Perempuan dan dunianya. (sumber: CXOmedia)

Siapa yang pertama kali menetapkan bahwa perempuan harus menikah sebelum usia 25? Siapa yang menciptakan narasi bahwa jika perempuan belum menikah di usia itu, maka dia layak dicap “tidak laku”, “perawan tua”, atau “terlalu milih”? Kita tidak punya satu nama untuk ditunjuk, karena standar itu lahir dari tumpukan budaya patriarkal, tafsir sosial yang sempit, dan pemaknaan yang keliru terhadap kodrat perempuan. Tapi satu hal yang pasti: cara pandang ini bukan dari Allah.

Allah tidak pernah menetapkan usia pasti untuk menikah. Allah tidak pernah menghina perempuan lajang. Justru dalam Islam, Allah sangat memuliakan perempuan, memberinya hak untuk memilih, untuk menolak, bahkan untuk menyendiri jika itu lebih baik baginya. Maka, jika ada yang menyebarkan pandangan bahwa perempuan harus menikah di usia muda atau akan dianggap “tidak berharga”, bisa jadi mereka sedang melawan prinsip dasar yang justru telah Allah tetapkan: bahwa setiap manusia memiliki takdirnya sendiri.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, yang artiny: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini tidak menyebut batas usia. Tidak ada kalimat, “pasangan akan datang sebelum usia 25” atau “jika lewat 30 maka kamu terlambat.” Yang ada hanyalah janji bahwa Allah menciptakan pasangan bagi setiap jiwa. Tapi manusia sering terburu-buru. Mereka ingin kepastian cepat, ingin semua sesuai dengan standar sosial, bukan standar takdir. Jika kita percaya pada takdir Allah, maka kita harus percaya bahwa waktu-Nya selalu tepat. Maka, menyindir perempuan karena belum menikah di usia tertentu sama saja dengan mempertanyakan ketetapan Allah. Bukankah itu berarti kurang iman?

Di banyak masyarakat, perempuan bukan hanya dituntut untuk menikah muda, tetapi juga harus selalu tampil sempurna: lembut, tidak bawel, pandai mengurus rumah, dan tidak banyak menuntut. Sedikit saja mereka menunjukkan pendapatnya, mereka dianggap “tidak layak dinikahi.” Lebih menyedihkan lagi, jika ada perempuan yang belum menikah, yang disalahkan adalah dirinya sendiri. “Kebanyakan milih,” “Terlalu sibuk kerja,” atau bahkan “Terlalu mandiri, sih.” Padahal banyak perempuan lajang karena mereka sedang berproses, menunggu yang terbaik, atau memang belum menemukan seseorang yang tepat dan bertanggung jawab.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Mengenal Ulama Perempuan Penggerak Kesetaraan Gender (I)

Di sisi lain, laki-laki justru jarang mendapat tekanan serupa. Seorang laki-laki berusia 35 tahun dan belum menikah akan dianggap fokus pada karier. Tapi perempuan usia 30 dianggap “terlambat.” Padahal, apakah hidup hanya tentang menikah? Standar ganda ini melelahkan. Dan jika terus dibiarkan, bisa melukai harga diri dan kesehatan mental banyak perempuan.

Zaman telah berubah. Kini, perempuan lebih terdidik, lebih terbuka pada informasi, dan lebih sadar akan hak-haknya. Mereka melihat banyak contoh pernikahan yang tidak sehat: suami yang KDRT, suami yang selingkuh, yang tidak bertanggung jawab, atau menikah hanya untuk gengsi sosial. Maka, bukan hal yang aneh jika banyak perempuan justru berhati-hati sebelum memutuskan menikah.

Mereka tidak anti pernikahan, mereka hanya takut salah pilih. Mereka takut hancur, takut kehilangan diri sendiri, dan takut harus bertahan dalam hubungan yang menyiksa hanya karena takut dianggap gagal. Jadi pertanyaannya: kenapa justru mereka yang disalahkan? Kenapa bukan laki-laki yang dituntut untuk membangun kepercayaan kembali? Kenapa bukan laki-laki yang diminta membuktikan bahwa mereka bisa menjadi pasangan yang aman secara emosional dan spiritual?

Jika kita benar-benar ingin menghidupkan sunnah pernikahan, maka kita juga harus menghidupkan maknanya. Pernikahan bukan sekadar status, bukan pula soal memenuhi tuntutan sosial. Pernikahan adalah komitmen suci, ibadah panjang, tempat dua insan saling menumbuhkan, bukan saling menjatuhkan.

Maka, yang harus dibangun bukanlah desakan agar perempuan cepat menikah, tetapi ekosistem sosial yang sehat, agar setiap orang bisa siap menikah dengan utuh. Laki-laki perlu belajar mengelola emosi, menyelesaikan trauma, dan membentuk kepribadian yang amanah. Karena yang dibutuhkan perempuan bukan sekadar “laki-laki,” tapi pasangan hidup yang siap berjuang bersama, bukan menyiksa bersama.

Perempuan Bukan Penyebab Masalah, Mereka Korban dari Sistem yang Rusak

Selama ini, narasi yang berkembang terlalu bias: perempuan dianggap terlalu memilih, terlalu idealis, terlalu menunda. Tapi sedikit sekali orang yang mau melihat sisi lain: mungkin justru karena banyaknya contoh laki-laki yang tidak aman secara emosional, maka perempuan jadi terpaksa waspada.

Baca Juga: Tekanan Sosial terhadap Perempuan terkait Jodoh, Awas Perawan Tua!

Perempuan tidak salah karena menetapkan standar. Justru salah jika mereka menurunkan standar hanya demi menikah. Standar itu adalah bentuk perlindungan diri, dan itu sah. Laki-laki yang baik seharusnya tidak merasa terancam dengan standar itu, melainkan termotivasi untuk menjadi lebih baik.

Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang tidak membebani satu pihak atas beban dua pihak. Pernikahan adalah urusan dua orang, maka tanggung jawab membangunnya pun harus dibagi. Tidak adil jika perempuan terus yang ditanya “kapan nikah?”, sementara laki-laki dibiarkan menentukan sendiri. Perempuan punya hak atas waktu mereka, pilihan mereka, dan hidup mereka. Mereka tidak wajib menikah di usia muda hanya karena takut disebut “tidak laku.” Yang wajib adalah masyarakat berubah agar lebih empati, lebih bijak, dan tidak mudah menghakimi.

Allah sudah menjanjikan pasangan bagi setiap insan. Tapi manusia terlalu panik menunggu janji itu datang, hingga akhirnya saling menyudutkan. Jika kita benar-benar percaya bahwa jodoh adalah urusan Allah, maka kita harus berhenti menekan perempuan untuk segera menikah, dan mulai memperbaiki diri agar pantas menjadi pasangan yang baik laki-laki maupun perempuan.

Baca Juga: Hingga Hari Ini Perjuangan Perempuan Belum Selesai

Jangan jadikan perempuan sebagai kambing hitam dari kegagalan sistem sosial dan moral yang rapuh. Jangan biarkan mereka menanggung beban yang harusnya dibagi. Hormati pilihan mereka, dukung proses mereka, dan doakan yang terbaik. Karena sejatinya, tidak ada kata “terlambat” dalam urusan yang sudah Allah tetapkan waktunya.



Penulis: Albii