ilustrasi: amiruddin/to

Oleh: M. Zulfikri*

Di awal Juli, terdengar kabar seorang lelaki tewas akibat pertikaian di pasar simpang tiga. Lewat kabar burung, perebutan lahan parkir menjadi picu tewasnya lelaki tersebut. Ditinggalkannya istri dan seorang anak yang belum mengenal kata bapak, tanpa harta dan warisan. 

Takdir memang berjalan seperti itu, tak dapat diterka, tak dapat disangka, ia berjalan begitu saja. Sanggup dipaksa sanggup, menanti asa yang kian redup. Menangis di bawah langit tak ada gunanya, terus ia paksa untuk berjalan menghidupi anak yang keluar dari seonggok daging di tubuhnya. 

Hujan terakhir di bulan Agustus membasahi rambut panjangnya, entah sudah berapa lama ia berjalan, terisak tangis di tengah gerimis. Seorang ibu menggendong anak tanpa ayah, mencari satu dua suap untuk mengisi lapar hari itu. Tak cukup sabar yang ia miliki, menghidupi anak seorang diri. Hilang kesanggupan, duduk sejenak ia dengan tetap menggendong anaknya di bawah pohon rindang penuh rintik.

Satu per satu rintik tak lagi menyentuh kulitnya, hujan telah reda. Kembali ia beranjak. Sang ibu melihat rumah yang tak jauh dari pohon rindang itu. Terlihat megah, pagar yang tinggi, dengan batu marmer yang menjadi pondasi pilar pilar di teras, nampak bangunan itu mengambil arsitektur eropa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Permisi…., Permisi….” Ucap sang ibu dengan nada yang lesu sebab tak makan sedari pagi.

Luas halaman rumah itu yang disinggahi ibu, tersusun rapi batu paving pada lantai halamannya, yang memisahkan pagar dan teras. Tuan rumah tak mendengar bunyi pertolongan ibu. Tertatih sang ibu berjalan, menjauh dari rumah, cukup beruntung ia. Sebab, sang bayi masih nyenyak dalam tidurnya. Terkoyak pikirannya, apa harus pasrah atau bangkit merebut asa.

Sang ibu yang penuh tekad, kembali berjalan menyusuri lorong panjang siang itu, belum lama ia berjalan, ia kembali melihat rumah tampak sederhana dengan dinding cat putih yang telah luntur, terlihat bunga rambat yang menghiasi tembok rumah itu. Sang ibu berharap pada langit mengirim bala bantuannya.

“permisi…” ucap sang ibu di depan pagar. Karena pagar tak terkunci, dan terbuka sedikit. ia masuk ke teras rumah, tepat di depan pintu.

“Assalamualaikum….” ucap ibu dengan air muka yang memelas.

Pemilik rumah tersebut mendengar ucapan salam ibu yang penuh harap itu, tapi ia tak menjawab, tertutup rapat pintu sama seperti kedua telinganya, dipenuhi kecukupan, berlimpah, sehingga ia merasa tak perlu membantu orang lain, meskipun orang lain sangat membutuhkan bantuannya.

Tertunduk dengan hati yang dipaksa kuat sang ibu menjauhi rumah itu, langkah ibu makin lambat dari langkah-langkah sebelumnya, makin habis tenaga yang ia miliki. Menyusuri lorong yang jalanannya  masih basah diguyur hujan tadi. Ia melihat ke samping jalan yang dipenuhi rerumputan dan pepohonan. Apakah hujan sebelumnya adalah rezeki bagi pohon dan rumput, kemudian setetes air di ujung daun mengaminkan itu.

Dengan tetap menggendong anaknya, sang ibu berhenti sejenak. Ia melihat burung-burung kedinginan yang mengepakkan sayap kecilnya di ranting pohon. Terlintas dalam benaknya, apakah pohon ini adalah rezeki bagi burung-burung itu. Mereka dapat berteduh di bawah dedaunannya, dan pohon pun ikhlas menjadi rumah bagi mereka.

Hari semakin sore, seorang perempuan dan manusia kecil di pelukannya belum juga hilang rasa lapar mereka. Jalanan sudah mengering, hilang juga basah di bibir mereka. tak makan dan minum seharian, membuat ibu makin tertatih, hilang rasa semangat hidupnya, jika mati ingin menghampiri mereka. Tolong secepatnya, harap sang ibu.

Ibu tiba di rumah terakhir di ujung lorong panjang yang sedaritadi ia susuri itu, ia melihat rumah yang sederhana dengan banyak tanaman di halaman rumah tersebut, Pagarnya juga tak terlalu tinggi. Ibu singgah di rumah itu, berharap ada harap terakhirnya disini. 

“Assalamualaikum… Permisi…” Ucap sang ibu yang sudah letih.

“Assalamualaikum…Permisi…” ibu mengulang salamnya.

Sampai tiga kali ibu mengucap salam di rumah itu, namun tak ada jawaban sama sekali. Padahal pintu rumah terbuka, televisi sedang menyala, dan keran air di halaman masih mengguyur. Seakan tak percaya anugerah akan datang menghampiri, menanti jawab sang langit, apalagi yang harus ibu lakukan untuk menghilangkan lapar dan dahaga mereka berdua.

Runtuh segala harap sang ibu, bayinya pun sudah menunjukkan mimik ingin menangis. Rasa lapar dan haus yang ditahannya sedari pagi tak dapat ditahannya lagi. Jatuh, jatuh air mata sang ibu di pintu pagar rumah terakhir itu. Berkecamuk dalam pikirnya, berontak benaknya, tak sanggup sudah ia rasakan.

Penghujung hari yang mencekam, ibu tiba di ujung lorong panjang itu, ia memutuskan untuk meninggalkan bayinya sendirian, ada perasaan tak tega saat ia melepasnya di ujung lorong panjang itu, namun apa daya tak mampu lagi ia untuk menghidupi.

Perlahan ibu menjauh sambil mengucap.

“Maafkan ibu, nak.”

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.