
“Aku gemuk.”
Salah satu kalimat yang selalu menghantui, dan seakan jadi mantra yang terus berulang di benak banyak perempuan. Bukan karena mereka ingin menyalahkan diri sendiri setiap waktu, tapi karena dunia seperti memaksa mereka untuk berpikir begitu. Setiap kali bercermin, saat melihat foto, saat memilih baju, bahkan ketika hanya sekadar duduk diam selalu ada suara kecil yang berkata, “Kamu nggak cukup cantik, kamu nggak cukup ideal, kamu gemuk.”
Pertanyaannya, kenapa label “gemuk” itu seperti dosa besar jika disandang perempuan?
Ketika seorang perempuan memiliki tubuh yang sedikit lebih besar dari standar ideal yang dibentuk media, komentar langsung meluncur baik dari orang asing di media sosial, teman sendiri, atau bahkan keluarga:
“Kok kamu makin berisi, sih?”
“Itu baju nggak kekecilan?”
“Kamu nggak takut nanti nggak laku?”
Sementara di sisi lain, laki-laki dengan tubuh besar justru sering dipuja. Katanya, mereka terlihat “berwibawa”, “lucu”, “penuh karisma”, bahkan “menggemaskan”. Mereka tak pernah dituntut untuk tampil sempurna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mereka boleh punya perut buncit, rambut acak-acakan, pakai kaus oblong pun tetap dianggap keren asal punya “vibe” dan kepercayaan diri.
Satu hal yang menyedihkan dari budaya kita adalah standar ganda yang dilekatkan pada perempuan. Sejak kecil, perempuan diajarkan untuk cantik, rapi, sopan, tidak berisik, dan tentu saja langsing. Bukan karena mereka menginginkannya, tetapi karena dunia menuntut begitu.
Mau jadi apa pun guru, pengacara, dokter, atau ibu rumah tangga penampilan perempuan tetap dinilai terlebih dahulu. Tidak peduli seberapa cerdas, lucu, atau baik hatinya, jika tidak memenuhi standar kecantikan, maka seolah nilai mereka berkurang.
Baca Juga: Agar Kamu Tetap Tampil Percaya Diri
Dan gemuk?
Gemuk seakan menjadi simbol kegagalan seorang perempuan dalam merawat diri.
Padahal siapa yang bilang perempuan gemuk tidak bahagia?
Siapa yang bilang mereka tidak sehat?
Siapa yang bilang mereka tidak layak dicintai?
Banyak perempuan hidup dengan ketakutan:
Takut dibully.
Takut dijauhi teman.
Takut tidak ada yang mencintai mereka.
Semua itu hanya karena bentuk tubuh.
Mereka rela diet ketat, menyiksa diri dengan olahraga berlebihan, bahkan mengonsumsi obat-obatan tanpa resep bukan karena mereka ingin hidup sehat, tapi karena mereka ingin diterima. Karena dunia tidak mengizinkan mereka tampil apa adanya. Karena jika tidak langsing, maka hidup akan lebih sulit.
Ironisnya, ketika seorang laki-laki gemuk mendapat pasangan cantik atau tubuh ideal, responsnya justru penuh pujian:
“Wah, cowok itu pasti baik banget, bisa dapet cewek secantik itu.”
“Berarti dia punya kualitas luar biasa, dong.”
Tapi ketika seorang perempuan gemuk punya pasangan tampan atau ideal, justru dicibir:
“Cowoknya pasti kasihan.”
“Atau jangan-jangan, ceweknya tajir?”
Kenapa? Kenapa standar untuk perempuan selalu lebih kejam?
Tubuh Perempuan Bukan Konsumsi Publik
Opini ini bukan berarti menyalahkan laki-laki. Banyak juga laki-laki yang hidup dengan ketakutan atas bentuk tubuh, terutama mereka yang tidak sesuai dengan stereotype maskulin. Tapi tetap saja, tekanan terhadap perempuan jauh lebih sistematis dan intens.
Tubuh perempuan selalu menjadi konsumsi publik. Dari majalah remaja sampai iklan kosmetik, dari komentar di Instagram sampai obrolan ibu-ibu di arisan semuanya punya opini tentang tubuh perempuan. Dan itu sangat melelahkan.
Yang lebih menyakitkan, kadang komentar paling kejam justru datang dari sesama perempuan. Karena kita dibesarkan dalam sistem yang membuat kita saling membandingkan, saling mengkritik, saling menilai—bukannya saling menguatkan.
Membongkar Standar yang Tak Masuk Akal
Saatnya kita bertanya: siapa yang membuat standar kecantikan itu? Siapa yang memutuskan bahwa cantik itu harus tinggi, putih, langsing, dan mulus?
Baca Juga: Berdamai dengan Masalah Sendiri
Standar itu tidak datang dari langit. Ia dibentuk oleh industri yang ingin kita terus merasa kurang. Supaya kita terus membeli produk pelangsing, krim pemutih, baju yang “menguruskan”, dan sebagainya. Rasa insecure perempuan adalah komoditas. Rasa tidak percaya diri dijual, dikemas, dan disebarluaskan agar kita tetap merasa tidak cukup.
Padahal, kenyataannya sangat sederhana: tubuh kita tidak pernah salah. Yang salah adalah cara dunia memandang tubuh kita.
Menerima Diri, Bukan Berarti Menyerah
Menerima tubuh bukan berarti berhenti merawat diri. Bukan berarti pasrah dan tak peduli. Tapi itu berarti berdamai dengan diri sendiri, memahami bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh angka di timbangan atau ukuran celana.
Kita bisa mencintai tubuh kita sambil tetap hidup sehat. Kita bisa berdandan karena kita ingin, bukan karena terpaksa. Kita bisa mengenakan apa pun yang membuat kita nyaman, bukan karena takut dihakimi. Yang penting, kita tahu bahwa kita berharga terlepas dari apa pun bentuk tubuh kita.
Baca Juga: Ketika Kamu Meragukan Dirimu Sendiri
Pertanyaan “Kenapa aku gemuk?” mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang. Dunia akan terus berusaha membuat kita merasa kurang. Akan selalu ada standar baru, tuntutan baru, bentuk baru dari ketidaksempurnaan yang dianggap “kesalahan”.
Tapi kita bisa memilih untuk melawan, dengan mencintai diri sendiri lebih dalam. Dengan tidak menilai perempuan lain dari bentuk tubuhnya, dengan membangun ruang aman untuk saling menguatkan. Karena kita tidak dilahirkan untuk menyenangkan mata dunia. Kita dilahirkan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Penulis: Albii