merobohkannya. Sekarang, tiap kali aku pulang, aku merasa seperti tamu. Semua terasa asing, termasuk adikku sendiri. Sore itu, aku mencoba lagi.
Duduk di sampingnya di ruang tamu. Ia sibuk dengan gawainya, senyum-senyum sambil membalas chat. Entah dengan siapa. Mungkin sepupu kami. Mereka memang dekat sekarang. Aku batuk kecil, membuka obrolan,
“Eh… kamu masih sering main PS nggak sih?” Dia mendongak sebentar.
“Hah? Iya… dikit. Kenapa?”
“Enggak, inget dulu suka rebutan stik ps sama kamu,” jawabku sambil tertawa pelan.
Dia cuma senyum sekilas. “Iya, tapi itu dulu, Kak.”
Dulu.
Kata itu terdengar seperti pukulan. Aku diam. Menatap lantai. Lalu dia berdiri, mengambil camilan, dan berjalan ke arah sepupu kami yang baru datang.
“Aku duduk sana aja ya, Kak. Mau bahas kerja bareng dia,” katanya santai.
Dan aku hanya bisa mengangguk. Sambil menelan rasa yang rasanya jauh lebih pahit dari sekadar camilan basi. Malamnya, aku membuka buku tulisku. Menulis satu kalimat di halaman baru:
“Aku hanya ingin dicintai seperti dulu. Tapi sepertinya, tempatku di hatimu… sudah terganti.”
Aku tahu, aku cemburu. Aku benci melihat mereka dekat. Aku marah karena aku merasa diganti. Padahal aku kakaknya. Harusnya aku yang ada di sampingnya. Tapi aku juga sadar aku mungkin terlalu banyak menuntut. Atau terlalu berharap. Kami duduk berdua di ruang tengah. Awalnya sunyi. Cuma suara kipas angin yang berderit pelan. Momen langka—hanya kami berdua.Aku mencoba mulai pembicaraan, lagi.
“Besok kamu ulang tahun ya,” kataku pelan.
Dia mendesah. “Biasa aja.”
“Pengen dirayain nggak?” tanyaku lagi, mencoba tersenyum.
Dia memandangku dengan tatapan dingin.
“Lucu, Kak. Kamu nanya gitu.”
Aku terdiam. “Kenapa?”
Dia mengangkat bahu, tapi nadanya mulai berat.
“Kamu kan selalu dapet semuanya. Ultahmu dirayain. Kado kamu spesial. Kamu disekolahin bagus. Dibiayain penuh. Bahkan waktu kamu mondok, dibeliin barang-barang lengkap. Aku? Disuruh tahan, disuruh kua, disuruh hemat, disuruh cari uang sendiri karena aku laki-laki.”
“Aku nggak minta semua itu, Dik,” ucapku pelan. “Sumpah, aku cuma pengen… pulang. Kumpul. Nggak dingin sendirian di kamar pondok. Aku kangen makan rame-rame, ketawa bareng.” Dia ketawa kecil—pahit.
“Yah… enak ya, Kak, kalo bisa kangen. Aku bahkan nggak punya waktu buat itu. Karena aku harus ngalah terus.” Aku menarik napas dalam-dalam.
“Dik… aku juga capek. Kamu tahu rasanya tiap malam aku ngerasa sendirian di pondok? Waktu semua orang tidur, aku masih duduk bengong di kamar, nahan nangis. Karena aku pengen rumah. Tapi rumah juga rasanya jauh banget.”
Dia terdiam sebentar. Lalu matanya menatapku—bukan lembut, tapi dingin dan kecewa.
“Kamu cuma nggak sadar. Semua perhatian ke kamu. Semua pujian. Semua bangga-bangga itu. Kamu pikir aku nggak sakit hati denger orang bilang, ‘Belajarlah dari kakakmu’? Seolah-olah aku gagal jadi anak. Seolah-olah aku cuma bayang-bayangmu.”
Aku menunduk. Mulutku gemetar tapi tak bisa berkata-kata. “Kamu tahu nggak aku iri sama kamu,tapi juga muak.” Kata itu menghujam tepat di dadaku.
Muak. Sakitnya sampai dada ini rasanya kayak diremas. Tapi aku cuma bisa diam, karena aku tahu aku pun pernah marah, walau tak berani mengatakannya sepedas itu.
“Aku capek, Kak. Capek jadi orang yang harus kuat. Harus mandiri. Harus ngerti kamu, harus ngerti orang tua. Tapi nggak ada yang ngerti aku,” katanya sambil berdiri.
Sebelum pergi, dia menatapku dan berkata pelan, “aku nggak butuh kamu jadi sempurna. Aku cuma pengen punya kakak yang bisa kuajak cerita. Tapi sepertinya kamu terlalu sibuk jadi anak kebanggaan.” Dan pintu kamar ditutup pelan, tapi terasa seperti palu yang mengakhiri sesuatu. Sejak malam itu, aku mulai batuk parah.
Tapi aku bilang ke ibu, “Masuk angin biasa, Bu.”
Tak ada yang tahu, bahwa sakit itu bukan sekadar fisik. Hatiku sudah lebih dulu rusak. Sejak hari itu, malam-malamku dipenuhi batuk, demam yang datang dan pergi. Tapi aku diam.
Karena kalau aku bilang, siapa yang akan peduli? Adikku jelas membenciku. Orang tuaku sibuk dengan kerja. Aku hanya punya pena dan buku. Dan aku mulai menulis kisah ini sebagai cara terakhir untuk menyampaikan semuanya. Karena aku tahu… tubuhku tidak lagi sekuat dulu. Ada sakit yang menggerogoti perlahan, tapi aku memilih diam, seperti biasa. Bertahun-tahun kemudian…
Di sebuah toko buku, adikku berdiri di depan rak fiksi. Tangannya mengambil satu buku dengan sampul kelabu dan judul sederhana:“Yang Tidak Pernah Aku Katakan.” Ia membaca sepintas. Matanya berkaca.
“Apa-apaan ini? Kenapa karakter kakaknya mirip banget sama kakakku sendiri?! Kok lebay banget sih?” katanya sambil terkekeh sinis.
Namun saat ia membalik halaman terakhir. Ada sebaris kalimat di sana tertulis tangan dengan pulpen biru:
Untuk adikku, yang selalu kurindukan. Kalau kamu membaca ini, berarti aku tidak sempat bicara langsung. Tapi semoga kamu tahu… aku selalu ingin jadi bagian dari hidupmu. Selamanya. –Kakakmu.
Aku masih memegang buku itu tanganku gemetar di layar ponselku, suara telfon ibu memecah hening.
“Dik, kamu harus pulang. Kakakmu… Kakakmu sudah nggak ada.” Jantungku berhenti sejenak. Waktu rasanya berhenti. Aku tak percaya. aku terdiam, lidah terasa kelu.
“Jangan bercanda, Bu,” kataku pelan, meski aku tahu itu bukan lelucon. Ibu tak menjawab, hanya suara isak tangis yang terdengar di ujung telfon.
“Cepat pulang, Dik. Kakakmu sudah… meninggal.” Tubuhku lemas. Buku yang ada di tanganku jatuh ke lantai. Aku langsung berlari keluar dan pergi ke rumah. Bersama orang tua, kami menuju pemakaman.
Setiap langkah terasa begitu berat. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa aku merasa begitu jauh darinya, padahal masih banyak kata yang belum sempat kuucapkan?Setelah pemakaman selesai, ibu memanggilku dengan suara lembut.
“Dik, Kakakmu nitip sesuatu sebelum meninggal. Sebuah surat dan buku ini.”
Aku menatap ibu dengan bingung. Surat dan buku? Ibu menyerahkan dua benda itu padaku. Aku terdiam dan membuka buku itu pelan, hampir tak percaya. Sampulnya sudah kusam, dan begitu aku buka, aku melihat tulisan yang sangat familiar.
Buku ini. Aku menggigit bibir, mataku mulai berkaca.Dan saat aku membaca halaman pertama, air mataku jatuh.
“Untuk adikku yang ku sayangi: Aku tidak bisa melihatmu tumbuh dewasa, tapi aku berharap kamu akan selalu ingat satu hal: Bahwa meskipun aku seringkali tampak jauh, aku selalu ada di sana, di setiap doa dan setiap harapan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku bangga padamu, lebih dari apapun.”
Aku terdiam sejenak. Kenapa baru sekarang aku membaca ini? Kenapa aku baru sadar betapa besar perasaan kakakku padaku?Aku terus membaca dengan tangan yang semakin gemetar.
“Aku tahu, kadang kamu merasa aku tidak peduli, atau terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Tapi percayalah, aku selalu merindukanmu. Di setiap ruang kosong dalam hidupku, ada kamu. Maafkan aku jika aku tak pernah menunjukkan itu. Aku ingin kamu tahu, bahwa aku adalah kakak yang mencintaimu lebih dari yang bisa aku katakan.”
Hatiku hancur, seluruh tubuhku gemetar.Aku menatap surat yang disertakan.Tertera di sana tulisan kakakku yang terakhir.
“Adikku, jika kamu membaca ini, berarti aku sudah pergi. Aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita jarang berkomunikasi, aku selalu merasa kamu ada dalam doaku. Jangan pernah merasa sendiri. Meskipun aku sudah tidak ada, kamu selalu memiliki kenangan tentang kita yang tak akan pernah hilang.
”Aku menunduk, tangisku pecah. Selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku marah karena merasa tak diperhatikan. Tapi ternyata, aku yang selama ini tak sadar. Besoknya, tepat di hari ulang tahun kakakku, aku dan keluarga pergi ke makamnya.
Kami membawa kue ulang tahun dan meletakkannya di sana. Tanpa kakakku, perayaan itu terasa kosong.Aku berharap aku bisa merayakan ulang tahunnya bersama, tertawa, dan meminta maaf atas semua yang tidak pernah aku katakan.
Setelah itu, aku kembali ke rumah dan membuka buku yang kakakku tinggalkan. Sambil menahan isak tangis, aku membaca setiap kata, setiap kalimat yang mengingatkanku pada kenangan kami berdua. Semua pesan itu mengalir, menyentuh hati, lebih dalam dari apapun.
“Aku ingin kamu menjadi dirimu sendiri, menjadi yang terbaik, bukan karena aku menginginkannya, tapi karena itu adalah jalanmu yang harus kamu pilih. Kamu mungkin tidak pernah merasa ini, tapi aku mencintaimu tanpa syarat, bahkan tanpa harus aku ungkapkan dengan kata-kata.”
Aku menutup buku itu dengan penuh air mata, merasa semakin sesak di dada.Jika waktu bisa diputar kembali. Aku hanya ingin lebih dekat dengannya. Lebih peduli. Tidak hanya mengharapkan perhatian, tapi memberi perhatian.Penyesalan datang terlambat, dan aku tahu, aku tidak bisa mengubah apapun lagi.
Penulis: Wan Nurlaila Putri