Gambaran beberapa perempuan sedang bermusyawarah.

Keadilan hakiki bagi perempuan adalah konsep keadilan yang tidak didasarkan pada standar tunggal, melainkan mempertimbangkan pengalaman baik secara biologis maupun sosial. Dalam pandangan Nyai Nur Rofiah, pentingnya keadilan hakiki ini berakar pada kenyataan meskipun ada persamaan antara laki-laki dan perempuan, terdapat pula perbedaan mendasar yang tidak dapat diabaikan.

Dua perbedaan utama itu, meliputi aspek biologis dan sosial. Aspek biologis mencakup sistem reproduksi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sementara aspek sosial mencakup perlakuan yang berbeda akibat sistem patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat. Jika pengalaman biologis dan sosial perempuan diabaikan dalam perumusan keadilan, maka kebijakan yang dihasilkan hanya akan adil bagi laki-laki secara tekstual dan prosedural, tapi tidak secara hakiki.

Pengalaman biologis perempuan seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, nifas dan menyusui adalah proses yang tidak dialami oleh laki-laki. Dampak dari pengalaman itu sering kali diabaikan, sehingga kebijakan yang dihasilkan cenderung bias terhadap pengalaman laki-laki. Misalnya, pernikahan dini yang masih terjadi di beberapa daerah, memiliki dampak buruk bagi tubuh perempuan dan berisiko tinggi terhadap kesehatan mereka.

Oleh karena itu, pengalaman biologis perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam perumusan keadilan yang hakiki. Selain itu, pengalaman sosial perempuan juga sering kali diabaikan. Perempuan dihadapkan pada berbagai stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda, mulai dari anggapan bahwa mereka harus berada di rumah hingga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sering kali dibenarkan atas nama ajaran agama.

Baca Juga: Mengkaji Perempuan Bukan Sumber Fitnah

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Secara jelas Al-Qur’an menyatakan dalam Surat An-Nisa Ayat 34:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

Wallâtî takhâfûna nusyûzahunna fa‘idhûhunna wahjurûhunna fil-madlâji‘i wadlribûhunn, fa in atha‘nakum fa lâ tabghû ‘alaihinna sabîlâ, innallâha kâna ‘aliyyang kabîrâ

Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu), pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.”

Dalam tafsir tertentu, ayat yang membolehkan memukul perempuan dianggap sebagai bagian dari pendidikan dan ketaatan. Padahal, latar belakang turunnya ayat tersebut adalah membatasi praktik kekerasan yang sudah lazim terjadi pada masa itu, di mana perempuan dianggap sebagai harta milik laki-laki. Bahkan dijadikan jaminan utang atau dikubur hidup-hidup.

Sehingga dosen pascasarjana Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jarkata ini, menegaskan bahwa keadilan hakiki tidak boleh mengandung kezaliman terhadap siapa pun, terutama terhadap perempuan hanya karena mereka adalah perempuan. Dalam konteks kemaslahatan, keadilan harus memperhitungkan pengalaman biologis dan sosial perempuan, agar tidak menambah beban atau penderitaan mereka.

Misalnya, dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, harus ada musyawarah yang menghasilkan kesepakatan adil dan tidak memberatkan salah satu pihak. Prinsip keadilan hakiki bagi perempuan, juga menolak anggapan bahwa perempuan harus selalu tunduk kepada laki-laki atau nilai perempuan hanya diukur dari kecantikan, atau juga peran reproduksi mereka.

Islam sendiri menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Wa iż qāla rabbuka lil-malā`ikati innī jā’ilun fil-arḍi khalīfah, qālū a taj’alu fīhā may yufsidu fīhā wa yasfikud-dimā`, wa naḥnu nusabbiḥu biḥamdika wa nuqaddisu lak, qāla innī a’lamu mā lā ta’lamụn

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Baca Juga: Bukan Makhluk Pelengkap, Perempuan adalah Manusia Seutuhnya

Dengan demikian, kebijakan negara, kearifan sosial, dan kemaslahatan agama harus dirumuskan dengan memperhatikan pengalaman nyata perempuan, agar menciptakan keadilan yang benar-benar hakiki.

Dengan memahami dan mengakomodasi pengalaman perempuan secara menyeluruh, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi, di mana perempuan tidak lagi menjadi objek diskriminasi atau kekerasan, melainkan menjadi mitra sejajar dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Inilah esensi dari keadilan hakiki sebagaimana yang digagas oleh salah satu perempuan ulama ahli tafsir tersebut.



Sumber: Surat An-Nisa Ayat 34 beserta bahasa latin dan artinya: https://quran.nu.or.id/an-nisa/34
Surat Al-Baqarah Ayat 30 beserta bahasa latin dan artinya: https://tafsirweb.com/290-surat-al-baqarah-ayat-30.html


Penulis: Ahmad Rifa’i