Perempuan dan perasaan cintanya. (sumber: Ist)

Di sebuah pondok pesantren yang terletak di tengah desa, hidup seorang santri perempuan bernama Aisyah. Sejak kecil, Aisyah dikenal sebagai sosok yang cerdas dan rajin. Selain hafidz Al-Qur’an, ia juga banyak meraih prestasi di berbagai lomba keagamaan, mulai dari lomba tahfidz hingga lomba ilmu alat, terutama dalam Alfiyah Ibnu Malik. Aisyah bahkan dipercaya menjadi ketua pondok putri untuk beberapa tahun lamanya. Kepemimpinannya penuh kebijaksanaan, ramah, dan sangat dicintai oleh para santri dan kiai.

Kiai Haris sebagai pemimpin pondok, merasa bahwa Aisyah adalah sosok yang pantas untuk meneruskan kepemimpinan pondok ini. Dengan hati-hati, Kiai Haris mengundang Aisyah ke ruangannya. “Aisyah, aku ingin berbicara tentang masa depan pondok ini,” kata Kiai Haris sambil menatapnya penuh harap.

Aisyah yang selalu menghormati kiainya mendengarkan dengan penuh perhatian. Kiai Haris melanjutkan, “aku ingin kamu menikah dengan putraku, Azzam. Aku ingin kamu menjadi penerus pondok ini, menjaga dan mengembangkan apa yang sudah kami bangun.”

Aisyah tidak bisa menolak. Azzam adalah sosok yang baik, penuh akhlak, dan juga mencintai ilmu. Mereka pun menikah dengan restu kiai dan kedua orang tua.

Namun, tak lama setelah menikah, Aisyah mulai merasakan ketidaknyamanan yang dalam. Ternyata, Azzam, suaminya, lebih cenderung pada dunia akademis dan bukan agama. Meskipun demikian, Aisyah tetap menjalankan peran sebagai istri dengan baik. Ia selalu perhatian dan menjalankan kewajiban sebagai istri meski hatinya mulai terluka. Azzam tidak pernah memperhatikan dan jauh dari sosok suami yang diharapkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suatu hari, Aisyah sedang mengajar di kelas ketika ia menerima pesan yang sangat mengejutkan. Ternyata, Azzam suaminya, sedang bersama wanita lain di hotel, wanita yang tak lain adalah mantan pacarnya. Aisyah merasa dunia seakan runtuh. Ia pulang dengan perasaan hancur dan langsung menuju kamar mandi. Ia menangis sejadi-jadinya. Namun, tanpa sadar, kakinya terpeleset dan tubuhnya jatuh keras. Aisyah pun meninggal di kamar mandi, meninggalkan segalanya, termasuk janin yang ada dalam perutnya.

Kejadian itu mengguncang seluruh keluarga. Azzam merasa sangat bersalah, namun penyesalannya datang terlambat. Orang tua Azzam marah besar. Mereka tak pernah menyangka bahwa anak mereka bisa berbuat sekejam itu.

Namun, dua bulan setelah kematian Aisyah, Azzam mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia bertobat, merasa sangat menyesal atas semua perbuatannya. Ia merasakan kekosongan yang dalam, menyesali setiap keputusan yang pernah diambilnya. Dalam kesendirian, ia merenung panjang, berdoa agar Tuhan memberinya kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Suatu malam, saat Azzam sedang tertidur lelap, ia terbangun dalam keadaan penuh keringat. Dalam tidurnya, ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat Aisyah dan anaknya. Mereka berdua tersenyum, tampak damai dan tenang. “Azzam, kami sudah memaafkanmu. Jangan biarkan penyesalan ini merusakmu,” ujar Aisyah dalam mimpi itu.

Air mata Azzam mengalir. Ia ingin merasakan kebahagiaan kembali, tetapi tahu bahwa semua itu tidak mungkin kembali. Ketika ia mencoba mendekat, tiba-tiba tubuhnya terasa lemah. Suasana sekitarnya berubah menjadi gelap. Azzam merasa kejang-kejang, tubuhnya tak bisa digerakkan. Dalam detik-detik terakhir, ia merasakan penderitaan luar biasa, tetapi di saat itu, ia mendengar suara Aisyah dan anaknya memanggilnya dengan penuh cinta, seolah memberi penghiburan.

“Maafkan aku…” ujar Azzam dengan suara terbata-bata sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhir.

Azzam meninggal dalam keadaan penuh penyesalan. Penyakit yang sudah lama bersarang di tubuhnya, akibat perbuatannya yang dulu, akhirnya merenggut nyawanya. Ia pergi dengan sejuta penyesalan yang tak sempat ia selesaikan. Namun, di dalamnya, ia merasakan kedamaian. Kepergiannya menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang masih hidup, bahwa cinta yang terlambat datang tak akan pernah bisa kembali, dan penyesalan tidak akan mengubah apa yang telah terjadi.



Penulis: Wan Nurlaila Putri