
Tradisi halalbihalal telah menjadi bagian penting dari budaya dan nilai-nilai masyarakat Indonesia, terutama saat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Namun, di balik kebersamaan dan kegembiraan dalam acara ini, tersimpan makna yang dalam yang sering kali terabaikan. Makna halalbihalal mencakup aspek spiritual, sosial, dan moral. Halalbihalal tidak hanya sekadar ritual formal, melainkan sebuah peluang untuk meningkatkan pemahaman akan nilai-nilai keislaman dan kebersamaan yang hakiki.
Mengutip dari Jurnal Kementerian Agama Republik Indonesia yang berjudul Makna Halalbihalal, Pengertian Halalbihalal ditinjau dari segi bahasa berasal dari bahasa Arab “Halla atau Halala” yang memiliki banyak arti, seperti menyelesaikan masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Kata ini kemudian telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Halalbihalal merujuk pada hal maaf dan saling memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Secara istilah pengertian halalbihalal adalah kegiatan saling bermaaf-maafan atas kesalahan atau kekhilafan di masa lalu setelah hari raya. Dengan menjaga silaturahmi ini, dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi suka, sombong menjadi rendah hati, dan dari dosa menjadi terbebas dari dosa.
Pengertian halalbihalal menurut kaidah hukum Islam (Fiqih) kata halal adalah lawan dari kata haram. Halal adalah sesuatu perbuatan yang diperbolehkan, sedangkan haram adalah perbuatan yang harus ditinggalkan dan jika dilakukan akan melahirkan dosa dan siksaan. Dengan demikian, secara hukum Islam makna halalbihalal adalah perbuatan yang mengubah kondisi yang tadinya haram atau berdosa akibat saling membenci menjadi halal dan tidak berdosa lagi setelah bermaaf-maafan.
Baca Juga: Sejarah Halal Bihalal hingga Menjadi Tradisi
Kata halal dalam tinjauan Al-Qur’an banyak dirangkaikan dengan kata “طيبة” yang artinya “baik dan menyenangkan”. Dengan kata lain, Al-Quran menuntut agar setiap pekerjaan manusia itu haruslah sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Karena itulah setiap manusia harusnya saling memaafkan dan mengikhlaskan satu sama lain agar tidak ada yang dirugikan.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian halalbihalal adalah kegiatan menyambung kembali tali silaturahmi yang pernah putus dan menjalin hubungan yang baik satu sama lain secara terus menerus. Namun, tidak hanya dalam hubungan antar kerabat maupun keluarga, tradisi halalbihalal juga dapat menjadi sarana untuk menjalin integrasi antar bangsa dan negara.
Melansir dari laman Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, terdapat beberapa versi tentang asal-usul dan sejarah tradisi halalbihalal di bumi Nusantara. Konon, kegiatan halalbihalal ini sudah ada sejak masa Raja Mangkunegara I (lahir 08 April 1725) atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Kala itu, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan dengan para raja, punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Pada pertemuan tersebut dilakukan pula tradisi sungkeman dan saling bermaaf-maafan satu sama lain. Semua punggawa dan prajurit melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri sebagai bentuk penghormatan dan permohonan maaf. Namun yang menjadi patokan adalah gagasan yang disampaikan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Pada tahun 1948 dikala itu Presiden Soekarno sowan dan meminta solusi kepada Mbah Wahab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi pada elite politik di pemerintahan. Karena pada masa itu kondisi nasional bangsa Indonesia masih dalam konflik dengan Belanda. Atas saran KH Wahab, Presiden Soekarno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara pada hari raya Idul Fitri tahun 1948.
Sowan yang dilakukan Bung Karno itu menghasilkan jalan keluar, yakni diselesaikan dengan silaturahim. Hanya saja istilah itu sudah lumrah dikenal masyarakat. Akhirnya, Mbah Wahab menggantinya dengan istilah baru. Pertemuan itu pun diberi judul “Halalbihalal”. Di dalam acara tersebut, para tokoh politik duduk bersama dalam satu meja untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depannya. Setelahnya, berbagai instansi pemerintah pun menyelenggarakan acara halalbihalal.
Para elite politik yang tak mau bersatu dikumpulkan dalam suatu meja supaya mereka tidak punya dosa atau harus dihalalkan dosanya. Hingga kini cerita legendaris ini dikenal oleh masyarakat luas. Tujuan dilaksanakannya acara halalbihalal yakni untuk menyambung silaturahmi yang tadinya putus menjadi terikat kembali.
Hal ini sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW:
– حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ معن قال: حدثني أبي، عن سعيد ابن أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: (مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أثره، فليصل رحمه)
Ibrahim bin Mundzir meriwayatkan kepadaku: Muhammad bin Ma’n meriwayatkan kepada kami: Ayahku meriwayatkan kepadaku dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya diperpanjang, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR Bukhari).
Tradisi halalbihalal ditandai pula dengan saling bersalaman dan mengucapkan mohon maaf lahir bathin. Hal ini akan mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ الْبَرَاءِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
«مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا»
[صحيح بمجموع طرقه] – [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد] – [سنن أبي داود: 5212]
Dari Al-Bara’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” [Shahih berdasarkan seluruh rantai periwayatannya] – [HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad] – [Sunan Abi Dawud: 5212].
Penulis: Fatih, Mahasantri Mahad Aly Tebuireng.