
Setiap Jumat Legi, setelah jamaah salat maghrib, masjid di kampung saya dipenuhi orang. Bukan karena pengajian spektakuler, melainkan karena rutinitas yang sudah membudaya: pengajian bersama Kyai Salam dari Pondok An-Nur Bululawang. Seperti biasa, beliau datang membawa kitab tebal.
Saya tidak tahu nama kitabnya, hanya saja beliau seringkali membacakan hadis, dan entah kenapa, saya kerapkali ingin memastikan hadis itu. Kadang-kadang, saya nggak langsung percaya. Benar nggak sih ini hadisnya? Shahih atau cuma cerita warung kopi yang kebetulan bersanad?
Hari itu, Kiai Salam membacakan hadis yang sangat menarik: tentang seorang laki-laki (rajul) yang bersedekah kepada pencuri laki-laki (sariq), pezina perempuan (zaniyah) dan orang kaya laki-laki (ghaniyy).
“Lā-uṣaddiqanna biṣadaqatin…” Aku benar-benar akan bersedekah!
Ia membacakan kisah bahwa seseorang berniat bersedekah, lalu sedekahnya jatuh ke tangan pencuri. Keesokan paginya, orang-orang di kampungnya ramai membicarakan: “Tadi malam ada yang bersedekah ke pencuri!” Ia mendengarnya, dan hanya menjawab, “Allāhumma lakal-ḥamdu.”
Malam berikutnya, ia bersedekah lagi. Kali ini kepada seorang pezina. Keesokan harinya, desas-desus kembali terdengar: “Tadi malam dia sedekah ke pezina!” Lalu ia pun tetap bersyukur: “Allāhumma lakal-ḥamdu.”
Malam ketiga, ia bersedekah lagi. Sekarang kepada orang kaya. Komentar negatif datang lagi: “Masak orang kaya dikasih sedekah?” Tapi ia tetap menjawab: “Allāhumma lakal-ḥamdu.”
Saat tidur malam itu, ia bermimpi. Malaikat datang dan berkata, “Sedekahmu telah diterima. Si pencuri berhenti mencuri, si pezina bertaubat, dan si kaya mulai bersedekah.”
Sampai di sini, Kyai Salam berhenti sejenak. Beliau mengajukan pertanyaan retoris: “Pernah nggak, panjenengan sedanten bersedekah, lalu didatangi malaikat dalam mimpi?”
Kami diam. Lalu beliau menjelaskan, bahwa sedekah kadang tidak langsung kelihatan dampaknya. Bahkan bisa jadi kita tak pernah tahu hasilnya. Tapi Allah tahu. Dan bisa jadi, justru dari sedekah itu, jalan hidayah terbuka.
Fath al-Bari dan Penjelasannya
Saya menemukan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh salah satunya al-Bukhārī (Kitab al-Zakat, no. 1421), melalui jalur Abu al-Yamān, dari Syu‘aib bin Abī Ḥamzah, dari Abū al-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, dari Nabi ﷺ. Sanadnya sangat kuat. Bahkan dalam Fatḥ al-Bārī, Ibn Ḥajar menegaskan bahwa al-A‘raj benar-benar mendengar langsung dari Abu Hurairah: “annahu sami‘a Abā Hurairah.”
Dalam Fatḥ al-Bārī, Ibn Ḥajar juga menjelaskan hal menarik: kata “lā-uṣaddiqanna” adalah bentuk sumpah implisit. Artinya, ia benar-benar bertekad. Namun, tidak dijelaskan alasannya. Tidak ada motif sentimental, tidak ada konteks penderitaan, hanya niat yang kuat.
Ibn Ḥajar menafsirkan, ini seperti bentuk komitmen tanpa pamrih, bahkan bisa disamakan dengan nazar. Hal ini justru membuka ruang tafsir: bisa jadi sedekah itu memang tak butuh alasan rasional cukup niat baik dan serah diri kepada Tuhan.
Masih dalam penjelasan Fatḥ al-Bārī, diulas pula bahwa ucapan “Allāhumma lakal-ḥamdu” itu bukanlah ungkapan putus asa, tetapi bentuk tafwīḍ—pasrah kepada kehendak Tuhan, ikhlas dan keyakinan bahwa semua yang terjadi pasti berada dalam kendali-Nya.
Kata Ibn Hajar:
“وَفِيهِ أَنَّ نِيَّة الْمُتَصَدِّق إِذَا كَانَتْ صَالِحَة قُبِلَتْ صَدَقَته وَلَوْ لَمْ تَقَعْ الْمَوْقِع”
Artinya: “Jika niat sang pemberi sedekah itu tulus, maka sedekahnya diterima meski tidak tepat sasaran.”
Namun ada pertanyaan yang terus menggelitik: siapa sebenarnya laki-laki yang disebut “rajul” dalam hadis itu?
Dalam Musnad Aḥmad, Ibn Lahi‘ah meriwayatkan bahwa laki-laki itu dari kalangan Bani Israil. Tapi sanadnya lemah. Tidak ada satu pun jalur sahih yang menyebut identitas si dermawan. Mungkin itu memang disengaja. Mungkin agar fokusnya bukan pada siapa orangnya, melainkan kenapa dan bagaimana perbuatannya.
Kiai Salam menambahkan hal yang menurut saya sangat menyentuh: ketiga golongan itu pencuri, pezina, dan orang kaya semuanya sebenarnya butuh sentuhan rohani.
Pencuri dan pezina, katanya, mungkin tidak ingin hidup seperti itu. Tapi kondisi hidup membuat mereka terpaksa menempuh jalan gelap. Mereka bukan jahat, mereka hanya butuh harapan. Dan sedekah yang datang dari tangan yang tidak menghakimi menjadi titik balik.
Sementara si kaya, ia bukan tak punya. Tapi ia kekurangan rasa peduli. Saat menerima sedekah, bisa jadi hatinya tersentuh. Lalu ia sadar: “Kalau aku saja diberi, apalagi mereka yang lebih butuh.”
Saya merenung. Barangkali, ini bukan sekadar kisah moral. Ini kisah tentang bagaimana kebaikan yang ikhlas bisa mengubah struktur masyarakat. Masyarakat yang terdiri dari tiga jenis orang itu: yang gelap karena miskin, yang tergelincir karena godaan, dan yang berlimpah tapi lupa diri.
Hadis ini bukan hanya soal sedekah. Tapi tentang titik temu antara manusia dan Tuhan. Antara kehendak baik dan hidayah. Antara niat yang kecil dan dampak yang tak terbayangkan.
Jangan pernah remehkan satu keping sedekah, satu teguk air, satu senyum, satu uluran tangan. Karena bisa jadi itu adalah pintu hidayah bagi orang lain dan keselamatan untuk diri kita semuanya.
Refleksi Sosial: Siapa yang Layak Dikasihani?
Hadis tentang sedekah kepada pencuri, pezina, dan orang kaya yang pelit, seperti dijelaskan oleh Kiai Salam, menyimpan kekuatan spiritual yang tak main-main. Ia bukan hanya mengajarkan keikhlasan, tetapi juga menggugat cara pandang kita terhadap pelaku dosa. Tapi, seiring saya merenungi isi pengajian itu, benak saya terusik oleh kenyataan sosial yang kita hadapi hari ini.
Apakah pencuri selalu layak dikasihani? Bagaimana dengan pezina? Lalu, orang kaya yang tak pernah bersedekah masih pantaskah mendapat empati? Mari kita lebih jujur dalam menjawabnya.
Coba bandingkan pencuri ayam yang tertangkap di kampung lalu dipukuli massa, dengan seorang koruptor yang mencuri ratusan miliar dana negara tapi masih bisa tersenyum di sidang. Bandingkan pezina karena miskin dan tak punya akses pendidikan seks, dengan oknum ulama yang mencabuli belasan santri karena merasa suci dan tak tersentuh. Yang satu berdosa karena terdesak, yang lain berdosa karena merasa berkuasa.
Dalam kejahatan ada dua wajah: kejahatan karena kehilangan pilihan, dan kejahatan karena penyalahgunaan kekuasaan. Yang pertama butuh pertolongan, yang kedua butuh perlawanan.
Saya jadi memahami mengapa Kiai Salam menekankan bahwa tiga golongan yang diberi sedekah itu bukan siapa-siapa. Mereka anonim, tanpa nama, tanpa status sosial yang tinggi. Mereka tidak memiliki sistem kekuasaan yang menopang dosa-dosanya. Mereka bukan predator berjubah agama, bukan pejabat yang menghisap darah rakyat.
Kita bisa menangis melihat seorang perempuan mencuri susu untuk bayinya. Tapi kita tak boleh menitikkan air mata untuk politisi yang korupsi dana pendidikan. Empati sosial harus berjarak dari romantisme moral. Bukan setiap pendosa layak disuapi kebaikan. Ada yang harus disadarkan dengan sentuhan, tapi ada pula yang harus dihentikan dengan hukuman.
Di sinilah hadis itu mengajarkan kita satu hal penting: bedakan antara manusia yang jatuh, dan manusia yang sengaja menjatuhkan orang lain. Satu lagi, satu orang yang melakukan suatu perbuatan dengan tulus bisa membawa dampak perubahan struktural yang tidak main-main. Wallahu a’lam
Baca Juga: Kisah Ini Membuat Kita Merenung karena Menyakiti Orang Lain
Penulis: Achmad Fauzan
Editor: Muh Sutan