
Oleh: KH. Achmad Roziqi, Lc., M.H.I.*
اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Hadirin Jamaah shalat Jumat Rahimakumullah
Tentu kita semua diciptakan oleh Allah SWT. Dan tentu Allah menciptakan kita semua tidaklah ‘abatsa (sia-sia), melainkan ada tujuan dan maksud dari penciptaan semua ini.
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Apa yang dimaksud dengan illa liya’budun? Para mufassir berbeda pendapat, di antaranya yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani Marah Labid, yakni illah li amurahum bi al-ibadah. Jadi kita ini diciptakan karena Allah memerintahkan ibadah kepada-Nya.
Lalu apa yang dimaksud dengan ibadah? Ibadah—sebagaimana yang dikutip oleh Imam Nawawi dari Ali ibn Abi Thalib—yakni:
وهي التعظيم لأمر الله والشفقة على خلق الله
“Ibadah adalah mengagungkan ajaran-ajaran Allah, serta berkasih sayang dengan sesama makhluk Allah.”
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
Mengagungkan ajaran Allah tentu dengan cara melakukan perintah-perintah-Nya, juga dengan cara menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini lah penghormatan yang sesungguhnya. Lalu kemudian kita jumpai bahwa perintah dan larangan Allah itu sangat banyak sekali. Perintah Allah itu ada yang wajib dan sunnah, begitu pula dengan larangan-Nya, ada yang haram dan makruh.
Lalu kemudian tentu kita ini punya keterbatasan, sehingga tidak semua perintah dan larangan Allah bisa terpenuhi. Maka kita diajari untuk membuat prioritas, mana yang kita dahulukan dalam pengagungan terhadap ajaran Allah. Hadraturrasul Muhammad SAW dalam Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali dawuh dalam hadis qudsi:
قال صلى الله عليه وسلم: يقول الله تبارك وتعالى: ما تقرب إلي المتقربون بمثل أداء ما افترضت عليهم
Allah menegaskan melalui hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Nabi bahwa pelaksanaan ajaran Allah itu tentu yang fardlu dahulu. Melaksanakan yang wajib terlebih dahulu. Dalam ibadah mahdhah pun kita harus melaksanakan yang fardhu. Demikian pula dalam ibadah-ibadah yang lain. Kalau lah kita sebagai santri tentu ibadah kita adalah ngaji dan belajar. Maka mempelajari sesuatu yang fardhu ‘ain adalah menjadi prioritas saat ini.
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sudah mengajari tahapan dalam mencari ilmu. Dan ilmu utama yang harus kita pelajari adalah ilmu tauhid, kemudian fikih, lalu tasawuf. Tentu ketiga ilmu ini harus kita baca. Hadratussyaikh sudah memberi panduan di antaranya adalah melalui kitab Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali. Oleh karena itu, mari kita menata keilmuan kita, dan membangun pondasi keilmuan kita. Dimulai dari ilmu yang fardhu ‘ain untuk dipelajari. Selanjutnya setelah kita melaksanakan pondasi itu, monggo silahkan mencari ilmu lain.
Imam Nawawi dalam Murah Labid ketika memberi syarah hadis ini dengan man syaghalahu al-fardhi ‘an al-nafli fa huwa ma’dzur, wa man syaghalahu al-naflu ‘an al-fardhi fa huwa maghrur. Sehingga apabila kita di pondok ini hanya mampu memperoleh ilmu yang fardhu-fardhu saja, maka itu tidak apa-apa. Namun, apabila sebaliknya kita lebih fokus mengejar yang sunnah, hingga teledor dengan yang wajib, maka dia tertipu.
Marilah kita memperioritaskan yang wajib terlebih dahulu, barulah kemudian yang sunnah kita lakukan. Inilah yang diajarkan oleh para masyayikh kita. Di samping kita mengagungkan ajaran allah (al-ta’dhim li amrillah), juga harus ada kasih sayang sesama makhluk (al-syafaqah fi khalqillah).
Al-Mujahid dalam tafsirnya yang ditulis oleh Syaikh Nawawi memberikan pandangan yang berbeda, illa liya’budun aiy illa liya’rifun, supaya makhluk-makhluk mengenal Allah. Sehingga eksistensi keberadaan kita ini tidak lain adalah untuk mengenalkan Allah, serta membawa syariat Allah di mana pun dan siapa pun itu.
Maka kemudian, kalau itu yang kita maksud dengan illa liya’budun adalah sebagai santri pelajar menjadi duta-duta, mengenalkan Allah, mengajarkan syariat Allah. Dan itu kewajiban pertama yang harus kita kuasai. Oleh karena itu, Hadratussyaikh dalam Al-Qalaid mengatakan awwalu wajibin ma’rifatullah.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Baca Juga: Kualitas Pertemanan Menurut Anshar dan Muhajirin
*Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Pentranskip: Yuniar Indra