
Oleh: Nabila Rahayu*
Kita terlahir di zaman yang semuanya serba ada. Apapun yang kita inginkan. Bebas lepas. Tersenyum dan tertawa tanpa batas. Ketika sedih, satu bungkus lolipop dan satu balon pun mampu membuat kita bahagia. Sesederhana itu.Tapi itu lebih dari cukup.
Ternyata sebelum di tahap dewasa, banyak langkah yang telah ditapaki. Banyak juga pengalaman yang telah dilewati. Pengalaman untuk tumbuh dan berkembang, langkah yang terus terpaksa agar mampu menapak. Merambat dari dinding satu ke dinding yang lain. Agar langkah demi langkah menjadi kokoh. Hingga mampu berjalan cepat ke arah tangan ibunda yang telah siap mengambil diri dari langkah yang belum seberapa kokoh itu.
Bunda dan ayah yang telah menjaga diri. Menyayangi. Mengasihi. Semuanya hanya untuk diri. Bahagianya. Bahkan untuk berlari lari jauh pun kita masih dalam pengawasannya. Masih merasakan dekap erat nya yang hangat. Merasakan kecupan manis dari mereka. Pun bahkan merasakan sorot mata yang mengatakan ‘kamu harus kuat nak’.
Akan ada saatnya, semua bahagia yang sederhana itu, semua tawa riang itu menjadi ruang yang sangat kosong untuk di tempati. Jarang sekali. Bahkan mungkin hampir tak pernah. Lalu punah.
Selamat datang di tahap dewasa. Tahap dimana kita sendirilah yang menjaga diri. Kitalah yang menjadi pemenang atas apa yang kita raih. Orang tua sebagai pelakon penting yakni sebagai penasihat kala diri bahagia ataupun penat. Dewasa tak semudah yang kita pikirkan kala itu. Pencarian dan pemahaman jati diri yang sangat dibutuhkan ketika kita berada di tahap awal. Bagaimana kita dengan diri kita itu adalah bagaimana orang lain menghadapi kita. Ketika kita mencintai diri, merawat diri, menjaga diri. Maka tak segan bahwa orang lain pun akan berlaku sama terhadap diri.
Namun ketika kita sudah memperlakukan diri dengan benar, masih saja ada manusia-manusia pengganggu ini datang menghampiri tanpa membawa undangan kehidupan. Entah itu dari sifat mereka yang keras kepala, atau mereka yang suka bergosip, atau juga mereka yang suka bermuka dua.
Namun justru itu, manusia seperti mereka adalah manusia yang sangat di butuhkan dalam tahap pendewasaan diri. Banyak sekali hikmah dan pelajaran dari mereka. Salah satunya adalah melatih kekuatan mental kita, selalu menghadirkan kaca di depan muka kita di manapun dan kapan pun kita berada. Dan masih banyak lagi.
Ketika kita menemukan manusia yang seperti itu. Jangan pernah membenci, jangan dendam dan dengki. Bagaimana sikap pendewasaan kita? cukup dengan di doakan. Mintakan kepada tuhan supaya diberi hidayah. Toh juga dia seperti itu karena takdir. Dan ingat bahwa tinta takdir bisa di hapus melalui setiap tetesan doa yang mengalir.
Fokus ketujuan awal jangan sampai samar-samar, atau jangan sampai hilang. Bagaiamana rasa dewasa? Dewasa adalah hal yang paling mudah bila di jalankan dengan masing-masing individu. Tanpa memikirkan individu yang lain. Tapi, alangkah egoisnya. Karena kita hidup di dunia ini tidak bisa berdiri sendiri. Dengarkan orang lain berkomentar. Itu merupakan salah satu ajang kita dalam kompetisi memperbaiki diri. Jangan semua komentar-komentar dari mereka kita masukkan ke hati. Kita harus menyediakan penyaringnya terlebih dahulu. Mereka juga punya hak untuk berpendapat tentang diri.
Tapi kita juga berhak untuk mendengarkan diri berbicara. Mendengar diri butuh asupan apa. Terkadang kita yang terlalu egois terhadap diri. Diri hanya butuh asupan yang sehat. Tapi kita sering kali memberikan asupan yang jahat. Selalu memasukkan omong kosong orang. Itulah yang membuat diri gampang lelah, penat, panik, dan membuat diri tidak percaya diri. Lagi dan lagi bahwa ini merupakan kesalahan yang sangat fatal.
Awalnya memang sulit untuk berjalan sendiri. Masih bergantung pada temen se ‘circle’. Masih mau banggain mereka. Mau kemana ikut mereka, mau kesana ikut, mau kesini ikut. Eh,akhirnya ikut mereka nyemplung ke got, kalian juga ikut. Hahaha.
Akhirnya apa yang terjadi?, diri tak punya pendirian yang kokoh. Ketika tembok pendirian akan di bangun lalu roboh berulang ulang kali. Dan seperti nahkoda kapal yang mengemudikan kapalnya di tengah malam dengan gelombang ombak yang begitu besar. Terombang ambing. Padahal pendirian terhadap diri ini juga dianggap penting dalam tahap dewasa.
Its oke, no problem. Kita boleh kok punya ‘circle’ tapi jangan lupakan bahwa kita juga membutuhkan teman-teman yaang berada di luar ‘cirle’. Dan jangan lupakan pula bahwa kita pada akhirnya akan kembali pada diri sendiri. Kelebihannya ber’cirle’ itu kita bisa bertukar pendapat di dalam lingkup kecil, bisa berbagi ide, ngobrol tentang hidup bareng temen satu frekuensi. Berapa besar sih pengaruh pertemanan dalam lingkungan kita? Ternyata lumayan besar lhoo. Aku membuktikan dengan diriku sendiri.
Di masa sendiri, diri akan memikirkan dewasa ini akan diisi apa? Meraih mimpi dalam kasur yang empuk? Atau hanya menjadi penonton kesuksesan teman?. Jawaban sangkalannya pasti tidak, tapi kenyataannya tak bisa tidak. Inginnya diri adalah akan mencapai kesuksesan bersama teman, menikmati kekayaan setelah lelah bekerja seharian, dan masih banyak kesenangan-kesenangan yang di bayangkan tanpa memikirkkan proses yang telah di ajarakan oleh tuhan.
Masih manusia jika masih sering protes, sering mengeluh, sering menangis, mungkin hampir menyerah ataupun kalah. Semua membutuhkan proses yang panjang. Selamat menikmati prosesnya. Allah tau kamu kuat dan hebat. Don’t forget for always remember Allah, yha?!
*Santriwati di Pondok Pesantren Putri Walisongo, Cukir, Jombang.