
Usia perempuan sering kali menjadi ukuran “nilai” masyarakat dalam hal pernikahan. Begitu seorang perempuan menginjak usia 20 tahun ke atas dan belum menikah, pertanyaan-pertanyaan klise mulai berdatangan: “Kapan nikah?”, “Kok belum ada calon?”, bahkan yang lebih menyakitkan, “Jangan sampai jadi perawan tua, lho.” Hal yang sama jarang atau bahkan hampir tidak pernah ditujukan kepada laki-laki dengan cara yang sama.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Dan apakah kita benar-benar menyadari dampak dari konstruksi sosial seperti ini terhadap kesehatan mental perempuan? Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah budaya patriarki yang sudah mengakar sejak lama. Dalam sistem patriarki, laki-laki sering diposisikan sebagai pusat dari keluarga dan masyarakat. Perempuan diharapkan menjadi istri dan ibu, dan nilai keberhasilan mereka sering kali diukur dari sejauh mana mereka menjalankan dua peran itu. Maka dari itu, menikah menjadi semacam “kewajiban suci” bagi perempuan, dan semakin cepat dilakukan, semakin baik.
Sementara itu, laki-laki sering dianggap baru “siap” menikah setelah stabil secara finansial, biasanya di usia 30-an. Tidak ada yang menyebut laki-laki 35 tahun sebagai “perjaka tua”. Bahkan, laki-laki usia 40-an yang belum menikah sering dipuji karena dianggap fokus pada karier, bukan dicemooh.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada perempuan lajang sering kali dibungkus dalam bentuk perhatian. Tapi kita harus jujur: banyak dari pertanyaan itu lahir bukan dari rasa peduli, melainkan dari norma sosial yang menekan. Sekilas tampak sepele, tetapi sebenarnya menciptakan tekanan psikologis yang berat.
Perempuan yang belum menikah di usia 25, 27, atau 30 ke atas sering merasa ada yang “salah” dengan dirinya, padahal tidak ada. Mereka jadi berpikir bahwa hidup mereka belum lengkap. Banyak dari mereka merasa malu dalam lingkungan sosial, cemas menghadiri acara keluarga, dan bahkan mulai mempertanyakan nilai dirinya sendiri. Ini jelas mengganggu kesehatan mental.
Masalah ini tidak hanya berhenti di usia. Perempuan tidak hanya dituntut untuk menikah muda, tetapi juga harus “sempurna”: cantik, langsing, lembut, dan patuh. Jika tidak memenuhi standar ini, maka mereka dianggap belum pantas menikah. Sementara laki-laki sering diberikan toleransi jauh lebih besar: bisa menikah dengan siapa saja, dari usia berapa saja, dan penampilan sering kali bukan masalah besar.
Baca Juga: Merespons Stigma & Perawan Tua Perempuan yang Belum Menikah
Dengan kata lain, perempuan dipaksa untuk terus mengejar ekspektasi, sementara laki-laki bisa menunggu dan memilih. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa urusan pernikahan masih dilihat dari sudut pandang laki-laki sebagai subjek, dan perempuan sebagai objek.
Tidak semua perempuan ingin menikah di usia muda. Beberapa ingin mengejar pendidikan, karier, atau bahkan ingin mengenal dirinya lebih dalam sebelum berbagi hidup dengan orang lain. Tapi sering kali, pilihan ini dianggap egois atau aneh.
Padahal, pernikahan adalah keputusan besar, bukan sekadar upacara sosial. Memaksakan seseorang menikah hanya karena takut disebut “perawan tua” justru berisiko tinggi: banyak kasus rumah tangga yang tidak bahagia karena awalnya dibentuk bukan dari kesadaran, melainkan tekanan.
Tekanan semacam ini membuat perempuan merasa hidup mereka bukan milik mereka sendiri, melainkan milik harapan masyarakat.
Tekanan untuk menikah muda dapat menyebabkan kecemasan, stres berkepanjangan, bahkan depresi. Banyak perempuan mulai merasa cemas terhadap masa depan, meragukan diri, dan merasa kurang berharga jika belum menikah. Hal ini semakin parah ketika lingkungan sekitar tidak mendukung pilihan hidup mereka, dan justru mempermalukan mereka.
Dalam beberapa kasus, perempuan bisa merasa dikucilkan dari lingkar sosial hanya karena status lajang mereka. Mereka mulai menghindari pertemuan keluarga atau acara pernikahan teman karena khawatir dihadapkan lagi pada pertanyaan yang menyakitkan.
Lebih buruk lagi, tekanan ini bisa mendorong perempuan ke dalam hubungan yang tidak sehat atau toksik hanya demi “menghindari malu” karena belum menikah.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap peran media dalam memperkuat narasi ini. Film, sinetron, bahkan iklan sering menggambarkan perempuan yang bahagia sebagai perempuan yang menikah. Mereka yang lajang apalagi di usia matang digambarkan sebagai kesepian, putus asa, atau “karier freak”.
Narasi ini terus menginternalisasi bahwa perempuan tidak lengkap tanpa pasangan, padahal kenyataan hidup jauh lebih kompleks. Banyak perempuan yang bahagia, produktif, dan penuh makna meskipun belum atau tidak menikah.
Sudah waktunya kita berhenti menganggap perempuan sebagai jam pasir yang harus segera “diambil” sebelum “habis masa pakainya”. Perempuan adalah manusia utuh dengan keinginan, mimpi, dan rencana hidup yang sah, yang tidak harus selalu berujung di pelaminan.
Baca Juga: Mengapa Aku Begini? Renungan Insecure yang Tak Pernah Usai
Pernikahan seharusnya menjadi pilihan sadar, bukan paksaan sosial. Menikah di usia 30-an atau bahkan tidak menikah bukanlah aib. Lebih baik menikah karena siap dan saling mencintai, daripada menikah karena takut tekanan sosial.
Laki-laki juga perlu berkaca, tidak adil jika hanya perempuan yang terus ditanya soal pernikahan, sementara laki-laki bebas menjalani hidupnya tanpa gangguan. Laki-laki juga seharusnya diajak untuk berpikir bahwa relasi yang sehat butuh persiapan emosional, bukan hanya finansial. Kesiapan menikah tidak hanya ditentukan dari jenis kelamin atau umur, tapi dari kedewasaan berpikir dan bertindak.
Setiap orang punya waktunya sendiri. Menikah bukan perlombaan. Label seperti “perawan tua” bukan hanya ketinggalan zaman, tapi juga merusak.
Kita harus mulai menciptakan ruang sosial yang lebih suportif, terutama bagi perempuan. Bukan ruang yang menghakimi pilihan hidup mereka, tapi yang mendengarkan dan menghormati. Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang menyenangkan orang lain, tapi tentang menjadi diri sendiri yang utuh, sehat, dan bahagia dengan atau tanpa pasangan.
Penulis: Albii