
Oleh: Ma’sum Ahlul Choir*
Dalam Islam, istilah sunnah merujuk pada segala sesuatu yang dilakukan, diucapkan, atau disetujui oleh Nabi Muhammad SAW. Pemahaman ini menimbulkan anggapan di kalangan pelajar bahwa semua tindakan, ucapan, dan persetujuan Nabi merupakan sunnah tasyri’i, yang menjadi pedoman hukum bagi umat Islam. Namun, apakah pemahaman ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam ilmu fiqih?
Sunnah tasyri’i sendiri adalah tindakan Nabi yang memiliki implikasi hukum dan menjadi acuan bagi umat Islam dalam menjalankan syariat. Tindakan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, etika, dan norma sosial. Misalnya, pelaksanaan shalat, puasa, dan zakat adalah contoh nyata dari sunnah tasyri’i yang diatur dengan jelas dalam al-Quran dan hadis.
Di sisi lain, tidak semua yang dilakukan atau diucapkan oleh Nabi dapat dikategorikan sebagai sunnah tasyri’i. Terdapat pula sunnah ghair tasyri’i, yang mencakup tindakan atau kebiasaan pribadi Nabi yang tidak memiliki implikasi hukum. Contohnya, cara berpakaian Nabi atau pilihan makanan tertentu, dan semua yang dilakukan nabi yang bersumber dari sisi kemanusiaan dan budaya.
Semua itu tidak selalu dapat diterapkan sebagai pedoman hukum bagi seluruh umat Islam dalam upaya untuk mengimplementasikan ajaran Nabi, umat Islam perlu melakukan analisis kritis terhadap berbagai tindakan beliau. Ini penting agar umat dapat mengikuti ajaran Islam dengan cara yang tepat, sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, dan terhindar dari kesalahpahaman yang dapat mengarah pada praktik yang tidak sesuai.
Dalam tulisan ini penulis menyajikan suatu yang menjadi kebutuhan umat untuk memahami perbedaan antara sunnah tasyri’i dengan sunnah ghair tasyri’i di atas, dengan cara mengutip beberapa keterangan yang ditulis oleh para ulama, di antaranya Syekh Yahya Bin Syarf Al-Nawawi dalam karyanya Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim di sana beliau menyampaikan:
“Adapun pernyataan Nabi SAW, yang berupa “Dari pendapat saya” hal itu merujuk pada urusan dunia dan kehidupan sehari-hari, bukan pada hal-hal yang berkaitan dengan legalisasi hukum tertentu (tasyri’). Sedangkan apa yang beliau katakan berdasarkan ijtihadnya dan dianggap sah secara syariah, maka wajib untuk dilaksanakan. Namun, pemangkasan pohon kurma tidak termasuk dalam kategori ini.”[1].
Dari penjelasan Imam Nawawi mengenai perkatan Rasulullah, “Dari pendapat saya” di atas, bisa kita pahami bahwa memang tidak semua yang datangnya dari Nabi menjadi pedoman dalam hukum syari’at (tasyri’) sehingga sangat dianjurkan bagi kita untuk mengkaji lebih teliti mengenai perbedaan sunnah tasyri’i dengan sunnah yang bukan tasyri’i. Senada dengan itu, Syekh Mahmud Syaltut memberikan penjelasan lebih rinci lagi dalam kitab Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah. Beliau membagi suatu yang datangnya dari Nabi menjadi tiga bagian, yang dari ketiga-tiganya tidak mengandung unsur tasyri’ berikut rinciannya:
“Perlu diperhatikan bahwa semua yang diriwayatkan dari Nabi SAW dan dicatat dalam kitab-kitab hadis mengenai ucapan, tindakan, dan persetujuan beliau terbagi menjadi beberapa kategori: Kategori pertama: Hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia, seperti makan, minum, tidur, berjalan, berkunjung, menyelesaikan perselisihan antara dua orang dengan cara yang umum, memberikan syafaat, dan tawar-menawar dalam jual beli. Kategori kedua: Hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman dan kebiasaan pribadi atau sosial, seperti yang terkait dengan pertanian, pengobatan, dan panjang atau pendeknya pakaian. Kategori ketiga: Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan manusia yang didasarkan pada kondisi yang ada, seperti pembagian pasukan di lokasi perang, pengaturan barisan dalam satu pertempuran, strategi menyerang atau bertahan, dan pemilihan tempat perhentian, serta hal-hal lain yang bergantung pada keadaan dan pengalaman khusus. Semua yang dikemukakan dalam ketiga kategori ini bukanlah syariat yang berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan atau meninggalkan suatu tindakan, melainkan merupakan urusan manusia yang tidak menjadi kewajiban Rasul SAW untuk di sampaikan kepada ummatnya”[2]
Dari dua pendapat ulama yang dikutip oleh penulis, jelas bahwa sesuatu yang berasal dari Nabi terkadang merupakan tasyri’i yang menjadi pedoman hukum bagi umat Islam, dan terkadang pula bukan merupakan tasyri’i yang mencakup tindakan atau kebiasaan pribadi Nabi yang didasarkan pada unsur kemanusiaan dan budaya, yang tidak memiliki implikasi hukum.
Namun hal yang cukup menarik yaitu pandangan yang datangnya dari Syekh Musa Syahin Lasyin dalam kitab Al-Sunnah Kulluha Tasyri’. Dalam kitab tersebut. beliau berargumentasi bahwa semua yang datangnya dari Nabi adalah bentuk tasyri’i yang memberikan implikasi hukum. Beliau tidak membagi suatu yang datangnya dari Nabi menjadi beberapa bagian sebagaimana yang dilakukan Imam Nawawi dan Syekh Mahmud Syaltut. Beliau berargumentasi bahwa semua yang datangnya dari Nabi adalah pedoman hukum syari’at, sekalipun yang berstatus mubah[3].
Syekh Musa Syahin Lasyin rupanya tidak sendirian dalam pendapatnya yang mengatakan bahwa semua yang datangnya dari Nabi adalah bentuk tasyri’i yang memiliki implikasi hukum meskipun hanya mubah, pendapat ini juga di dukung oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa dalam kitab tersebut beliau menuturkan:
“Jadi, segala yang dikatakan oleh Rasul setelah kenabian, dan disetujui olehnya, serta tidak Nasakh, maka itu adalah syariat. Namun, syariat mencakup kewajiban, keharaman, dan kebolehan. Dalam hal ini juga termasuk apa yang menunjukkan manfaat dalam bidang kedokteran. Karena itu mencakup kebolehan penggunaan obat tersebut dan memanfaatkannya, maka itu adalah syariat untuk kebolehannya. Dan bisa juga menjadi syariat untuk menganjurkannya. pada intinya adalah: bahwa semua ucapan beliau dapat diambil sebagai syariat.”[4]
Jika diamati dengan seksama, rupanya terdapat dua pandang yang berbeda mengenai perkara yang datangnya dari Nabi, apakah semua memberikan implikasi hukum atau tidak. Pandangan Imam Nawawi dan Syekh Mahmud Syaltut serta beberapa ulama yang lain menyatakan bahwa perkara yang datangnya dari Nabi adakalanya mengandung implikasi hukum syari’at adakalanya tidak.
Hal itu didasarkan kepada pernyataan rasul yang berupa “dari pendapat saya” yang diartikan sebagai urusan dunia dan kehidupan sehari-hari, bukan pada hal-hal yang berkaitan dengan legalisasi hukum tertentu. Pandangan Syekh Musa Syahin yang juga di dukung Ibnu Taimiyah dan ulama lain menyatakan bahwa semua yang datangnya dari Nabi mengandung iplikasi hukum syariat.
Penyebab perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah semua yang datang dari Nabi Muhammad memberikan ketetapan hukum syariat atau tidak, terletak pada sudut pandang masing-masing ulama terkait makna hukum syariat itu sendiri. Perbedaan ini mencerminkan interpretasi yang beragam terhadap teks-teks agama dan konteks penerapannya.
Ulama yang berpendapat bahwa semua yang datangnya dari Nabi mengandung tasyri’i memandang bahwa perkara mubah juga termasuk dari hukum syar’i sebab meskipun mubah adalah khitab Allah yang sifatnya takhyir (opsional) namun dengan melakukan perkara mubah maka seorang mukmin berarti sedang menjauhi perkara haram. Sedangkan menjauhi perkara haram itu merupakan tuntutan yang bersifat wajib, maka dengan melihat sudut pandang ini mereka berpendapat bahwa perkara mubah juga merupakan tuntutan syari’at.[5]
Di samping itu, ulama yang berpendapat tidak semua perkara yang datangnya dari Nabi mengandung implikasi hukum tertentu, mereka berpendapat bahwa hukum syari’at hanya tertentu kepada empat perkara yaitu wajib, haram, sunnah, dan makruh. Sedangkan mubah tidak termasuk dari jajaran hukum syariat. Hal ini sesuai dengan komentar Syekh Musa Syahin kepada Syekh Mahmud Syaltut, yang menurut beliau Syekh Mahmud menafikan hukum mubah dari jajaran hukum syariat yang empat. Padahal sebenarnya hukum mubah juga termasuk jajaran hukum syari’at.[6]
Dengan demikian, sesuatu yang datangnya dari Nabi dan didasari unsur kemanusiaan atau budaya seperti makan, minum, tidur, pakaian jubbah dan lain-lain, terdapat dua pendapat. Pertama, dianggap tidak termasuk dari syari’at bila meninjau pendapat Imam Nawawi dan Syekh Mahmud Syaltut serta ulama yang lain yang satu pemikiran dengan beliau berdua. Kedua, termasuk syari’at meskipun hanya bersifat mubah bila meninjau pendapat Syekh Musa Syahin Lasyin dan Ibnu Taimiyah.
Namun perlu diingat kembali, meskipun hanya bersifat mubah jika dengan melakukan perkara mubah tersebut diniatkan untuk meniru apa yang Nabi lakukan maka seseorang akan mendapatkan pahala atas dasar kecintaannya kepada apa yang Nabi cintai[7], atau dalam melaksanakan perkara mubah tersebut diniati untuk menjauhi perkara haram maka seseorang juga akan mendapatkan pahala dengan amal mubahnya. Sebagaimana yang disampaikan Imam Asyatibi dalam kitab Al-Muwafaqat:
“Yang benar adalah bahwa niat merupakan syarat agar suatu amalan dianggap ibadah. Niat yang dimaksud di sini adalah niat untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah. Jika hal ini berlaku dalam setiap tindakan dan penghindaran atas suatu larangan, maka dapat dipastikan bahwa dalam semua amalan yang di tuntutkan terdapat unsur ibadah secara umum.”[8]
Wallahu a’lam
Baca Juga: Tujuan Mempelajari Sirah Nabawiyah Perspektif Syekh Said Ramadhan Al-Buthi
[1] Yahya Bin Syarf Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, (Beirut:Dar Ihya’ Al-Turats, 1392 H), Juz 15 Hal 116
[2] Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah, (Cairo: Dar Al-Syuruq, 2001 M) Hal 449
[3] Musa Syahin Lasyin, Al-Sunnah Kulluha Tasyri’, (Qatar University, Tanpa Tahun) Hal 57
[4] Ibn Taimiyah Al-Harrani, Majmu’ Al-Fatawa, (Madinah: Majma’ Al-Malik Fahd Li Tiba’ah Al-Mushaf, 1995 M), juz 18, Hal 12
[5] Muhammad Bin Musthafa Al-Zuhaily, Al-Wajiz Fi Usul Al-Fiqhi Al-Islami, (Surya: Dar Al-Khair, 2006), Juz 1, Hal 295
[6] Musa Syahin Lasyin, Fathul Mun’im Syarh Sahih Muslim, (Cairo: Dar Al-Syuruq, 2002 M), Juz 9, Hal 232
[7] Zakariya Bin Ghulam, Min Usul Al-Fiqh ‘Ala Manhaji Ahli Al-Hadis, (Dar Al-Kharraz, 2002 M), Hal 81
[8] Asyatibi, Al-Muawfaqat, (Dar Ibn Affan, 1997 M), Juz 2, Hal 257
*Mahasantri Marhalah Tsani (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari