sumber gambar: beritajuk.com

Oleh: Muhammad Abror Rosyidin*

Muncul di headline news pemberitaan “Menteri Bahlil Akan Terbitkan IUP Tambang Batu Bara milik PBNU”, dan masih banyak berita lain dengan judul yang kurang lebih berisi sama. Ternyata lebih dari pada itu, bukan hanya NU, tetapi memang pemerintah memberikan “jatah” tambang kepada ormas-ormas. Tentu reaksi setelahnya, di antara ormas itu, ada yang gercep langsung mengajukan, yaitu PBNU, ada yang masih pikir-pikir entah sampai kapan, yaitu Muhammadiyah, ada yang langsung menolak. Yang langsung menolak, justru berasal dari ormas keagamaan Kristen.

Keputusan atau lebih baik disebut “tawaran” menggiurkan ini, tentu saja menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat secara beragam. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut baik untuk kemaslahatan ormas dan umatnya, ada pula sebaliknya menyebut bahwa hal tersebut tidaklah patut dilakukan oleh ormas keagamaan, apalagi yang mempunyai pengikut puluhan juta di negeri ini. Sayangnya, pendapat kedua agaknya di dunia maya merupakan suara mayoritas. 

Soal PBNU, Gus Yahya, langsung menyambut baik, bahkan gerak cepat untuk menindaklanjuti tawaran itu menjadi aksi nyata. Pengajuan segera dibuat, dan Pak Menteri langsung merespon dengan segera menerbitkan izinnya. Yang menarik dalam salah satu kesempatan, Gus Yahya, menyebut bahwa alasan menyambut baik jatah tambang itu, karena “Butuh” dengan kalimat “Gimana lagi wong butuh”.

Saya, sebagai nahdliyin sih tidak ingin muluk-muluk bahas bagaimana ke depan sebagai konsekuensi jika PBNU benar-benar mengelola tambang. Saya yakin juga di NU banyak ahli-ahli tambang, dan pengusaha yang kompeten di bidang itu. Hanya saja, ini menurut penulis cukup kontradiktif dengan hasil Muktamar ke-34 NU di Lampung beberapa tahun lalu, di mana lingkungan dan perubahan iklim mendapat perhatian khusus dalam pembahasan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bahkan tertuang di dalamnya, saya kutip saja biar jelas dari dokumen hasil muktamarnya, “Perubahan global dan pembangunan serta investasi juga berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang menjadi keprihatinan dunia sekarang ini. Di satu pihak Indonesia memiliki kontribusi cukup besar terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim namun di sisi lain setiap upaya pencegahan tersebut oleh pemerinah dan negara Indonesia justru terjadi ketimpangan antara manfaat yang diperoleh Indonesia dan negara-negara maju. Tidak seimbang manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dan negara Indonesia dengan keuntungan yang didapat oleh negara-negara maju tersebut”. (poin 6 masalah yang diangkat dalam muktamar).

Perlu dibaca dan diresapi berulang-ulang poin dalam dokumen tersebut kita mendapatkan titik kontranya. Akan kita bahas satu-satu dalam poin-poin:

Nol (0) Hektar Deforestasi pada 2023

Pada poin satu (1) yang tertanam dalam dokumen muktamar disebutkan bahwa subpoin pertama, disebutkan pada “b” pemerintah perlu fokus dan sercara serius mengambil langkah-langkah mengurangi deforestasi menjadi nol hektar pada tahun 2023. Tentu saja, itu adalah rekomendasi yang sangat indah dan bagus. Bahwa deforestasi menjadi masalah utama kita saat ini, di mana hutan lindung, tanah adat, bahkan ekosistem alami yang harus dihindarkan dari proyek strategis pada akhirnya tetap ditrabas dengan nafsu “investasi”. Maka NU memberikan rekomendasi agar stop deforestasi kalau bisa bahkan “0”. Saya hanya mengingatkan soal ini kepada PBNU bahwa jika pertambangan itu tetap dilakukan oleh PBNU, agaknya sulit menyebutnya konsisten, karena pertambangan batu bara, susah terlepas dari bayang-bayang “penggundulan dan perusakan alam”.

Di dalam jurnal PNAS, Stefan Giljum dari Institute for Ecological Economics, Vienna University of Economics and Business, Austria dan tim. Kajian dilakukan terhadap 26 negara yang memiliki hutan hujan tropis. Dan Indonesia menjadi negara yang diteliti dan menempati peringkat pertama deforestasi dan kerusakan hujan tropis, dengan menyumbangkan 58,2% deforestasi dunia. Dalam kurun waktu 2010-2014, Indonesia kehilangan hutan seluas 1.901 km persegi akibat pertambangan, yang menyumbang 0,7 persen dari total kehilangan hutan seluas 267.591 kilometer persegi sejak tahun 2000. Ekstraksi batu bara di Kalimantan menjadi yang terbesar penyumbangnya.

Bagaimana? Ya barangkali PBNU bisa menyiasati tambang batu bara tanpa deforestasi dan merusak alam. Kita husnudzon saja. Cuma, sekarang sudah 2024, 2023 sudah terlewat, sebagaimana tertuang di dalam rekomendasi Muktamar. Apa kira-kira usaha PBNU dalam merekomendasikan secara total hal tersebut kepada pemerintah?

Stop PLTU Batu Bara, Akselerasi Energi Terbarukan, dan Sistem Transportasi Listrik

Menarik lagi, bahwa Muktamar 34 NU di Lampung telah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan akselerasi, sekali lagi, akselerasi, terhadap energi terbarukan dan transportasi umum dan listrik. Begini bunyi poinnya, saya kutip lengkap:

Pemerintah perlu bersama dengan para pengusaha untuk menyiapkan rencana dan menjalin kerjasama internasional untuk akselerasi transisi ke energi terbarukan dan mencapai proporsi EBT minimal 30 % pada tahun 2025 serta net zero emisi pada tahun 2045. Pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai tahun 2022 dan pengurangan produksi batubara mulai tahun 2022 serta early retirement/phase out PLTU Batu Bara pada tahun 2040 untuk mempercepat proses transisi energi yang berkeadilan, demokratis dan terjangkau.”

Agak menggelitik memang, tapi inilah kenyataan hidup. Pertama, rekomendasi untuk menghentikan pembangunan PLTU Batubara baru mulai tahun 2022. Rekomendasi ini tidak terlihat disampaikan secara serius kepada pemerintah, malah muncul kepastian, bakal ada pembukaan tambang batu bara baru atas nama PBNU pada 2024. Bagi yang membaca tulisan ini yang menyerngitkan dahi, silakan saja, tidak ada yang melarang, ya memang begini adanya.

Kedua, pengurangan produksi batu bara mulai 2022. Rekomendasi ini jelas-jelas tidak berimbas sama sekali ke pemerintah, karena pada 2023 produksi batu bara mencapai 775 ton. Angka itu mengalami kenaikan 12,8% dibanding tahun 2022 yang mencapai 687 ton, bahkan menjadi rekor produksi tertinggi baru. Bahkan website resmi Kementerian ESDM menyambut hal tersebut sebagai kebanggaan.

Ketiga, early retirement (pemensiunan dini) PLTU Batu Bara pada 2040. Sepertinya rekomendasi ini juga sulit dijalankan, mengingat ada hubungan yang mesra-mesranya PBNU dengan batu bara. Mana mungkin PBNU menjalankan rekomendasinya sendiri agar PLTU ditutup, wong bahan bakarnya diproduksi oleh pihak yang merekom. Tentu ibarat seperti dokter menyarankan pasien untuk berhenti merokok, tetapi sang dokter juga merokok, atau lebih-lebih pemilik pabrik rokok.

Keempat, soal transisi energi lebih menarik lagi. Begini bunyi redaksinya “Pemerintah perlu menyusun kebijakan komprehensif dan langkah-langkah untuk meningkatkan akses dan kualitas transportasi publik dan akselerasi adopsi kendaraan listrik (electric vehicle) di Indonesia”. Redaksi ini kenapa menjadi begitu sangat menarik saat ini, karena upaya untuk merealisasikannya menjadi sangat susah jika produksi energi terbarukan itu, belum dilakukan, alih-alih begitu, malah energi konvensional terus diperbarui dan dibukakan baru.

Muktamar juga merekomendasikan tentang ancaman sampah plastik dan penggunan sampah plastik yang menjadi PR utama bangsa ini. Namun, soal ini, tidak perlu dibahas panjang lebar, karena tidak sedang menjadi bahasan utama tulisan ini. Yang patut kita soroti saat ini adalah, jikalau nanti betul-betul PBNU sukses manambang, siapakah yang diuntungkan? Elit-elitnya? Nahdliyin? Ataukah pihak lain yang bekerjasama dengan NU, misal korporat lain yang diajak bareng-bareng menambang?

Jika Tambang Sukses, Hasilnya untuk Siapa?

Jika Nahdliyin, yang diduga lebih dari 80 juta jiwa itu menerima manfaat dari hasil tambang itu, maka bersyukurlah hal tersebut bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia, yang notabenenya terbanyak adalah umat Islam. Di antara umat Islam itu, yang terbanyak jelas sekali adalah Nahdliyin. PBNU perlu fokus terhadap pemberdayaan umat dan pendidikan.

Nahdliyin yang masuk dalam angka kemiskinan akut, kiai-kiai kampung yang kurang dijamah, imam-imam mushola dan masjid di desa-desa, para pejuang ranting-ranting, ibu-ibu muslimat yang loyal, anak-anak NU yang putus sekolah, remaja-remaja pelajar dalam IPNU-IPPNU yang pengangguran, anggota banser yang mengandalkan hajatan, dan para aktifis tradisi dan budaya NU, seperti pengurus majelis tahlilan, majelis sholawatan di kampung-kampung yang perlu diperhatikan.

Belum lagi pesantren-pesantren NU yang masih banyak kekurangan fasilitas, sekolah-sekolah di bawah naungan Ma’arif NU, yang, mohon maaf, di desa-desa masih di bawa standar, guru-gurunya honorer akut, guru-guru TPQ yang berafiliasi NU yang betul-betul Ikhlas mencerdaskan embrio-embiro masa depan NU.

Mereka ini, adalah garda terdepan sebagai benteng pertahanan NU dari kehancuran dan gangguan ideologi lain. Pesan saya, nanti jika tambangnya sukses, jangan lupakan mereka ya! Jangan dibuat bancaan, dibagi-bagi di tataran elit, atau jangan juga dibodohi oleh korporasi yang serakah. Jangan sampai di hati mereka berkata, “Di mana PBNU? Tambangnya sukses kok nahdliyin tetap miskin”. Sebaliknya, harusnya mereka berkata, “Alhamdulillah semenjak ada bisnis tambang, PBNU menjadi semakin peduli terhadap Nahdliyin di bawah-bawah, sekolah-sekolah Ma’arif NU sekarang maju”. Itu menjadi harapan yang dibumbungkan kepada elit PBNU sekarang ini.

Jika memang betul-betul serta dalam pencegahan perubahan iklim dengan tetap menjalankan bisnis tambang batu bara, maka seminimalnya, menggunakan hasil dari bisnis itu, harus tepat sasaran dan tepat guna. Pendiri NU, Hadratussyaiikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah berpesan kepada Muslimat NU kala Muslimat menggalang dana untuk disumbangkan ke Tebuireng, agar organisasi ibu-ibu NU itu, menjadi mandiri, berdikari, dan menggunakan ekonomi mapan itu untuk perjuangan pendidikan dan sosial. Sekarang ini, Muslimat NU, faktanya jauh lebih mandiri dan berdikari ekonomi dari pada PBNU-nya sendiri, tanpa punya tambang batu bara.

Menjaga Marwah Organisasi

Satu lagi yang menjadi ciri khas NU, adalah menjaga marwah organisasi. Kiai-Kiai kita telah mewariskan NU untuk dijaga marwahnya, itulah kenapa NU tahun 1984 harus memutuskan keluar dari politik praktis yang kotor dan kumuh, menuju fitrahnya, yaitu keumatan. Dalam sejarahnya, NU selalu menjadi tukang koreksi dan control sosial bagi pemerintah, menjaga jarak dengan pemerintah sebagaimana sewajarnya. Hal itu, dimaksudkan agar NU tidak dikaburkan oleh kekuasaan, sehingga antara yang hak dan yang batil menjadi samar.

Dulu, almaghfurlah KH. Salahuddin Wahid pernah mengkritisi PBNU periode sebelumnya yang meminta jatah Menteri, sebagai tindakan tidak patut. Tapi entah kalau minta jatah tambang, apakah termasuk juga atau tidak? Wallahu a’lam. Semoga para kiai-kiai kita, para pemimpin-pemimpin kita, khusunya pimpinan NU di elit atas, mampu menjaga Amanah. Yang paling ngeri lagi, jika terjadi konflik agraria di tempat pertambangan, antara perusahaan yang dikelola PBNU dan rakyat yang bisa jadi marupakan nahdliyin juga, akan ada potensi konflik PBNU vs Nahdliyin. Tidak ada yang berharap begitu, namun, harus dijalankan dengan secermat mungkin agar tidak ada akibat fatal di kemudian hari. Jayalah NU.

PBNU perlu juga cermat dalam pengelolaannya, agar tidak hanya sekedar ‘wong butuh’ supaya mendayagunaian Sumber Daya Alam tetap dengan hati nurani dan akal sehat.



*Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Jombang.