sumber ilustrasi bullying: detik.com

Oleh: Filaili Ainun Jariyah*

Pada saat ini, di dalam sebuah SMA terdapat beberapa siswa dan siswi membentuk kelompok yang memiliki kekuasaan di sekolah itu. Lokasi sekolah itu berada di Jakarta, di sana banyak anak yang belajar dengan giat, ada juga yang hanya suka main-main, tetapi ada yang lebih parah yaitu melanggar peraturan di sekolah. Kelompok yang melanggar peraturan sekolah itu tidak memperlakukan siswa dan siswi lainnya dengan baik, mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk menindas dan merebut hak milik murid lainnya. Salah satu siswa yang menjadi korban kelompok itu adalah Gentar. 

Hari itu Gentar seharusnya mengikuti lomba yang diadakan di sekolah tempat dia belajar, tetapi Gentar dikurung oleh Rama dan Dito dalam toilet saat dia mengganti seragamnya dengan kaos olahraga. Gentar merasa panik saat itu, dia berteriak minta tolong selama beberapa menit.

Raut wajah Gentar sangat panik sampai berkali-kali dia berteriak sambil mendorong pintu kamar mandi, “tolong buka pintunya! Apa ada orang di luar sana?”

Sekeras apapun Gentar berteriak, tetap saja tidak ada yang datang. Bahkan lomba saat ini sudah dimulai tanpa menunggu peserta yang belum hadir. Gentar merasa teriakannya dari tadi tidak akan terdengar keluar karena pasti semua siswa-siswi sudah berkumpul di lapangan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Aku pasti disalahin lagi sama mereka,” gumam Gentar sambil bersandar di pintu toilet.

Suasana di pinggir lapangan ramai sekali karena Dito menyalahkan Gentar yang tidak datang saat pertandingan basket hari ini, “seharusnya bapak pilih saya sebagai tim inti, bukannya Gentar yang sering terlambat datang.”

Rama mengangguk menyetujui ucapan temannya itu, “Apa yang diucapin sama Dito itu benar Pak. Kalau begini, siapa yang susah? Semua anggota tim inti jadi kalah di babak pertama.” 

Pak Vian menjawab, “ini semua bukan salah Gentar, pasti dia sedang ada masalah di jalan. Di antara kalian semua hanya Gentar yang kemampuannya terbaik dalam basket, jadi wajar kalau Gentar saya pilih menjadi kapten tim inti basket.”

“Saya tahu kalau Gentar itu jago mainnya, tapi kalau dia nggak bertanggung jawab sama tugasnya sebagai kapten, Gentar tidak boleh lagi jadi tim inti.” Dito menjawab.

Pak Vian berusaha menenangkan Dito yang sedang emosi, Pak Vian merasa kalau Rama dan Dito sengaja menciptakan suasana yang membuat anggota inti lainnya berpikir bahwa Gentar bersalah. Dito memiliki uang yang banyak untuk menyewa murid lain agar mengancam anggota cadangan dalam tim basket agar suara mereka berpihak pada Dito. 

Saat ini Dito ingin menggunakan suara dari seluruh pemain cadangan untuk menyetujui keinginannya agar Gentar dikeluarkan dari tim inti. Pak Vian merasa masalah ini akan susah diselesaikan jika Dito tidak berhenti membuat keributan.

Dito tersenyum sinis lalu bertanya, “Siapa di antara kalian yang setuju kalau Gentar dikeluarkan dari tim inti?”

Siapapun orang yang mendengar pertanyaan dari Dito karena mengingat ancaman tentang hal ini, semua anggota tim yang diancam mengangkat tangannya. Pak Vian dan anggota tim yang tidak setuju dengan ucapan Dito terkejut melihat hal ini.

“Tunggu, kita nggak harus mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Gentar kan?” tanya Fino, salah satu teman Gentar.

Rama menjawab dengan raut wajah kesal, “kamu siapa berani ngomong kayak gitu? Jumlah orang yang setuju lebih banyak, jadi lebih baik kamu diam dan terima aja kalau temanmu nggak bisa main basket bareng sama kalian lagi.”

Setelah itu Pak Vian menghentikan Rama yang ingin bertengkar dengan Fino karena babak kedua setelah timeout akan dimulai. Pada akhirnya Gentar bisa keluar dari toilet tanpa bisa bermain basket saat pertandingan hari ini, dia mengetahui semuanya dari Pak Vian dan pergi setelah pamit dan minta maaf pada semua anggota ekstrakurikuler basket. Dito dan Rama yang melihat itu tertawa bersama Mita, Sari dan Wulan.

“Kamu kecewa karena nggak ada yang berpihak sama kamu kali ini?” tanya seorang siswa yang menunggu Gentar di gerbang sekolah.

Gentar menggeleng, dia tersenyum lalu menjawab, “Eh! Nggak, itu pendapat mereka sendiri kan? Buat apa aku kecewa? Aku lupa belum bilang terima kasih ke kamu Halilintar.”

“Sama-sama. Jangan terlalu percaya sama pendapat mereka. Mereka bisa saja diancam supaya kamu dikeluarkan dari tim basket. Mereka melanggar hak manusia untuk berpendapat secara bebas,” ucap Halilintar sebelum pergi.

“Halilintar benar, jika mungkin, seharusnya setiap orang bebas berpendapat dan bersuara. Tidak seperti sekarang, hanya diam dan mengikuti orang yang paling berkuasa.”

Hari terus berjalan, opini Gentar hanya ada di dalam hatinya. Mita, Sari, Wulan, Dito, dan Rama masih menyudutkan Gentar dan mengacaukan segala usaha Gentar. Tidak ada perlawanan selain diam dan sabar. Gentar seharusnya punya hak yang sama seperti Mita dan teman-temannya dalam bersuara.

Halilintar mengawasinya dari kejauhan. Selama melihat setiap hal yang dialami oleh Gentar, Halilintar merasa miris. Sampai akhirnya hari ini tiba, di mana Mita melarang Gentar untuk duduk di kantin dengan alasan kantin penuh dan menyuruh Gentar mencari kursi lain agar teman-temannya yang lain bisa duduk. 

“Cepat ambilkan kursi untuk teman-teman aku, jangan diam aja!” titah Mita dengan tatapan tajamnya. 

“Aku?” tanya Gentar menunjuk dirinya sendiri. 

“Iya, siapa lagi?” 

Gentar melihat ke sekeliling, murid-murid lainnya terlihat enggan untuk membantu. Mereka cenderung berpura-pura tidak melihat agar tidak masuk ke kubangan yang sama seperti Gentar. Mungkin hanya Halilintar yang masih setia memperhatikan apakah Gentar akan bergerak atau tidak.

“Bisakah aku selesaikan makan dulu?” tanya Gentar dengan suara pelan sambil memandangi nasi uduk yang ada di atas meja.

“Mau makan ini?” tanya Wulan sambil membalikkan piring sehingga nasi berceceran di lantai. 

Gentar hanya bisa melihat tanpa bicara. Nasi yang baru dimakan tiga sendok itu berantakan tidak tersisa. Angan menghabiskan nasi uduk dengan tenang sirna. Pada akhirnya Gentar hanya bisa mengikuti kemauan Mita untuk mencari kursi untuk teman-temannya jika tidak mau mendapatkan masalah baru lagi. 

“Berapa kursi yang harus aku ambil?” tanya Gentar.

“Bisa berhitung? Lihat aja ada berapa teman-temanku.”

“Baiklah,” gumam Gentar memandangi teman-teman Mita yang menatap dengan senyum mengejek. Tatapan mata Gentar langsung dialihkan ke arah lain.

Halilintar tidak bisa duduk diam di pojokan melihat ketidakadilan ini terus berjalan. Pada akhirnya tubuhnya berdiri lalu menatap ke sekitar yang terlihat tidak peduli. Tanpa menunggu langkah kakinya melangkah maju mengabaikan tatapan teman-temannya yang merasa heran dengan keberanian Halilintar. Gentar sampai berhenti berjalan karena melihat Halilintar berjalan ke arahnya dengan kepala terangkat tinggi. 

“Apa yang dilakukan Halilintar?” tanya Gentar khawatir kalau dia ikut campur dalam masalah ini. 

“Aku harus pergi lebih dulu.” Gentar tidak mempedulikan Halilintar dan terus berjalan. Namun, tangannya ditahan oleh Halilintar.

“Kalian mau duduk?” tanya Halilintar menatap Mita, Wulan, Sari, Dito, dan Rama bergantian.

“Siapa dia?” tanya Mita.

“Dia salah satu murid cerdas kebanggaan guru,” bisik Sari. 

“Dia juga yang menolong Gentar keluar dari kamar mandi,” seru Rama.

“Oh dia orangnya, jangan ikut campur! Lebih baik duduk di perpustakaan. Sebentar lagi ada olimpiade, tidak mau ikut? Atau mau aku cabut hak peserta olimpiade?” gertak Mita.

“Maaf, kamu belajar PKN dulu? IPS? Sepertinya tidak. Anak-anak seperti kalian biasanya tidur di kelas dan tidak peduli pada nilai.”

“Jangan asal bicara!” teriak Wulan tidak terima dengan kedua bola mata membelalak.

“Setiap orang punya hak dan kewajiban yang harus sama-sama dihargai. Gentar ini punya hak untuk menolak dan kalian punya kewajiban untuk menghargai dia sebagai teman atau paling tidak manusia.”

Prak! 

Dito mendorong kursi sehingga hampir mengenai kaki Halilintar jika lelaki itu tidak menghindar. Gentar terlibat takut dan senang bersamaan. Pada akhirnya ada seseorang yang mampu bicara tidak seperti dirinya yang memilih bungkam sampai hari ini. 

“Selama ini Gentar tidak punya hak di sini, bahkan menjadi kapten basket saja dia tidak becus.”

“Benar, kapten mana yang pergi saat pertandingan?”

Keadaan kantin yang semula hening berubah seperti riuh. Bisikan serta tatapan mengarah pada Mita dan teman-temannya serta Halilintar dan Gentar. Mereka berhasil menjadi pusat perhatian. Suasana pun mulai memanas saat beberapa murid mulai menilai karakter si penindas sekolah. Padahal selama ini mulut murid-murid ditutup rapat oleh ketakutannya pada mereka. 

“Sudah dramanya? Kalian lupa siapa yang mengunci pintu Gentar. Jangan berpura-pura, kalian sengaja mengunci Gentar dan membiarkannya tidak mengikuti pertandingan. Lalu sekarang mengatakan dia tidak becus?” 

Halilintar melihat ke arah Gentar yang mulai berani mengangkat kepala. Tangan Halilintar pun tidak lepas menggenggam tangan Gentar sebagai bentuk dukungan darinya. Siapa sangka, dukungan kecil inilah membangun rasa percaya diri Gentar dan membuatnya mampu berdiri di hadapan orang-orang yang menindasnya dengan kepala terangkat tinggi. 

“Gentar? Masih mau diam?” tanya Halilintar.

“Halilintar benar, kemarin aku dikurung oleh Dito dan Rama. Kalian membuat drama kalau aku adalah kapten tidak berguna. Namun, di sini kalian adalah pengecut. Hanya bisa merendahkan orang lain agar bisa berada di atas. Aku punya hak untuk bicara, aku punya hak menolak, dan punya hak atas diriku sendiri!” Gentar dengan lantang berbicara menciptakan suasana hening dan rasa kagum. 

Gentar yang mulutnya bungkam dan memilih diam untuk menciptakan kedamaian kini bicara. Suaranya terdengar lantang melebihi saat dirinya berbicara di depan kelas saat presentasi. Suara tanpa ragu tersebut menciptakan gebrakan baru di sekolah berkat bantuan Halilintar.

“Jangan merasa kalian paling berkuasa, aku bisa saja melaporkan kalian. Ada undang-undang yang mengatur mengenai pembullyan.”

Mulai saat itu, Gentar dan Halilintar menciptakan gebrakan baru. Mereka merangkul setiap orang yang kehilangan percaya diri akibat mengalami penindasan dalam waktu cukup lama. Pemahaman serta keberanian terus diberikan. Penegakan hak asasi terus dilakukan untuk menurunkan angka penindasan begitu juga korbannya.

Halilintar berdiri di depan kelas dengan sikap yang teguh dan penuh keyakinan. Dia memberikan pemahaman yang mendalam mengenai hak asasi setiap orang, menjelaskan dengan penuh semangat bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dengan martabat, kebebasan, dan tanpa penindasan. Dia menggugah hati dan pikiran murid-muridnya, memberi mereka keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk melawan ketidakadilan dan penindasan.

“Memang ada pepatah diam adalah emas, tetapi tidak berlaku saat hak kita disepelekan. Tidak semua orang bisa membela diri kita sendiri, kalian harus bangkit untuk membela diri kalian. Hak dan kewajiban terdengar mudah, tetapi sangat sulit untuk diterapkan.” Halilintar berucap berani.

“Halilintar, kamu sangat mudah bicara. Mita dan teman-temannya punya koneksi yang cukup baik. Kapan saja kita bisa keluar dari sekolah ini,” seru salah satu murid saat Halilintar merangkul korban penindasan.

“Benar, bicara sangat mudah. Maka dari itu, aku butuh kalian untuk bisa mewujudkannya. Kalau kalian masih acuh akan hak kalian, maka kita akan terus membiarkan si penindas berkuasa, mau?”

“Kita bersama, bukan sendiri, jangan abaikan hak kalian dan menutup mata pada penindasan,” ujar Gentar yang selalu mengiringi Halilintar memberi pemahaman pada teman-temannya sebagai mantan korban bully.

“Iya, kita bersama! Perangi penindasan, mari hidup damai!” teriak Halilintar.

Dengan bimbingan dan dukungan dari Gentar dan Halilintar, murid-murid tersebut mulai merasa lebih percaya diri dan berani. Mereka berkomitmen untuk tidak lagi membiarkan diri mereka menjadi korban penindasan, melainkan menjadi agen perubahan yang memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia. 

Mita, Wulan, Sari, Dito, dan Rama merasakan dampak yang signifikan dalam lingkungan sekolah mereka. Mereka dijauhi oleh sebagian murid lainnya yang sebelumnya mengikuti perintah mereka. Ancaman akan dikeluarkan dari sekolah tidak berlaku lagi. Mereka tidak kuasa mengeluarkan hampir sebagian isi sekolah dalam bersamaan dan melukai harga diri sekolah jika tersebar keluar. 

Pencapaian ini seperti mimpi untuk Gentar. Dirinya yang tidak pernah tenang makan di kantin, kini malah mempunyai teman untuk mengobrol saat makan. Obrolannya bukan lagi mengenai disuruh melakukan sesuatu, melainkan keseharian serta pembicaraan lain. 

“Halilintar, terima kasih kamu sudah membangun kepercayaan diriku dan membuatku sadar akan hak dan kewajibanku sebagai manusia. Selama ini aku hanya bisa tunduk dan mengikuti semuanya.” Gentar menyesali dirinya di masa lalu sangat bodoh dan tidak berani bicara. Jika saja tidak bertemu dengan Halilintar, maka hidup Gentar masih dibaluti rasa takut dan memperkuat dinding sabar.

“Bukan padaku, tapi berterima kasih pada dirimu sendiri yang mau menerima perubahan dan berani melawan ketidakadilan. Jika semua orang sadar akan hak dan kewajiban, aku yakin tidak akan ada lagi ketidakadilan.”

“Benar, aku merasa ini adalah tanggung jawabku untuk memberi tahu pada orang lain.”

“Aku juga merasa begitu.”

Halilintar dan Gentar menatap teman-temannya yang terlihat terbuka dibanding biasanya. Tawa dan suara ngobrol tidak terdengar samar-samar, melainkan terdengar jelas. Mereka mampu mengekspresikan diri tanpa takut pada siapa pun lagi seperti sebelumnya. Perubahan yang terbilang kecil mampu membawa pada perubahan cukup besar. 

Mulai saat itu juga, tidak hanya Gentar dan Halilintar yang memberi pemahaman mengenai penindasan, guru-guru mulai sadar. Setiap memulai pelajaran, mereka kerap kali diingatkan akan hak asasi manusia, di mana kita harus saling menghargai hak masing-masing.

Berkat upaya gigih dari Halilintar dan Gentar, kasus penindasan di sekolah mulai berkurang secara signifikan. Halilintar dan Gentar terus memberikan contoh yang baik kepada teman-temannya, menunjukkan bahwa keberanian, integritas, dan keadilan adalah nilai-nilai yang harus diperjuangkan.