Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Marilah kita mengevaluasi diri kita, menghitung kembali apa yang sudah kita lakukan! Marilah kita cermati, mana yang menjadi investasi kebaikan, mana yang menjadi amal yang sia-sia, dan mana yang perlu kita sempurnakan serta kita benahi. Dengan mengevaluasi diri, kita mempunyai kesadaran untuk senantiasa lebih menyempurnakan amal ibadah yang kita lakukan, baik yang secara langsung berkaitan dengan Allah maupun amal-amal ibadah yang berkaitan dengan kehidupan bemasyarakat atau bersosial.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Kita hidup di dunia yang sementara ini haruslah kita sertakan evaluasi diri di dalamnya. Hal itu dikarenakan bahwa kita senantiasa berada dalam pertarungan yang tidak pernah berhenti. Ada interaksi di dalam diri kita. Di dalam hidup ini, atau khususnya di dalam hati kita, telah berkobar pertarungan antara kekuatan-kekuatan baik dan buruk.

Makhluk yang lain, selain manusia, tidak memerlukan adanya pendidikan, pengajian, aturan, ataupun undang-undang. Malaikat tidak perlu undang-undang karena mereka ditugasi dengan tugas yang itu-itu saja. Tidak ada yang malaikat lakukan kecuali hanya beribadah kepada Allah. Allah tidak memberi nafsu kepada malaikat, tidak ada ambisi dalam diri malaikat, tidak ada kepentingan, tidak ada syahwat, sehingga malaikat tidak perlu aturan hukum, tidak perlu pendidikan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Begitu pula dengan binatang. Binatang tidak memerlukan seperangkat aturan atau undang-undang karena Allah menciptakan binatang seperti itu adanya sehingga tidak ada pertanggungjawaban yang akan diminta oleh Allah. Oleh karena itu, binatang itu kebal hukum alias tidak dibebankan hukum.

Manusia pun kalau tidak berakal lagi karena gila atau dalam kondisi yang tertekan di luar kemampuannya, maka dia sesungguhnya tidak lagi berada dalam wilayah taklif. Hal itu dikarenakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempunyai kekuatan akal dan kekuatan kesadaran diri. Hadis Rasulullah Saw ini memberi gambaran :

رَكَّبَ اللهُ النَّاسَ بِالْعَقْلِ وَالشَّهْوَةِ

Artinya :
Allah memasangkan akal dan syahwat dalam diri manusia.

Dalam diri manusia ini ada dua dimensi yang terus melakukan interaksi dan pertarungan yang tidak pernah berhenti. Keduanya merupakan kekuatan yang disusun oleh Allah dalam diri manusia. Dua dimensi kekuatan itu adalah akal dan syahwat.

Sebagai manusia biasa, wajar saja jika kita mempunyai syahwat, nafsu, atau ambisi untuk menjadiyang terkaya, menjadi yang terhebat, menjadi yang berkuasa, dan lain sebagainya. Semua itu harus kita kelola dengan baik dengan akal yang baik pula.
Rasullullah Saw bersabda :

فَأَيُّهُمَا غَلَبَتْ الشَّهْوَاةُ الْعَقْلَ فَهُوَ شَرٌّ مِنَ الْبَهَائِمِ

Artinya :
Jika syahwat (ambisi) manusia itu mengalahkan akalnya, maka dia itu lebih buruk dari binatang.

Riwayat tersebut memberikan keterangan kepada kita bahwa jika syahwat itu telah menguasai akal manusia, maka hal buruk akan terjadi. Sebagai contoh, jika seseorang itu melakukan kejahatan tetapi tidak didukung dengan kekuatan akal yang berupa kecerdasan, ilmu, dan teknologi, maka dia melakukan kejahatan berdasarkan naluri kekuatan fisik. Akan tetapi, jika seseorang itu melakukan kejahatan dan didukung akal berupa kecerdasan, kekuatan ilmiah, intelektualitas yang tinggi, dan lainnya yang merupakan kemampuan akal, maka kejahatan itu akan sangat berbahaya dan jauh lebih membahayakan daripada kejahatan yang dilakukan oleh binatang sekalipun.
Sebaliknya :

وَأَيُّهُمَا غَلَبَتْ الْعَقْلُ الشَّهْوَةَ فَهُوَ خَيْرٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ

Artinya :
Jika akal manusia itu mengalahkan syahwatnya, maka dia itu lebih baik dari malaikat.

Pernyataan di atas menjadi gambaran bahwa jika akal manusia itu bisa menaklukkan syahwat yang cenderung ke arah negatif, maka sungguh manusia itu bisa lebih baik dan mulia daripada malaikat. Dengan kata lain, jika akal seseorang itu mampu mengontrol syahwat dan mampu mengatur dengan baik keinginan-keinginan serta potensi di dalam dirinya, maka dia bisa lebih baik daripada malaikat. Hal itu dikarenakan bahwa dia diberi oleh Allah kekuatan ganda yang bertarung tetapi dia mampu mengelola itu di dalam dirinya dan memenangkan kekuatan yang baik. Dia minum, tetapi minumnya dengan cara benar. Dia bernafsu untuk makan, maka cara makannya pun benar. Dia berambisi untuk berpolitik, tetapi politik yang dilakukannya pun benar. Dia bernafsu untuk dihormati, tetapi dia meraihnya dengan cara yang benar-benar baik.

Ketika dia mampu mengelola potensi nafsunya dengan kekuatan akal, sesungguhnya dia lebih baik daripada malaikat karena malaikat tidak punya dimensi pertarungan dalam dirinya sehingga kalau malaikat baik itu memang begitulah malaikat diciptakan. Malaikat diciptakan oleh Allah memang untuk melakukan hal yang baik. Penciptaan malaikat adalah sebuah titah dan memang Allah menciptakan malaikat dengan tanpa penyimpangan sedikit pun terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah. Oleh karena itu, jika manusia mampu mengontrol dirinya dengan baik, maka jelaslah bahwa dia lebih baik daripada malaikat yang hanya sekadar diciptakan menjadi baik.

Persoalannya, bagaimana agar kita mampu mengontrol nafsu (syahwat) dan akal kita dengan baik? Tentunya adalah dengan agama dan ilmu pengetahuan. Di antaranya adalah melalui sekolah. Hanya saja, di Indonesia ini kita mendistorsi belajar dengan sekolah. Orang Indonesia hanya mau belajar kalau di sekolah. Itu pun kalau sekolahnya ada belajar, karena di Indonesia ini banyak sekolah tetapi tidak ada belajar. Sekolah terkadang hanya sebagai institusi yang cenderung mereduksi adanya aktivitas pembelajaran. Parahnya lagi, pembelajaran pun dipersempit dengan membaca sebuah teks, membaca sebuah buku, dan menghabiskan sebuah kurikulum tanpa tahu apa yang terjadi di lingkungan kita.

Itu merupakan pendidikan yang sama sekali tidak berkarakter. Sekolah terkesan hanya menciptakan orang juara olimpiade, tetapi tidak mempunyai karakter dalam hidup karena sekolah hanya mengajarkan para siswa untuk menghafal rumus. Bisa juga, sekolah itu menciptakan teknokrat, tetapi dia tidak pernah tahu bagaimana berinteraksi dengan masyarakat, berbicara dengan bahasa yang santun, mengurai kearifan lokal, dan menerapkan nilai-nilai berkehidupan sosial.

Bagaimana para siswa itu bisa berinteraksi dan memahami lingkungan mereka jika waktu mereka sudah terkungkung habis di sekolah? Sekolah membatasi diri bahwa iqro’ itu adalah madrasah, membaca itu adalah sekolah, belajar itu adalah sekolah, belajar itu adalah teks. Ini adalah sebuah distorsi sebuah penyimpangan yang luar biasa, sebuah penggerusan yang luar biasa terhadap makna proses belajar itu sendiri.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Sesungguhnya yang harus kita lakukan adalah belajar. Hidup itu adalah belajar yang tidak dibatasi oleh sebuah sekolah. Hidup adalah membaca dan mengkaji, bukan menganggap bahwa membaca itu hanya di sekolah, apalagi direduksi bahwa belajar dan membaca itu kalau ujian, UAN, dan semesteran. Oleh karena itu, di samping sekolah, kita juga harus belajar tentang lingkungan kita, tentang apa yang terjadi pada masyarakat kita, dan tentang gejala-gejala sosial dan alam yang ada.

Belajar itu tidak cukup berada di ruang kelas dan gedung sekolah. Kita bisa belajar di luar itu yang cakupannya lebih luas. Kita juga harus membangun pemahaman bahwa belajar itu tidak ada batasnya dan tidak ada lingkupnya. Selagi napas kita masih berhembus, kita masih bisa belajar. Ada baiknya kita mengutip pernyataan yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Jadikan semua tempat itu sekolah dan jadikan semua orang itu guru!” Dengan begitu, belajar tidak hanya di sekolah.

Islam menyatakan bahwa ilmu adalah sesuatu yang universal. Ilmu itu harus bermanfaat. Manfaat adalah jika ilmu itu mempunyai konteks bisa menyelesaikan masalah hidup kita ini, bukan sekadar sekolah yang lantas menimbulkan masalah.

Oleh karena itu, marilah kita melakukan revolusi pada diri kita bahwa sesungguhnya hidup itu adalah ilmu, hidup itu adalah iqro’, hidup itu adalah membaca! Janganlah kita menganggap bahwa belajar itu adalah sekolah, apalagi belajar itu adalah UAN.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Sebagai akhir dari khotbah ini, kita tegaskan lagi bahwa mengevaluasi diri itu memang sangat penting. Evaluasi diri adalah melihat bagaimana diri kita sendiri agar kita senantiasa bisa mengontrol akal dan syahwat kita. Evaluasi diri dengan mengontrol akal dan syahwat itu bertujuan agar kita menjadi insan yang ihsan. Semoga kita menjadi insan yang gemar mengevaluasi diri dengan mengontrol akal dan syahwat kita dengan baik. Amiin.

 
Khotib :
Dr. KH. Ahmad Musta’in Syafi’
Mudir Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an