
Mulai dari kecil, masa kanak-kanak perempuan hidup dalam dunia yang penuh pertanyaan. Pertanyaan yang kadang terdengar sederhana, tetapi menyimpan tekanan yang luar biasa. Pertanyaan yang terus muncul, silih berganti, seperti gelombang tak berujung. Pertanyaan yang awalnya terdengar seperti kepedulian, tapi lama-lama menjadi luka yang terus membekas.
“Kalau besar, cita-citanya mau jadi apa?”
Sejak kecil, perempuan sudah diminta bermimpi. Tapi mimpinya harus sesuai standar. Kalau jawabannya ingin jadi astronot, ada yang bilang, “Itu buat laki-laki.” Kalau ingin jadi presiden, dibilang terlalu tinggi. Jadi guru atau perawat dianggap pas, karena “lembut dan cocok buat perempuan.”
“Mau sekolah di mana?”
Dan saat waktu masuk sekolah datang, pertanyaan itu berubah. Jika tidak masuk sekolah unggulan, dianggap tak punya prestasi. Jika masuk sekolah favorit, maka tekanan meningkat harus selalu juara, harus menjaga nama baik. Seolah-olah nilai dan prestasi perempuan adalah ukuran kelayakan hidupnya kelak.
“Kok nggak dapat ranking sih?”
Padahal dia sudah berjuang keras. Tapi perjuangannya tak cukup, karena perempuan harus selalu sempurna. Kalau gagal, dianggap tak cukup cerdas. Kalau terlalu cerdas, dibilang terlalu ambisius.
“Kenapa nggak sekolah di sekolah unggulan?”
Seakan tempat belajar menentukan seluruh masa depan. Tidak ada ruang untuk alasan pribadi, kendala finansial, atau pilihan hati. Perempuan tidak bebas menentukan jalan, karena jalannya harus sesuai harapan orang.
“Mau kuliah di mana?”
Saat lulus SMA, pertanyaan berikutnya sudah menanti. Mau kuliah di mana? Dan ketika perempuan menjawab, masih saja ada lanjutannya.
“Kenapa ngambil jurusan itu sih? Kan nggak bagus.”
Baca Juga: Urusan Perempuan, dari Privasi hingga Publik
Tak pernah ada habisnya. Bahkan jurusan yang dipilih pun dipertanyakan. Seolah hidup perempuan selalu harus layak dinilai. Jurusan harus menjanjikan gaji tinggi, status, atau prestise. Bukan soal minat atau panggilan hati.
“Abis lulus kuliah kok nggak kerja?”
Lalu, ketika ia lulus dan memilih istirahat sejenak, menyembuhkan diri, mencari arah pertanyaan kembali datang. Dituduh malas, kurang ambisi, tidak produktif. Padahal, mungkin dia sedang menyusun ulang hidupnya. Tapi dunia tidak peduli.
“Kerja di mana sekarang?”
Jika ia akhirnya bekerja, masih belum cukup. “Kerja di mana sekarang?” Kalau tempatnya biasa saja, maka muncul kalimat seperti: “Lulusan kampus kok kerjanya gitu doang?” Sekali lagi, hidupnya diukur dari standar luar, bukan proses atau perjuangannya.
“Mana pacarnya?”
Seolah hidup tidak lengkap kalau tidak punya pasangan. Perempuan dianggap “kurang laku” jika masih sendiri. Padahal ia sedang membangun diri, mungkin pernah trauma, atau sedang menunggu yang benar-benar baik. Tapi siapa yang peduli?
“Kapan lamaran?” “Kapan nikah?”
Pertanyaan ini makin keras di usia 25 ke atas. Padahal menikah bukan perlombaan. Tapi bagi sebagian masyarakat, perempuan yang belum menikah dianggap gagal. Seolah hidupnya tidak sah sebelum ada cincin di jari manisnya.
“Kapan punya anak?”
Dan saat menikah pun, pertanyaan belum selesai. Tak lama setelah ijab kabul, pertanyaan baru datang: “Sudah isi belum?” Seakan tubuh perempuan bisa langsung diberi perintah. Tak peduli apakah ia sedang berjuang punya anak, mengalami keguguran, atau hanya ingin menikmati pernikahan sejenak.
“Kapan nambah momongan?”
Setelah punya satu anak, pertanyaan belum berhenti. “Kapan nambah momongan?” Tak semua perempuan ingin atau mampu punya banyak anak. Tapi suara-suara dari luar selalu hadir. Tidak ada henti. Tidak ada jeda.
Kenapa Harus Perempuan yang Menanggung Semua Itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas jarang, atau bahkan hampir tidak pernah, ditujukan kepada laki-laki. Kenapa? Kenapa yang dipertanyakan selalu perempuan? Sejak kapan standar hidup dan kebahagiaan perempuan ditentukan oleh penilaian orang lain?
Kenapa budaya ini tidak berlaku sama terhadap laki-laki? Jika laki-laki belum menikah usia 30, dianggap masih membangun karier. Kalau perempuan, dianggap sudah “melewati masa emas”. Jika laki-laki bekerja biasa, tidak apa-apa. Tapi perempuan lulusan S1 kalau tidak bekerja di tempat prestisius, dianggap sia-sia. Jika laki-laki membersihkan rumah, dipuji-puji. Tapi kalau perempuan yang kelelahan di rumah, dibilang “Cuma ibu rumah tangga.”
Apakah sesusah itu jadi perempuan? Yang lebih menyakitkan lagi, sering kali komentar paling tajam datang dari sesama perempuan. Dari tetangga, dari tante, bahkan dari ibu sendiri. Perempuan yang seharusnya saling memahami, justru menjadi bagian dari sistem yang menekan. Mungkin karena mereka dulu juga pernah dipaksa diam, maka kini ikut menekan generasi setelahnya.
Baca Juga: Tekanan Sosial terhadap Perempuan terkait Jodoh, Awas Perawan Tua!
Tapi tidakkah mereka tahu bahwa hati kecil kita menangis? Bahwa setiap pertanyaan itu seperti duri yang tak terlihat tapi terus menyakitkan? Kita ingin didengar, bukan dihakimi. Kita ingin ditemani, bukan dikomentari.
Sudah waktunya kita ubah budaya ini. Mulai berhenti menanyakan hal-hal yang bukan urusan kita. Mulai mendengarkan, bukan menuntut. Setiap perempuan punya waktu, pilihan, dan jalannya sendiri. Tidak semua perempuan ingin menikah cepat. Tidak semua perempuan ingin punya banyak anak. Tidak semua perempuan ingin jadi pegawai kantoran. Dan semua itu sah.
Biarkan perempuan memilih jalannya tanpa dibebani sejuta pertanyaan yang hanya melemahkan. Perempuan tidak butuh jawaban, mereka butuh pengertian, dunia perempuan bukan sekadar tentang menjawab pertanyaan-pertanyaan orang. Dunia perempuan adalah tentang menjadi dirinya sendiri belajar, gagal, bangkit, bermimpi, dan berjalan dengan caranya sendiri.
Maka berhentilah bertanya: kapan ini, kapan itu. Mulailah bertanya: apa yang kamu inginkan? Apa yang kamu butuhkan? Bagaimana aku bisa mendukungmu? Karena yang dibutuhkan perempuan bukan lagi penghakiman, tapi pengertian.
Penulis: Albii