
Di tengah semangat berbuat kebaikan yang kian digaungkan, tidak sedikit orang yang terjebak pada bentuk amal yang secara lahir tampak mulia, namun di dalamnya terselip unsur kemungkaran. Fenomena ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti sedekah yang disertai riya, dakwah yang dibalut caci maki, atau aksi sosial yang bertujuan pencitraan semata. Amal yang seharusnya menjadi jalan menuju keberkahan justru kehilangan nilai karena bercampur dengan niat atau cara yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana amal baik tetap dinilai ibadah jika di dalamnya terkandung unsur mungkar? Fenomena ini menjadi penting untuk dikaji agar umat tidak hanya semangat beramal, tetapi juga cermat menjaga kemurnian niat dan cara dalam melaksanakannya.
Untuk menjawab kegelisahan tersebut, setidaknya kita perlu membedakan antara larangan yang berkaitan langsung dengan inti ibadah itu sendiri dan larangan yang berhubungan dengan hal-hal di luar ibadah, namun masih memiliki keterkaitan dengannya. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai apakah suatu ‘larangan’ dalam syariat secara otomatis menyebabkan perbuatan yang dilarang tersebut dianggap batal atau tidak sah jika dilakukan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa hukumnya bergantung pada keadaan atau konteks larangan tersebut.
Klasifikasi Larangan dalam Keabsahan Ibadah
Pertama, apabila larangan itu berkaitan dengan ibadah, maka larangan tersebut menunjukkan bahwa ibadah itu tidak sah. Hal ini berlaku bila larangan tersebut berkaitan langsung dengan hakikat ibadah itu sendiri, seperti shalat dan puasa yang dilakukan oleh wanita haid, atau jika larangan menyangkut unsur yang tidak bisa dipisahkan dari ibadah tersebut, seperti berpuasa pada hari raya, karena ibadah pada hari tersebut berarti menolak jamuan Allah SWT. Contoh lainnya adalah shalat sunnah secara mutlak pada waktu-waktu yang dimakruhkan, karena waktu-waktu tersebut mengandung makna larangan yang kuat.
Kedua, jika larangan tidak berkaitan langsung dengan ibadah itu sendiri, melainkan menyangkut hal eksternal yang tidak menjadi bagian dari ibadah, maka larangan itu tidak menyebabkan ibadah menjadi batal. Misalnya, berwudu dengan air yang dighasab. Dalam kasus ini, wudunya tetap sah, meskipun pelakunya berdosa karena menggunakan harta orang lain secara zalim. Hal ini karena sifat larangan tersebut tidak terkait langsung dengan esensi wudu, yang bisa saja dilakukan dengan menuangkan air dari wadah mana pun. Contoh lain adalah shalat di tanah atau dengan pakaian hasil ghasab. Shalatnya tetap sah menurut mayoritas ulama, namun tindakan ghasab itu sendiri tetap berdosa.[1]
Memahami kaidah yang mengatur keterkaitan antara ‘larangan’ (nahy) dan ‘perbuatan yang dilarang’ sangat penting dalam menentukan keabsahan suatu ibadah. Tidak setiap ibadah yang mengandung unsur terlarang secara otomatis menjadi batal. Dalam beberapa kasus, keberadaan unsur yang dilarang dalam ibadah tidak mempengaruhi keabsahan ibadah tersebut, selama larangan itu tidak berkaitan langsung dengan inti atau hakikat ibadah. Sebaliknya, apabila larangan tersebut menyentuh aspek esensial dari ibadah, maka ibadah itu dapat dinyatakan tidak sah. Dengan demikian, status keabsahan ibadah sangat ditentukan oleh apakah larangan itu berkaitan dengan substansi ibadah atau hanya menyangkut hal eksternal yang masih memiliki keterkaitan dengannya.
Salah satu contoh ibadah yang kerap disertai dengan unsur kemungkaran, di mana kemungkaran tersebut berdampak langsung terhadap keabsahan ibadah itu sendiri, adalah sedekah yang dilakukan dengan menggunakan harta haram. Dalam hal ini, Syekh Musa Syahin menjelaskan dalam sebagian karyanya:
وأما الطاعة بالمال الحرام فباطلة غير مقبولة، وإذا بطلت الصدقة بسبب ما يتبعها من معصية بنص قوله تعالى ﴿لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى﴾ البقرة: ٢٦٤ بطلت إن قارنتها السيئة من باب أولى
Adapun ketaatan yang dilakukan dengan harta haram, maka hukumnya batal dan tidak diterima. Jika sedekah bisa menjadi batal hanya karena disertai perbuatan maksiat seperti menyakiti atau menyombongkan diri sebagaimana disebutkan secara tegas dalam firman Allah Ta’ala: “Janganlah kalian batalkan sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (penerima)” (QS. Al-Baqarah: 264) maka lebih utama lagi dianggap batal jika sedekah itu disertai dengan perbuatan dosa yang menyertainya sejak awal.[2]
Kontroversi Dakwah untuk Popularitas
Selain bentuk-bentuk ibadah yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula jenis ibadah yang sering disalahgunakan demi kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan dalam beragama. Salah satu contohnya ialah aktivitas berdakwah yang seharusnya menjadi sarana penyampaian kebenaran dan pembimbingan umat, namun disalahgunakan oleh sebagian individu demi mencari popularitas, pengaruh, atau bahkan kepentingan duniawi semata.
Fenomena ini banyak ditemukan di tengah masyarakat, terutama dengan adanya media sosial yang memberikan ruang luas bagi individu untuk tampil dan mendapatkan perhatian. Dakwah yang seharusnya dilandasi oleh keikhlasan lillāhi ta‘ālā, justru dijadikan alat untuk memperkuat citra diri, memperoleh pengikut, atau bahkan mencapai tujuan yang lebih rendah seperti keuntungan materi dan pemenuhan hawa nafsu. Beberapa kasus memperlihatkan adanya pendakwah yang menyalahgunakan kedudukannya untuk memanipulasi umat atau menjalin relasi yang tidak patut atas nama agama. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali mewanti-wanti untuk berwaspada dengan pendakwah yang modelannya seperti ini, beliau menyampaikan:
ومهما كان الواعظ شابًا متزينًا للنساء في ثيابه وهيئته كثير الأشعار والإشارات والحركات وقد حضر مجلسه النساء فهذا منكر يجب المنع منه فإن الفساد فيه أكثر من الصلاح ويتبين ذلك منه بقرائن أحواله بل لا ينبغي أن يسلم الوعظ إلا لمن ظاهره الورع وهيئته السكينة والوقار وزيه زي الصالحين وإلا فلا يزداد الناس به إلا تماديًا في الضلال
“Jika seorang penceramah adalah pemuda yang berdandan untuk menarik perhatian Wanita baik dari segi pakaian maupun penampilannya dan dalam ceramahnya ia banyak menggunakan syair, gerakan tubuh, serta isyarat yang berlebihan, lalu majelisnya juga dihadiri banyak wanita, maka ini adalah perbuatan yang mungkar dan wajib dicegah. Sebab, kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaatnya. Tanda-tanda seperti ini bisa dikenali dari sikap dan penampilannya. Bahkan, tidak sepatutnya seseorang diberi amanah untuk berdakwah atau memberi nasihat kecuali jika ia dikenal memiliki ketakwaan, berpenampilan tenang dan berwibawa, serta bergaya hidup seperti orang-orang saleh. Jika tidak, maka keberadaannya hanya akan membuat masyarakat semakin jauh dari kebenaran.”[3]
Dakwah adalah pekerjaan mulia yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Ia merupakan bagian dari misi kenabian yang bertujuan untuk menyeru manusia kepada jalan Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik. Namun dalam pelaksanaannya, dakwah mengandung unsur urgensi yang tidak boleh dicampuri oleh niat-niat yang bertentangan dengan semangat dasar dakwah itu sendiri. Apabila dalam proses dakwah terdapat motivasi-motivasi lain yang bersifat duniawi, seperti mencari popularitas, kekuasaan, atau kepentingan pribadi, maka hal tersebut akan menghilangkan esensi utama dari dakwah. Sebab, inti dari dakwah adalah keikhlasan dan ketundukan kepada perintah Allah. Jika unsur tersebut tercemar, maka nilai dakwah menjadi rusak, bahkan dapat dianggap batal secara ruhani, karena tidak lagi dilandasi oleh tujuan yang benar.
Perlu dipahami bahwa tidak setiap perbuatan baik yang tercampuri oleh unsur kebatilan secara otomatis menjadi batal. Hanya pada perkara-perkara yang menyentuh hakikat dan inti dari sebuah ketaatanlah, apabila dilanggar, maka dapat membatalkan nilai ketaatan tersebut. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh penulis melalui beberapa contoh sebelumnya. Oleh karena itu, seorang muslim tidak seharusnya dihantui rasa takut akan munculnya niat-niat yang menyimpang hingga membuatnya enggan melakukan amal kebaikan. Menunda amal hanya karena merasa belum bisa benar-benar ikhlas justru dapat menjadi penghalang dalam meraih kebaikan. Yang seharusnya dilakukan adalah terus berusaha melakukan amal saleh dengan sungguh-sungguh, seraya memohon pertolongan kepada Allah ﷻ agar setiap amal tersebut dijaga dari niat-niat yang salah, dan agar tetap diterima sebagai ibadah yang sah dan bernilai.[4]
Seorang laki-laki pernah berkata kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Aku ingin belajar ilmu, namun aku takut akan menyia-nyiakannya.” Maka Abu Hurairah menjawab, “Cukuplah keenggananmu untuk belajar itu sebagai bentuk penyia-nyiaan ilmu.” Dalam kesempatan lain, seorang imam berkata bahwa termasuk tipu daya setan adalah membuat seseorang meninggalkan amal karena takut dikatakan sebagai seorang yang riya (pamer). Padahal, menyucikan amal secara sempurna dari bisikan setan itu sangat sulit, bahkan mustahil. Jika kita menunggu kesempurnaan amal untuk mulai beribadah, maka tak satu pun ibadah akan kita lakukan. Akibatnya, kita akan terjerumus dalam kemalasan dan meninggalkan amal sama sekali dan inilah tujuan akhir dari setan.[5]
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa suatu kebaikan yang disertai dengan unsur keburukan atau bahkan muncul dari amal yang pada asalnya buruk memiliki validitas yang bergantung pada jenis dan tingkat keburukan yang menyertainya. Apabila keburukan tersebut menyentuh hakikat dan substansi dari kebaikan itu sendiri sehingga merusak atau meniadakan esensi aslinya, maka kebaikan tersebut tidak lagi sah secara syar‘i maupun moral. Namun, apabila keburukan yang terjadi hanya bersifat sekunder atau internal dan tidak sampai menghapus inti dari kebaikan tersebut, maka amal baik yang disertai keburukan semacam ini tetap dapat dianggap sah.
Baca Juga: Mawas Diri dan Memperbanyak Amal Saleh
[1] KH. Muhibul Aman Aly, Tashilul Wusul Ila MA’rifati Ilmil Ushul, (Pasuruan, Pondok Pesantren Besuk, 2022), Hlm 62.
[2] Musa Syahin Lashin, Fath al-Muʿnim Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, cet. 1 (Kairo: Dar al-Syuruq, 1423 H/2002 M). Juz 2, Hlm 90.
[3] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, tanpa tahun). Juz 2, Hlm 227.
[4] Muhammad bin Muflih bin Muhammad bin Mufarraj, Abu ‘Abdillah, Syamsuddin al-Maqdisi ar-Ramini kemudian ash-Shalihi al-Hanbali, Al-Adab asy-Syar‘iyyah wa al-Minah al-Mar‘iyyah, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tanpa tahun). Juz 1, Hlm 266.
[5] Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin, (Beirut: Dar al-Fikr,n 1997), Hlm 8.
Penulis: Ma’sum Ahlul Choir, Mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari