
Oleh: Nabila Rahayu*
Pernah berada di posisi sama yang seperti aku? Posisi dimana merasa dikucilkan, dipojokkan, tak pernah dianggap, tak pernah dihargai. Pernah merasa seperti itu? Jika pernah, bagaimana cara untuk menghilangkan semua rasa itu? Banyak sekali runtutan pertanyaan. Pihak mana yang salah. Aku atau mereka.
Untuk tahu jawaban itu semua, bertemulah kita di pojok diri. Terjawablah bahwa semua segala hal tergantung pada diri. Jika ingin dihargai, hargailah diri. Jika ingin dianggap ada, anggaplah bahwa diri ada dan selalu ada. Jika ingin dicintai oleh orang banyak, maka cintailah diri.
Bagaiamana caranya? dengarkan diri berbicara. Kabulkan jiwa butuh apa. Renungkan semuanya bersama diri, cakap hangat diri dalam dekap, peluk erat diri. Pertanyaan terbesarku adalah, apakah aku salah memtuskan untuk berjalan sendiri? Tanpa ada suatu golongan. Ya, hanya sebatas teman. Tanpa ada sahabat. Apakah aku salah kalau sahabat terbaikku adalah diriku sendiri? Semua berhak memilih dan menentukan, kan?
Untuk menjadi yang beda diantara yang lain cukup berat memang. Namun aku selalu berusaha. Bukan nya aku tak punya teman. Aku punya, banyak bahkan. Namun aku tak pernah menjadikan mereka sebagai golongan. Semua di mataku sama. Tak ada golongan A tak ada golongan B.
Dirimu Menentukan Bagaimana Lingkunganmu
Biarkan mereka berpendapat bebas tentang hidup mereka, mereka lupa bahwa mereka membutuhkan kaca. Aku pernah merasa tidak percaya diri atas cibiran mereka. Jatuh sejatuh-jatuhnya, pernah terbesit bahwa aku ingin berhenti melangkah, ingin usai atas cita-cita yang belum tergapai. Tapi alangkah bodohnya kalau aku memberhentikan semuanya karena parasit yang hadirnya sangat mengganggu bahkan merugikan yang lainya.
Sedangkan aku masih mempunyai banyak pendukung-pendukung yang peduli terhadap diri. Apakah aku harus mengecewakan orang-orang yang telah peduli,sayang,cinta, bahkan yang telah mengasihi diri hanya karena sebuah parasit? Tidak sama sekali.
Bahkan bisa dikatakan, titik terlelah diri adalah selalu hidup betergantungan dengan orang lain. Mengapa aku bisa mengatakan seperti itu? Jelas, karena dengan itu kita tidak bisa mendengar diri dengan baik. Bahkan terkadang kita mengutamakan orang lain. Sedangkan diri, lunglai terbengkalai. Kasian diri, padahal sudah berjuaang sejauh ini, sudah mampu menapak tegak, sedang tubuh untuk utuh. Tapi egois kita yang meruntuhkan.
Baiklah sekarang, ketika kita berada di pojok sendirian, apa yang akan kita lakukan? Apakah hanya mematung berdiam diri?, atau hanya memainkan serpihan-serpihan dinding yang sangat merugikan? Tentu tidak bagi orang yang cerdas.
Kita yang menentukan nasib bagaimanakah akhir dari air yang mengalir. Bukan orang lain.
Pertanyaan-pertanyaan aneh pun bermunculan. Kenapa dia menemani aku hanya ketika dia butuh, selebihnya aku tak pernah dianggap?. Kenapa ketika aku butuh dia tak pernah bisa untuk memenuhinya?, kenapa, kenapa dan kenapa. Perihal tentang keingintahuan yang kadang seringkali ketika kita sudah mengetahui hal itu -kebanyakan- hati merasa sakit.
Ingin merasa dianggap?
Ingin merasa dihargai?
Ingin diperhatikan lebih?
Jawabannya adalah, anggaplah diri ada. Hargailah lebihnya diri. Dan perhatikan apa yang kurang dalam diri. Yang rusak di perbaiki. Yang baik harus di hargai. Bukan menyakiti.
Selelah lelahnya kita, kalau berdamai dengan diri. Maka lelah akan sirna paripurna. Lelah itu akan menjadi kekuatan ketika mampu membuahkan hasil yang optimal. Untuk siapa lagi?, kalau bukan yang utama. Ya pastinya, untuk diri yang telah berhasil menciptakan setetes demi tetes keringat, yang telah mampu menghadapi beberapa pengalaman, yang telah bertemu dengan orang-orang atas, orang orang tengah, maupun orang bawah. Menjadi inspirasi bagi mereka bahwa adanya perbedaan akan tercipta satu yang tuju.
Aku pun pernah berada di roda bagian bawah. Namun bukan berarti aku kalah atau pun rendah. Itu karena sudah menjadi bagian dari manusia untuk berganti posisi. Roda manusia selalu berputar,bukan?. Nikmati saja rasanya di bagian bawah, toh juga selama ini kita sudah berada di atas. Semua ada antriannya masing-masing, tapi jangan pernah untuk menjadi asing. Siapapun yang berada di bawah maupun di atas, kita harus menghargai. Say no to sombong diri.
Belajar dari pengalaman, di masa kecilku sering sekali melakukan kesalahan. And always orangtuaku menghukumku untuk berdiri di sudut ruangan. Aku menikmati apapun yang ada di sudut itu. Entah berupa butiran pasir yang ada, atau juga cat dinding yang telah mengelupas dan aku akan mengelupaskannyaa lagi. apapun itu akan aku nikmati karena aku tau itu sebuah kesalahan yang harus aku bayar dengan hukuman.
Tapi tetap saja, seolah-olah dulu aku hidup tidak ada bebaan sama sekali. Meskipun aku sering salah ataupun kalah, aku lebih sering beranggapan bahwa itu adalah sebuah permainan, tanpa ada overthinking.
Berbeda dengan sekarang yang dialami, rasanya semua hal masuk saja ke dalam hati. Ketakutan-ketakutan yang sering kali hadir, seperti tak mampu untuk menjalani semua kehidupan yang telah dimulai ini. Melamunkan apa yang ada dipikiran. Menyesali semua yang terjadi. Dan tak heran bahwa kita menjadikan sasaran masa lalu yang buruk atas apa yang telah terjadi. Padahal masa lalu adalah guru terbaik. Tetap saja ego mengatakan bahwa masa lalu kita itu buruk.
Tak mudah memang, dipojokkan oleh orang lain saja rasanya sakit. Apalagi kalau kita memojokkan diri sendiri. Padahal dirilah yang berjuang disaat kita rapuh, bayangan diri yang memeluk kita saat jatuh untuk menumbuhkan. Diri yang membantu kita melangkah agar kita tau arah. Hebat ya diri. But, kita selalu memandang diri sebelah mata.
Belajar untuk improve yourself. Sayangi diri. Jangan sia-sia kan. Kalau bukan diri, siapa lagi yang akkan menemani kita ketika berada di bawah, ketika berada di sudut ruangan. Peluk erat diri. Semoga selalu kuat untuk membersamai.
*Santriwati di Pondok Pesantren Putri Walisongo, Cukir, Jombang.