
Masa remaja adalah fase penting dalam hidup yang penuh dengan harapan dan keinginan. Pada tahap ini, remaja menunjukkan berbagai karakter. Beberapa remaja aktif mengeksplorasi diri, mencoba hal baru, mengasah kemampuan, dan mempersiapkan masa depan, sementara yang lain lebih memilih menikmati hidup, baik di sekolah maupun dalam pergaulan. Pandangan bahwa masa muda belum saatnya serius dan lebih memilih kesenangan tanpa memikirkan tanggung jawab dapat membuat mereka lalai. Padahal, remaja seharusnya siap menghadapi tuntutan dan konsekuensi kehidupan dewasa yang akan datang.[1] Setiap individu ini memberikan respons yang berbeda terhadap tugas dan tuntutan yang muncul pada fase emerging adulthood. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Arnett, yaitu fase transisi antara remaja dan dewasa awal.
Pada tahap ini, individu mulai menghadapi tekanan terkait masa depan serta tuntutan dari lingkungan, seperti keterampilan dan kematangan diri. Tanggung jawab sebagai orang dewasa mendorong mereka untuk mengeksplorasi diri dalam bidang pekerjaan, hubungan, dan pandangan hidup.[2] Bagi mereka yang telah mempersiapkan diri dengan baik, masa ini dapat dilalui dengan relatif mudah, disertai perasaan siap untuk memasuki dunia kedewasaan.
Namun, bagi sebagian lainnya, periode ini justru dirasakan sebagai waktu yang penuh tantangan dan kegelisahan. Tidak semua orang mampu menghadapi perubahan dan tekanan yang menyertai masa transisi ini. Beberapa individu mengalami kebimbangan mengenai arah hidup dan merasa tidak siap menghadapi masa depan. Mereka rentan mengalami krisis emosional, seperti perasaan tidak berdaya, kesepian, keraguan terhadap kemampuan diri, dan ketakutan akan kegagalan. Kondisi psikologis seperti ini dikenal dengan istilah quarter life crisis.[3]
Quarter life crisis merupakan fase kehidupan yang ditandai dengan ketidakpastian, ketidakstabilan, serta rasa cemas terhadap berbagai perubahan besar yang tengah terjadi. Dalam periode ini, individu bisa mengalami beragam gejala, seperti kecemasan berlebihan, serangan panik, depresi, kebingungan identitas, hilangnya kestabilan emosional, hingga perasaan kehilangan jati diri. Krisis ini umumnya dialami pada masa dewasa awal, ketika seseorang mulai mempertanyakan arah hidupnya, merasa bimbang terhadap masa depan, dan merasa terjebak dalam pilihan-pilihan yang menentukan jalan hidupnya.[4] Kondisi psikologis ini umum dialami oleh individu usia 19–30 tahun. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, juga tidak terlepas dari pengalaman menghadapi fase ini.
Istilah Quarter life crisis pertama kali diperkenalkan oleh Alexandra Robbins dan Abby Wilner pada tahun 2001, yang didasarkan pada hasil penelitian mereka terhadap kelompok usia muda di Amerika Serikat saat memasuki abad ke-21. Mereka menyebut kelompok ini sebagai twentysomethings, yakni individu yang sedang berada dalam masa transisi meninggalkan kenyamanan dunia perkuliahan dan mulai memasuki realitas kehidupan dewasa, termasuk di dalamnya tuntutan karier dan pernikahan. Menurut Robbins dan Wilner, fase ini merupakan periode peralihan dari remaja menuju dewasa awal yang ditandai oleh dinamika emosional dan perilaku yang beragam serta kompleks.[5]
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran emosional yang kuat serta penanaman sikap spiritual yang matang agar individu mampu menjaga ketenangan dan arah hidupnya saat menghadapi fase tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengaplikasikan sikap tawakal, sebagai bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan, setelah melakukan ikhtiar dan doa secara maksimal.
Tawakal hadir sebagai solusi dari berbagai permasalahan, termasuk fenomena Quarter Life Crisis (QLC). Sikap tawakal menunjukkan bahwa harapan tidak akan tercapai tanpa adanya usaha, dan tidak ada manfaatnya terus-menerus larut dalam kesedihan karena kenyataan yang sudah terjadi tidak dapat diubah. Secara umum, tawakal berarti menyerahkan diri kepada Allah SWT setelah melakukan ikhtiar maksimal untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara dalam perspektif tasawuf, pemahaman tentang tawakal memiliki makna yang lebih mendalam dari sekadar penyerahan diri.[6]
Dalam Al-Quran, Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: “Barang siapa menyerahkan diri kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya (memeliharanya).“ ( QS. Ath Thalaq : 3)
Makna tawakal dalam ayat ini tidak hanya terbatas pada rezeki secara materi, tetapi juga mencakup ketenangan dan kepuasan batin yang merupakan bentuk kekayaan yang abadi. Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa siapa pun yang menaruh keyakinan sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan menjadi penjamin dan pemenuh segala kebutuhannya.[7]
Penjelasan mengenai ayat di atas diperdalam dalam kitab tafsir Fatūḥ al-Ghayb fī al-Kashf ‘an Qinā‘ al-Rayb,[8] di mana disebutkan bahwa:
{ومَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ} مرادًا به أنه يكل أمره إلى الله فيتبعه راضيًا بما يصرفه فيه، كالدابة التي تسير بسير غيرها منقادةً لحكمه وسيره، فإذا كان المتوكل على الله بهذه الصفة فالله حسبه حافظًا له ممن يحاول ظلمه، ومنتقمًا منه إن رأى ذلك أنفع له، وهو مراده في الوقت الذي قدره، وإذا كان قد جعل لكل شيء حينًا يقع عنده، لا يتعجل قلبه، ولا يتباطأ بعده.
Artinya: “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah adalah penjaganya”, maksudnya ia menyerahkan urusannya kepada Allah dan mengikuti-Nya, serta ridha terhadap apa yang diperintahkan-Nya, sebagaimana hewan yang mengikuti jejak hewan lain, tunduk kepada keputusan dan petunjuk-Nya, dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah dalam keadaan demikian, maka Allah menjadi penjaganya, melindunginya dari orang-orang yang menzaliminya, membalasnya jika Allah melihat hal tersebut bermanfaat baginya, dan Allah menghendakinya pada waktu yang telah ditentukan, dan jika Allah menjadikan segala sesuatu ada masanya, maka tidak akan terburu-buru, dan tidak pula akan melambat-lambat.
Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah, dijelaskan tentang makna dan pentingnya tawakal;
حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنِ ابْنِ هُبَيْرَةَ، عَنْ أَبِي تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا، وَتَرُوحُ بِطَانًا»
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Harmalah bin Yahya] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Wahb] telah mengabarkan kepadaku [Ibnu Lahi’ah] dari [Ibnu Hubairah] dari [Abu Tamim Al Jaisyani] dia berkata: saya mendengar [Umar] berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberi rizki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rizki terhadap burung, ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”.[9]
Sekali lagi tawakal dapat membantu mereduksi tingkat Quarter Life Crisis (QLC) yang dialami seseorang. Hal ini karena, menurut Imam Qusyairi dalam karyanya Risalah Qusyairiyah, ketika Ibnu Atha’ ditanya mengenai hakikat tawakal, beliau menjawab bahwa keraguan tidak akan muncul dalam diri seseorang yang sepenuhnya berserah, sehingga orang tersebut akan senantiasa merasakan ketenangan dalam menapaki jalan kebenaran. Sementara itu, Abu Turab An-Nakhsyabi menjelaskan bahwa inti dari tawakal adalah menyerahkan raga dalam penghambaan, menggantungkan hati kepada Tuhan, dan bersikap qana’ah (merasa cukup), apabila diberikan sesuatu ia bersyukur, dan jika tidak, ia bersabar. Sedangkan Sahal bin Abdullah menegaskan bahwa tawakal adalah melepaskan segala keinginan pribadi dan sepenuhnya bersandar kepada Allah SWT.[10]
Demikian dengan bersikap tawakal, emosi menjadi lebih stabil, keimanan meningkat, dan seseorang akan semakin istiqamah dalam menjalani hidup. Kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan pertolongan Allah menjadikan individu lebih bijak dalam menyikapi keadaan. Meskipun mungkin ada dampak negatif yang muncul, seseorang yang bertawakal mampu melihat sisi positif dan memetik hikmah dari setiap peristiwa. Dalam kitab Manāzil al-Sā’irīn, al-Harawi memandang bahwa tawakal merupakan tingkat spiritual yang tinggi dan sulit dicapai oleh kalangan awam. Bersikap tawakal berarti menyerahkan segala urusan sepenuhnya kepada Allah, menggantungkan diri pada kekuasaan-Nya, mendahulukan kehendak-Nya, serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya tempat bersandar. Dalam pembahasan ini, terdapat dua bentuk penyerahan: pertama, penyerahan dari manusia atas apa yang dipercayakan kepadanya; dan kedua, penyerahan diri kepada Allah sebagai bentuk pengakuan bahwa hanya kepada-Nya tempat bergantung dan berserah diri.[11]
Pada akhirnya, sikap tawakal dapat memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan jiwa seseorang agar tidak terjebak dalam rasa pesimisme yang melemahkan. Hal ini menjadi sangat relevan, terutama bagi kalangan remaja, khususnya generasi Z yang tumbuh di tengah arus modernisasi dan digitalisasi yang serba cepat. Dengan membangun dan mempersiapkan kecerdasan spiritual secara matang, mereka dapat lebih siap menghadapi tantangan hidup, termasuk masa-masa penuh gejolak seperti Quarter Life Crisis. Sikap tawakal menjadi landasan untuk tetap tenang, percaya, dan tidak kehilangan arah dalam menghadapi tekanan hidup di era sekarang.
Baca Juga: Kenali Gejala dan Cara Atasi Quarter Life Crisis
[1] Hidayatul Fikra, “Peran Kecerdasan Spiritual Pribadi Muslim Dalam Menghadapi Quarter Life Crisis,” Psikoislamika: Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam 19, no. 1 (2022): 334.
[2] Agung Setiyo Wibowo, Mantra Kehidupan, Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome dan Quarter-Life Crisis (Elex Media Komputindo, 2017).
[3] Yeni Mutiara, “Quarter Life Crisis Mahasiswa BKI Tingkat Akhir,” State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta 121 (2018), https://digilib.uin-suka.ac.id/id/file/849188.
[4] Mutiara.
[5] Mad Zaini et al., “Solution Focused Pada Individu Yang Mengalami Quarter Life Crisis,” Jurnal Keperawatan 13, no. 4 (2021): 1137–44.
[6] Afifah Syafa Nada, Alfi Julizun Az, and Heni Indrayani, “Tawakal Sebagai Methode Psikoterapi Terhadap Quarter Life Crisis Perspektif Imam Qusyairi Dalam Risalah Qusyairiyah,” Jurnal Kajian Islam Dan Sosial Keagamaan 1, no. 4 (June 11, 2024): 222–30.
[7] Mufidatul Hasan, “Konsep Tawakal Dalam Al-Qurán Dan Implikasi Terhadap Kesehatan Mental,” Skripsi. Surabaya: Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, 2008.
[8] Sharaf al-Dīn al-Ḥusayn ibn ‘Abd Allāh al-Ṭībī (w. 743 H), Fatūḥ Al-Ghayb Fī al-Kashf ‘an Qinā‘ al-Rayb (Ḥāshiyat al-Ṭībī ‘alā al-Kashshāf) (Jā’izat Dubayy al-Duwaliyya lil-Qur’ān al-Karīm, n.d.).
[9] al-Qazwini. Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah (Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, n.d.).
[10] Abd al-Karīm ibn Hawāzin ibn ʿAbd al-Malik al-Qushayrī (al-mutawaffā: 465 H), Al-Risālah al-Qushayriyyah (Dār al-Maʿārif, al-Qāhirah, n.d.).
[11] Herliyana Isnaeni, “TAWAKAL SEBAGAI UPAYA MENGATASI QUARTER LIFE CRISIS EMERGING ADULTHOOD DI ERA DISRUPSI,” MAHAD ALY JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES 1, no. 2 (2024): 39–54.
Referensi:
‘Abd Allāh al-Ṭībī (w. 743 H), Sharaf al-Dīn al-Ḥusayn ibn. Fatūḥ Al-Ghayb Fī al-Kashf ‘an Qinā‘ al-Rayb (Ḥāshiyat al-Ṭībī ‘alā al-Kashshāf). Jā’izat Dubayy al-Duwaliyya lil-Qur’ān al-Karīm, n.d.
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, al-Qazwini. Sunan Ibnu Majah. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, n.d.
(al-mutawaffā: 465 H), Abd al-Karīm ibn Hawāzin ibn ʿAbd al-Malik al-Qushayrī. Al-Risālah al-Qushayriyyah. Dār al-Maʿārif, al-Qāhirah, n.d.
Fikra, Hidayatul. “Peran Kecerdasan Spiritual Pribadi Muslim Dalam Menghadapi Quarter Life Crisis.” Psikoislamika: Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam 19, no. 1 (2022): 334.
Hasan, Mufidatul. “Konsep Tawakal Dalam Al-Qurán Dan Implikasi Terhadap Kesehatan Mental.” Skripsi. Surabaya: Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, 2008.
Isnaeni, Herliyana. “TAWAKAL SEBAGAI UPAYA MENGATASI QUARTER LIFE CRISIS EMERGING ADULTHOOD DI ERA DISRUPSI.” MAHAD ALY JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES 1, no. 2 (2024): 39–54.
Mutiara, Yeni. “Quarter Life Crisis Mahasiswa BKI Tingkat Akhir.” State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta 121 (2018). https://digilib.uin-suka.ac.id/id/file/849188.
Nada, Afifah Syafa, Alfi Julizun Az, and Heni Indrayani. “Tawakal Sebagai Methode Psikoterapi Terhadap Quarter Life Crisis Perspektif Imam Qusyairi Dalam Risalah Qusyairiyah.” Jurnal Kajian Islam Dan Sosial Keagamaan 1, no. 4 (June 11, 2024): 222–30.
Wibowo, Agung Setiyo. Mantra Kehidupan, Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome dan Quarter-Life Crisis. Elex Media Komputindo, 2017.
Zaini, Mad, Ginanjar Sasmita Adi, Restri Wahyuningtyas, and Mohammad Zaihullah. “Solution Focused Pada Individu Yang Mengalami Quarter Life Crisis.” Jurnal Keperawatan 13, no. 4 (2021): 1137–44.
Penulis: Ahmad Firdaus, Mahasantri M2 Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng