ilustrasi orang shalat

Kitab nashoihul ‘ibad adalah kitab karangan Syaikh Nawawi Al-Bantani. Syaikh Nawawi Al-Bantani terkenal sebagai salah seorang ulama besar di kalangan umat Islam internasional. Ia dikenal melalui karya-karya tulisnya. Beberapa julukan dari negara timur seperti Arab Saudi dan Mesir diberikan kepadanya, seperti gelar Sayyid Ulama al-Hijaz, Mufti, dan Fakih.

Pasti teman-teman sudah tidak asing dengan nama ulama tersebut, beliau adalah salah satu ulama besar asal Indonesia bertaraf internasional yang menjadi imam besar di Masjidil Haram di Saudi Arabia. Ia bergelar Al-Bantani karena berasal dari Banten, Indonesia. (Beliau lahir di Tanara Serang, Banten, sekitar tahun 1230 Hijriyah atau 1813 Masehi- wafat di Mekkah, Hijaz, sekitar tahun 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi).

Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif  menulis kitab, jumlah kitab yang tulis kurang lebih sekitar 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadist. Pada artikel ini kita akan membahas kematangan seseorang dalam beragama menurut kitab nashoihul ‘ibad, yang mana kitab ini juga salah satu kitab yang di karang oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani.

Seseorang yang matang secara beragama tidak hanya menjalankan ritual ibadah,tetapi juga menunjukan sikap, perilaku, dan hubungan yang mencerminkan ajaran agama. Dalam konteks Islam, matang beragama mencerminkan kesadaran yang tinggi akan ketaatan kepada Allah SWT, kedalaman pemahaman terhadap ajarannya dan komitmen untuk mengamalkan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupan.

Kedalaman Pemahaman Beragama Menurut Kitab Nasho’ihul ‘Ibad

Seseorang yang matang secara beragama memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam. Mereka tidak hanya mengenal hukum-hukum fiqih dan prinsip-prinsip akidah, tetapi mereka juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun ciri ciri seseorang yang matang beragama menurut kitab nashoihul ‘ibad antara lain:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketaatan dalam Beribadah

Ibadah mencakup seluruh aspek dalam kehidupan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang merupakan tugas hidup manusia. Pengertian ibadah secara khusus adalah perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT. Maka ketaatan beribadah adalah perbuatan yang berhubungan dengan hak Allah dan hak manusia yang dilakukan karena menjunjung tinggi  perintah dan menjauhi larangannya semata-mata karena Allah SWT.

Ibadah merupakan jembatan yang menghubungi antara Rabb dan hambaNya. Jembatan antara hamba kepada Tuhannya untuk mendapatkan kasih sayang, rahmat, serta ridho dari Allah SWT. Maka kita bisa melihat kematangan seseorang dalam beragama melihat dari bagaimana seseorang itu dalam menjalankan ibadahnya.

Dari pengertian-pengertian di atas tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketaatan beribadah adalah suatu ketundukan dan penghambaan manusia kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah dan menjalani segala laranganNya serta diikuti hubungan harmonis dan selaras terhadap manusia yang lainnya. Selain itu juga melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati, keikhlasan dan kesopanan dalam menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menjaga Shalat

Shalat merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan kepada seluruh umat muslim di seluruh penjuru dunia. Mengapa shalat itu diwajibkan? Karena shalat adalah tiang agamanya umat muslim di mana ketika tiang agamanya semakin kokoh maka keimanan seseorang pun akan semakin tebal.

Sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk melaksanakan shalat lima waktu yang juga merupakan rukun Islam kedua. Shalat juga merupakan tiang agama yang nantinya akan dihisab pertama kali di hari kiamat kelak. Jika rusak shalatnya, maka rusaklah semua amalnya, jika baik shalatnya, maka akan dihisablah amalnya. Sedangkan yang utama ialah shalat tepat waktu, sehingga menghindarkan kita dari lalai melaksanakannya.

Di samping itu, adapun manfaat yang akan kita dapatkan ketika kita menjalankan sholat tepat waktu di antara lain sebagai berikut:

  1. Dicintai oleh Allah SWT., kehormatan yang pertama adalah mendapatkan cinta Allah SWT. Maksudnya adalah didekatkan dengan Allah SWT. Barang siapa istiqamah dalam menjalankan shalat lima waktu tepat pada waktunya maka ia akan dekat dengan Allah SWT.
  2. Badan yang baik dan sehat, barang siapa bisa istiqamah melaksanakan shalat fardhu tepat waktu, maka badannya akan dijaga dalam keadaan baik. Maksudnya adalah akan ditutup aib dari dirinya.
  3. Dijaga malaikat, barangsiapa yang dawam melaksanakan shalat fardhu tepat waktu, maka akan diutus malaikat untuk senantiasa menjaganya. Ia akan selalu dijaga dari marabahaya dan bala serta musibah.
  4. Diberkahi, barangsiapa yang selalu melaksanakan shalat fardhu tepat waktu maka akan diturunkanlah berkah yang banyak dalam rumahnya.
  5. Ditampakkan keshalihan
  6. Barangsiapa melaksanakan shalat lima waktu dengan tepat waktu secara istiqamah, maka akan ditampakkan oleh Allah SWT pada wajahnya tanda-tanda keshalihan.

Senantiasa Sabar

Adapun tanda kematangan seseorang dalam beragama menurut kitab nashoihul ‘ibad yaitu sabar. Dan sabar menurut kitab nashoihul ‘ibad itu dibagi menjadi tiga tingkatan:

Pertama, sabarnya orang-orang yang disebut tabi’in, tandanya adalah meninggalkan suka mengeluh/sambat kepada yang selain Allah. Artinya, kesabaran pada tingkatan ini tidaklah kemudian kelompok yang disebut tabi’in itu tidak berkeluh-kesah atas urusan mereka.

Bisa jadi orang dalam tingkatan kesabaran ini tetap mengeluarkan keluh kesah, hanya saja keluh kesah mereka itu tidak disampaikan pada makhluk. Akan tetapi keluh kesah itu hanya dihaturkan pada Allah semata.

Istilah Tabi’in sendiri di dalam keterangan ini tidak hanya dapat dipahami secara historis, yaitu golongan tabi’in yang menjadi murid dari para sahabat radliyallahu ‘anhum. Tapi yang istilah tabi’in di sini juga bisa dimaksudkan pada mereka yang benar-benar berusaha ittiba’ pada ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa pun dan pada kurun waktu kapan pun mereka hidup.

Kedua, sabarnya kelompok zahidin, tandanya adalah ridla atas apa yang ditaqdirkan Allah pada mereka, apakah itu ketetapan yang baik atau ketetapan yang buruk. Tingkatan sabar ini merupakan tanda atas suasana batiniyah dari golongan zahidin atas dunia dan isinya, dimana hati mereka tidak terpaut atau tergantung pada dunia tersebut.

Bila seseorang lebih rela atas ketetapan yang menyenangkannya, bisa jadi orang tersebut masih banyak memiliki keterpautan atau kepentingan dengan kesenangannya, dan yang disebut kesenangan itu merupakan hal-hal yang bersifat duniawi. Sebaliknya bila seseorang juga rela atas ketetapan yang tidak menyenangkannya, maka bisa jadi orang itu tidak memiliki/atau minim keterpautan hatinya atas persoalan duniawi. Hal ini senada dengan makna zuhud itu sendiri yang secara umum dapat dipahami sebagai kondisi batin yang tidak terisi/tidak tergantung/tidak tertaut/ atau tidak dikendalikan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.

Ketiga, sabarnya kelompok shiddiqin, tandanya adalah mencintai musibah yang diberikan Allah padanya. Sahabat yang memiliki gelar Al-Shiddiq adalah Sayyidina Abu Bakar radliyallahu ‘anhu yang ditahbiskan ketika beliau benar-benar meyakini kebenaran isra’ mi’raj yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beberapa kiai mengartikan shiddiq dengan makna “tèmèn” atau sungguh-sungguh. Sayyidina Abu Bakar radliyallahu ‘anhu disebut al–shiddiq atau “tèmèn” karena beliau mempercayai atau beriman secara mutlak kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa syarat dan bukti apapun. Bisa jadi orang akan mempercayai sesuatu tapi mensyaratkan pembuktian yang mampu diinderanya, maka percaya seperti ini sangat tergantung pada pembuktian dan pemahaman inderawinya.

Bisa jadi orang akan mempercayai sesuatu tapi mensyaratkan sisi logis sesuatu itu, maka percaya seperti ini mensyaratkan rasionalitas. Berbeda dengan keduanya, maqom shiddiqin adalah mereka yang iman tanpa syarat pembuktian dan penerimaan rasionalitas akal. Nah, bagi orang-orang yang berada pada derajat shiddiqin, musibah yang jelas pahit rasanya, mereka pahami sebagai kado atau anugerah terindah dari Allah, sehingga mereka mencintai musibah itu.

Mencintai musibah dalam hal ini bukan dimaksudkan para shiddiqin lebih memilih hal-hal yang menyiksa diri daripada yang membahagiakan. Tapi sabar dengan mencintai musibah dalam hal ini adalah benar-benar sadar bahwa musibah yang pahit itu Allah yang memberikannya, dan dengan kecintaan mereka kepada Allah, maka tentunya mereka juga mencintai pemberian dari Allah yang mereka cintai. Jadi, titik tekan dari mencintai (pemberian) musibah (yang pahit) bukan pada musibah atau kepahitannya, tapi pada semangat mahabbatullah. Wallahu a’lam bi shawab.

Baca Juga: Nashoihul Ibad (1); Tingkat Ma’rifah Billah

Ditulis oleh Ahmad Fakhir, Mahasiswa Universitas Hasyim Asy’ari, Prodi Komunikasi Penyiaran Islam.