kebutuhan umat terhadap ulama
kebutuhan umat terhadap ulama

Tidak bisa dipungkiri bahwa peran ulama sangat sentral dalam keilmuan, keadaban dan keislaman. Mengapa sangat dibutuhkan? Karena kebutuhan umat terhadap ulama dapat dilihat dari beberapa perspektif:

Kebutuhan Dharuriyat

Meminjam istilah dari Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnathi Asy-Syathibi Al-Maliki atau Imam Asy-Syatibi rahimahullah (wafat 1388 M, Granada, Spanyol), yaitu kebutuhan dharuriyat (primer), yaitu kebutuhan paling utama, mendesak dan paling penting. Kebutuhan ini harus dipenuhi dan terpenuhi, agar umat Islam dapat hidup dalam kelayakan iman, Islam, dan ihsan. Jika kebutuhan ini terabaikan, tidak dipenuhi atau terpenuhi, maka hidup umat Islam akan terancam dalam kemaksiatan dan kemungkaran, tidak memiliki rujukan dalam beragama, bermasyarakat, dan berbangsa.

Wafatnya para ulama, menurut Islam, mempunyai arti yang sangat berarti dan krusial. Kematian ulama bahkan disebutkan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sebagai awal tercerabutnya keberkahan dan keilmuan di muka bumi ini. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun, Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR. Imam Bukhari rahimahullah wafat 870 M di Bukhara Uzbekistan).

Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari rahimahullah mengutip maqolah seorang ulama tabi’in, Imam Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’ bin Abdillah Ats-Tsauri atau Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (716 – 778 M, Basrah, Irak) sebagai berikut:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Keanehan sudah umum terjadi, apalagi di akhir zaman. Bencana mewabah di mana-mana, terutama dalam masalah agama. Musibah terjadi secara besar-besaran, tapi meninggalnya ulama adalah musibah terbesar. Kehidupan seorang yang alim adalah Rahmat bagi umat. Dan, kematiannya membuat cela dalam Islam.” (kitab Adaabul ‘Aalim Wal Muta’allim, bab 1).

Ya, kematian para ulama adalah musibah peradaban dan kesedihan alam semesta serta kerugian terbesar umat manusia. Ketiadaan ulama yang mahir dan ahli di bidangnya, membuat umat kehilangan rujukan spiritual keagamaan. Yang tersisa adalah orang-orang yang bodoh tapi merasa pintar. Sebagaimana ungkapan dari sebagian ulama salafus shalih, bahwa sebaik-baik pemberian adalah akal dan seburuk-buruk musibah adalah kebodohan. Apabila tiada lagi tersisa seorang ulama, maka umat akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai panutan. Keadaan ini pasti sangat membahayakan, karena umat dalam kegelapan iman, kedangkalan ilmu dan kesesatan atas nama agama.

Di mana mereka yang bodoh, berani memberikan fatwa dengan tanpa ilmu dan pemahaman yang benar. Seolah kapal yang memberikan keselamatan, tapi kapal itu malah justru berlubang dan kemudian akhirnya tenggelam. Maka, bisa dikatakan bahwa mencetak para ulama adalah kebutuhan primer bagi umat Islam.

Aspek Keadaban

Adab sangat penting bagi kehidupan manusia, karena adab merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, yang menuntut manusia agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa menempatkan diri pada tempat maupun waktu tertentu. Sarana keutamaan adab, membentuk insan yang mempunyai kualitas peradaban mengisi ruang kehidupan.

Kualitas seorang manusia sebagai hamba Allah subhanahu wa ta’ala di atas permukaan bumi ini, tentu saja tidak dapat diukur hanya dari aspek keunggulan ilmu pengetahuan dan keahlian semata, namun juga diukur dari kualitas akhlaknya, implementasi adabnya. Peran manusia, juga harus menggunakan dan memperkuat budi pekertinya, dengan kata lain akhlakul karimah hingga mampu mengawal keutuhan moralitas bangsa.

Kita tidak ingin bahwa memasuki ruang hidup yang dinamakan abad kejatuhan moral, manusia lepas kendali dengan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai Tuhannya, sehingga dikhawatirkan melahirkan tiga ciri yaitu humanisme absurd berupa nilai kemanusian yang tidak bertuhan, materialisme akut berupa nilai materi yang tidak bertuhan, dan ateisme yaitu perilaku yang tidak bertuhan.

Jika tanpa bimbingan ulama, maka umat dikhawatirkan tidak mengerti sekat halal-haram, karena memasuki godaan era serba boleh (permisivisme), sehingga bumi ini berubah menjadi rusak akibat ulah manusia. Bisa memunculkan tipe-tipe manusia yang berwatak ala Fir’aunisme, Namruzisme, dan ‘Qarunisme, yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan.

Sebagian ulama mengatakan bahwa jika akal tanpa qalbu menjadikan manusia sebagai robot, jika pikir tanpa dzikir menjadikan manusia seperti setan, jika iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan jika ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan bayi.

Belum lagi dampak nyata dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, yang sangat berpotensi mengubah perilaku dan budaya khususnya pada generasi muda Islam. Pola hidup individual dan kurangnya interaksi dengan sekitar, sungguh bisa berpengaruh menjadi perilaku yang tidak peduli pada lingkungan sekitarnya, tidak peduli lagi dengan agamanya, tidak peduli dengan perolehan sumber materinya, entah halal atau haram bahkan subhat.

Sungguh, dibutuhkan sekali tugas ulama atau tokoh agama dalam menjaga moral kemanusiaan, moral kebangsaan, maka sudah semestinya kita tidak berdiam diri ketika terjadi penurunan moral kemanusiaan tanpa adab.

Maka, peran dan kehadiran ulama penting sekali menjadi panutan bagi umat dalam ketaatan beribadah dan menjalankan syariat. Semua tingkah laku ulama menjadi pijakan bagi umat. Wajar jika apa yang disampaikan oleh ulama, maka berdampak besar dalam pengaruhnya kepada masyarakat.

Kebutuhan Maqashid

Secara bahasa, kata maqashid tersebut berasal dari kata maqshad yang berarti tujuan atau target. Tujuan kebutuhan ini untuk menjaga keberlangsungan syariat Islam dan hukum-hukumnya. Syaikh Muhammad Allal bin Abdul Wahid bin Abdus Salam bin Majdzub Al-Fasi Al-Fahri atau Imam Al-Fasi rahimahullah, mengatakan salah satu tujuannya adalah maqashid syariah merupakan tujuan atau rahasia Allah subhanahu wa ta’ala yang ada dalam setiap hukum syariat.

Dengan adanya ulama beserta keilmuan yang dimiliki, tentu sangat menjaga keberlangsungan Maqashidus Syari’ah. Mnurut Al-Faqih Asy-Syaikh Prof Dr Wahbah Musthofa Az-Zuhaili Asy-Syafi’i (wafat 2015 M di Syuriah) dalam Kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islami (tahun 1986) menuliskan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya.

Sedangkan menurut Imam Asy-Syatibi rahimahullah dalam kitab Al-Muwafaqat Fi Usul Asy-Syari’ah (Jilid II) mengatakan bahwa tujuan utama Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan syariat adalah demi terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, penetapan hukum harus mengarah pada terwujudnya tujuan tersebut.

Keterwujudan maslahah hidup, membutuhkan jaminan implementasinya, orang-orang yang memahami Maqashidus Syari’ah. Penerapan maqashid syariah yang sesuai harus melibatkan sejumlah kegiatan manusia yang berkait dengan menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, dan menjaga keturunan. Oleh sebab itulah, penerapan maqashid syariah memerlukan SDM (sumber daya manusia) yang terlibat, harus benar-benar mengerti dan paham tentang prinsip-prinsip syariah itu sendiri, sehingga tidak menjerumuskan umat Islam pengguna dalam kegiatan yang terlarang dan menyimpang dari prinsip maqashidus syari’ah.

Maka, di sinilah keterlibatan ulama wajib hukumnya menjaga keterwujudan kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud dalam hal ini mencakup segala hal dalam kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya rezeki manusia, kebutuhan dasar hidup, dan juga kebutuhan lain yang diperlukan manusia. Di dalamnya juga mencakup kualitas emosional, intelektual, dan juga pemahaman atau pengertian yang mutlak.

Aspek Keragaman

Kita hidup di wilayah Nusantara ini dengan fakta keragaman masyarakatnya, suku bangsa, agama dan tradisi budaya. Semua itu harus direkatkan agar tidak menimbulkan keretakan sosial dan perpecahan bangsa. Jadi, kita butuh ulama yang senantiasa mengajak kita untuk menghormati kemajemukan atau menegaskan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Masyarakat harus memahami atau pengakuan terhadap keberagaman. Sebab itu, penghormatan terhadap keberagaman menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu peran ulama di Indonesia adalah menjaga keberagaman dan perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberagaman harus dijaga dengan baik, supaya hadir kenyamanan dan persatuan di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman pada hakikatnya adalah sunnatullah, dalam tradisi para ulama berbeda itu sebuah pengetahuan, beda itu bukan berarti musuh, menghargai perbedaan dan menjaga keberagaman bagian dari ajaran para ulama.

Semoga bermanfaat!


Ditulis oleh H.Ahmad Zaini Alawi, SE,. MM., Anggota Lembaga Pendidikan, Pelatihan dan Dakwah  (LP2D) IKAPETE Kabupaten Gresik periode 2022 – 2026 dan Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik