
Oleh: M Mas’ud Said*
Kesediaan KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) kembali ke Tebuireng beberapa tahun lalu adalah keputusan besar yang saat ini membuahkan hasil. Tebuireng di bawah kepemimpinan beliau kembali semerbak, maju, tetap independen dan juga kembali menjadi kiblat moral termasuk moral politik dan kekuatan jiwa kebangsaan dan persatuan. Dulu saat beliau memutuskan kembali ke Tebuireng dari Jakarta yang mungkin lebih menjanjikan keuntungan pribadi, bagi sebagian orang mengherankan.
Di tengah orang orang yang lebih muda -seperti saya ini- saat itu memilih bermigrasi dari kampus di Malang ke Jakarta untuk mengemban amanah kecil di seputar Istana dan berlanjut ke Kementrian Negara, beliau malah memilih kembali ke Tebuireng di Jombang yang sejak ratusan tahun lalu memang telah memberi kontribusi peradaban Indonesia.
Saya yakin dalam keputusannya kembali ke Tebuireng itu Gus Sholah adalah blessing bagi kita kalangan pesantren dan cendikiawan muda. Gus Sholah boleh jadi saat itu berfikir simpel-simpel saja, memutuskan meninggalkan Jakarta yang hingar-bingar ke Jombang yang lebih sepi untuk menangani Pesantren Tebuireng ikhlas-ikhlasan saja, pasti itu adalah panggilan jiwa saja, dan tak menghitung untung rugi pribadi. Secara sepiritual keputusan itu adalah hidayah disertai insting kesalehannya yang telah dapat rembesan dari doa-doa dan munajat kakek beliau yang manjur.
Kakek beliau dan ayahanda beliau pasti telah menyuntik darah syahadah Gus Sholah untuk tetap konsisten terhadap pentingnya pengajaran Indonesia yang baik, pasti kakek dan ayahanda beliau sudah membisikkan kepada Allah SWT di malam-malamnya yang sunyi di pengimaman masjid Tebuireng terhadap pentingnya kehadiran generasi yang konsisten dan penuh integritas.
Kesediaan beliau tak hanya akan memajukan kampus Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng, namun akan menyebarkan semangat bagi cendikiawan muda lain yang sedang terombang-ambing ambil jabatan dan kemewahan semu.
Kehadiran Gus Sholah pasti bisa menginspirasi kesalehan sosial, energi bagi pengembangan keilmuan dan juga keteladanan dan amal saleh bidang pendidikan. Keputusan beliau menjadi Rektor bagi saya sebagai akademisi sangatlah membanggakan. Pasti situasi ini sangat membahagiakan kalangan kampus dan pasti membahagiakan Raisul Akbar KH. Hasyim Asy’ari dan kiai Abdul Wahid Hasyim.
Kesediaan beliau menjadi Rektor dan mengembangkan kampus adalah pilihan yang tak terkira hebatnya. Tak kalah dengan posisi lain yang lebih tinggi di mana pun dengan gaji yang mungkin jauh lebih besar dan fasilitas lebih lengkap.
Saya yakin, dan saya tahu Gus Sholah dengan kesadaran meninggalkan jabatan publik mentereng di Jakarta dan menolak jabatan publik lain juga tawaran jabatan politik dimana-mana adalah keputusan besar yang menjadi inspirasi banyak orang di kalangan NU dan kalangan lain.
Rupanya Gus Sholah sekarang lebih total turun gunung untuk mengabdi lebih mendalam dan lebih teknis pada lembaga pendidikan tinggi di kalangan pesantren sangat luar biasa. Tentu dengan menjadi Rektor beliau hidup lebih sulit, namun lebih bisa mengayomi para guru besar muda dan para ilmuwan lain juga para pengabdi masyarakat lewat kampus.
Saya sangat salut terhadap Gus Sholah, yang namanya sudah sangat besar dan harum, masih berkenan melanjutkan pengembangan keilmuan, penelitian, dan juga pengajaran.
*) Ketua ISNU Jawa Timur.