
Sebelum datangnya Islam di jazirah Arab, masyarakat Arab setempat sudah memiliki kebudayaan yang bisa dikatakan maju. Istilah yang tersemat kepada masyarakat Arab bahwa mereka adalah masyarakat jahiliyah bukanlah berarti kalau mereka mengalami kebodohan. Istilah ini dipakai karena mereka tidak mau menerima kebenaran sehingga tersematlah istilah kebodohan kepada mereka. Kebenaran yang dimaksud adalah agama Islam.
Bangsa Arab pada awalnya sulit menerima ajaran Islam karena dianggap sebagai hal baru dan berbeda dengan kebiasaan mereka baik dari hal keagamaan dan sosial. Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam tidak serta merta menolak tradisi yang sudah berlaku di kalangan bangsa Arab. Berbagai ragam respon yang bervariasi dilakukan oleh syariat Islam guna membina masyarakat Arab pada waktu itu agar menjadi lebih baik. Setidaknya ada tiga metode yang dilakukan oleh syariat Islam, yakni metode tersebut adalah taqrir, tahdzib, tabthil.[1]
Metode pertama, respon syariat terhadap tradisi atau budaya Arab adalah taqrir, yaitu menetapkan budaya tersebut menjadi salah satu syariat Islam. Kedua, tahdzib yang berarti mengoreksi sebuah tradisi tertentu dan dirubah sedikit sehingga bisa diterima oleh syariat. Ketiga, adalah tabthil, yakni syariat membatalkan atau menghapus sebuah tradisi yang memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Respon Syariat Islam Terhadap Budaya Arab Pra-Islam
Dalam taqrir, salah satu budaya Arab yang diterima oleh syariat Islam adalah memulyakan Ka’bah (baitullah). Pada zaman dahulu, masyarakat Arab sebelum datangnya Islam sudah memiliki tradisi guna memuliakan Ka’bah yang menjadi warisan nabi Ibrahim dan mereka juga melakukan ritual ibadah haji. Dalam al-Quran, banyak ayat yang mendukung tentang tradisi ini misalnya surat Ali ‘Imran ayat 97:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَه كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.
Tradisi lain masyarakat Arab yang diterima oleh syariat ialah penghormatan terhadap bulan-bulan khusus, yakni Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dalam bulan-bulan ini, masyarakat dilarang melakukan peperangan, permusuhan, kezaliman dan mengganggu jalannya upacara haji dan pasar umum. Bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram dihormati orang Arab, karena merupakan bulan pelaksanaan ibadah haji menuju Ka’bah di Makkah. Sementara bulan Rajab yang dianggap bulan ganjil, adalah waktu pelaksanaan umrah. Inilah yang menjadi alasan mengapa keempat bulan ini menjadi bulan yang paling dihormati.[2]
Sementara dalam tahdzib atau istilah lain disebut taghyir (merubah), budaya Arab banyak yang sedikit dimodifikasi oleh Islam, sehingga bisa menjadi salah satu syariat yang bisa dijalankan oleh umat muslim. Salah satu contohnya adalah adat perkawinan orang Arab yang menikahi wanita tanpa batas, sampai datangnya syariat Islam yang membatasi perkawinan maksimal empat orang istri.[3] Dalam hal ini ada ayat al-Quan yang membahasnya yaitu surat an-Nisa ayat 3:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
Kemudian dalam tabthil, bentuk respon ketiga dari syariat terhadap budaya Arab ini ialah berupa pembatalan sebuah tradisi atau kebiasaan bangsa Arab yang memang sudah tidak bisa ditolelir lagi karena sudah benar-benar sangat menyimpang dengan ajaran Islam. Sebagai contoh misalnya budaya minum khamar di kalangan para sahabat sebelum masuk Islam, judi dan praktik riba, mengubur bayi perempuan yang masih hidup. Tradisi-tradisi tersebut sudah mengakar dalam kalangan masyarakat Arab.[4]
Termasuk tradisi pernikahan zaman Arab jahiliyah yang dibatalkan oleh syariat adalah menikahi istri ayah (ibu tiri) yang telah dilarang dalam al-Quran dalam surat an-Nisa ayat 22.[5] Menurut Ibn Juzayy al-Kalbi bahwasannya ayat ini turun berkenaan dengan tradisi bangsa Arab yang menikahi istri dari ayah mereka walaupun pernikahannya hanya sebatas akad.[6] Dalam masalah ini ada hadis tentang respon keras Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنُ أَخِي الْحُسَيْنِ الْجُعْفِيِّ قَالَ: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مَنَازِلَ التَّيْمِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي كَرِيمَةَ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ، أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ وَأُصَفِّيَ مَالَهُ
Muhammad bin Abdul Rahman bin Akhi al-Husain al-Ju’fi telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yusuf bin Manazil al-Taimi telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Idris telah menceritakan kepada kami, dari Khalid bin Abi Karimah, dari Muawiyah bin Qurrah, dari ayahnya, ia berkata: ‘Rasulullah ﷺ mengutusku kepada seorang lelaki yang menikahi istri ayahnya, untuk memenggal lehernya dan menguasai hartanya.'”[7]
Kedatangan syariat Islam pada sebuah tempat tidak serta merta membatalkan atau menghapus segala yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam. Tetapi ada proses di dalamnya sebagai binaan terhadap umat Islam tentang ajaran Islam agar tidak dianggap kaku bagi orang yang pertama kali mengenalnya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam cara syariat merespon kebiasaan bangsa Arab yang tidak serta merta dihapus bahkan ada beberapa tradisi yang dilestarikan oleh Islam dengan menjadikannya salah satu ajaran syariat.
Baca Juga: Pola Perubahan Kebudayaan dari Masa ke Masa
[1] Abdul Fattah Muhammad Ahmad Hador, Adatu Arabiyah fi Dhaui al-Qur’an al-Karim Dirasah Maudhuiyah, (Majalah Ma’had Imam as-Syatibi, 2007).
[2] Zumrodi, RESPON HADIS TERHADAP BUDAYA MASYARAKAT ARAB, (Riwayah: Jurnal Studi Hadis, Vol, 3, No. 1, 2017), 132.
[3] Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, Adat Kebiasaan Bangsa Arab dalam Pembahasan Al-Qur’an, (Medan: Undhar Press, 2020), 39.
[4] Abd Halim, Dialektika Hadis Nabi dengan Budaya Lokal Arab, (DINIKA: Academic Journal of Islamic Studies Vol. 4, No. 1, 2019), 71.
[5] Abdul Fattah Muhammad Hadhor, 107.
[6] Ibn Juzayy al-Kalbi al-Gharnati, At-Tashil li Ulum at-Tanzil, (Beirut: Dar Arqam, 1995), 1/185.
[7] Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Arab: Dar Iḥya’ al-Kutub al-Arabiyyah) 869/2.
Penulis: Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng.