Sebuah ilustrasi seorang laki-laki yang sedang melakukan rutinitas di kantornya. (sumber: trenasia)

Di sudut ruangan kecil dengan dinding yang mulai menguning, seorang lelaki muda duduk di depan layar komputer. Matanya yang sayu menatap layar, seolah sedang mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan, meskipun sudah berkali-kali ia coba mencarinya. Di luar sana, dunia terus berputar dengan segala kehidupan dan hiruk-pikuknya, sementara ia, yang baru saja berusia dua puluh tahun, terperangkap dalam rutinitas yang begitu membosankan.

Dari balik kaca jendela, ia bisa melihat hujan gerimis yang menetes pelan, seperti perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Ruangan itu, yang seharusnya menjadi tempat kreativitas dan ekspresi diri, malah terasa seperti penjara. Setiap hari ia harus berhadapan dengan klien-klien yang tidak pernah puas, tenggat waktu yang terus mendekat, serta rekan kerja yang sikapnya jauh dari kata mendukung.

Namun, lelaki itu tetap bertahan.

“Ini bukan tentang aku,” pikirnya, “ini tentang apa yang harus aku capai. Ini tentang masa depan.” Ia mengingat kembali mengapa ia memilih jalan ini—desain grafis, dunia yang penuh warna dan imajinasi, meski kenyataannya seringkali terasa kelabu.

Dua tahun yang lalu, ketika ia pertama kali melangkahkan kaki ke perusahaan ini, segala sesuatunya terasa penuh harapan. Ia mengira, bekerja di perusahaan ternama ini akan membawa kesempatan besar untuk berkembang, untuk menambah pengalaman, dan yang lebih penting—untuk memulai langkah menuju impian yang besar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tapi kenyataan lebih rumit dari itu. Hari demi hari, beban pekerjaan semakin berat. Proyek demi proyek datang silih berganti tanpa henti. Tuntutan untuk terus berinovasi tanpa ruang untuk istirahat mulai meremukkan semangatnya yang dulu membara.

Di luar jam kerja, ia sering kali melamun, memikirkan pilihan yang ia buat. Mengapa ia memilih pekerjaan ini? Mengapa ia harus terjebak di tempat ini yang tidak lagi memberinya kebahagiaan? Namun, setiap kali pertanyaan itu datang, ia akan segera disadarkan oleh kenyataan yang lebih keras: biaya hidup yang terus meningkat, orang tua yang mengandalkan pendapatannya, dan janji yang belum bisa ia tepati. Di dalam dirinya, ada sebuah suara yang mengingatkan bahwa meskipun dunia di sekelilingnya terasa gelap, ada tujuan yang harus ia raih.

“Lanjutkan,” ia berkata pada dirinya sendiri, “Tahan sedikit lagi. Ini hanya sementara.”

Hidup di dalam lingkungan yang toxic tidaklah mudah. Setiap hari ia harus berhadapan dengan rekan-rekan yang lebih memilih menyindir daripada bekerja sama. Kritikan tajam datang tanpa ampun, bukan dari sudut pandang konstruktif, tetapi dari kebencian yang terpendam. Namun, lelaki itu berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan, menahan diri agar tidak terjerumus dalam lingkaran negativitas.

Suatu sore yang cerah, ketika matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi, lelaki itu duduk di meja kerjanya, mengetik dengan cepat sambil menatap layar yang penuh dengan berbagai elemen desain. Proyek terbaru yang tengah dikerjakannya adalah sebuah desain untuk kampanye iklan perusahaan besar. Waktu semakin sempit, dan ia merasa tenggelam dalam kebingungannya.

“Kenapa ini begitu sulit?” gumamnya pada dirinya sendiri.

Konsentrasi lelaki itu mulai terganggu oleh suara-suara di sekitarnya. Ada percakapan yang tidak jelas antara dua rekan kerja di meja sebelah. Suara ketukan papan ketik yang keras, telepon yang berdering, dan cuaca yang semakin memburuk membuat suasana semakin mencekam.

Ia berhenti sejenak, menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Beberapa menit berlalu, namun ia tidak bisa menemukan jawabannya. Keinginan untuk mengakhiri pekerjaan ini, untuk berlari jauh dari tempat ini, begitu menguat. Namun, sekali lagi, suara hatinya menuntunnya untuk bertahan.

“Aku harus sabar,” ia meyakinkan dirinya. “Ini bukan tentang saat ini, ini tentang masa depan yang aku impikan.”

Lelaki itu tahu, untuk bisa mencapai impian besarnya—menjadi seorang desainer yang dikenal di seluruh dunia—ia harus melalui jalan ini terlebih dahulu. Semua penderitaan ini, meskipun berat, adalah bagian dari proses. Ia mengingat kata-kata seorang mentornya yang pernah ia dengar beberapa waktu lalu, “Semua orang yang sukses, mereka pernah berada di tempat yang sama. Kuncinya adalah bertahan, karena kesabaran adalah jalan menuju keberhasilan.”

Dengan perasaan yang campur aduk, lelaki itu melanjutkan pekerjaannya. Setiap desain yang ia buat, meskipun ia tak merasa puas dengan hasilnya, ia usahakan sebaik mungkin. Ia mulai menyadari, meskipun lingkungan ini penuh dengan tantangan dan rasa frustasi, ia tetap bisa menemukan secercah kebahagiaan kecil di tengahnya. Kebahagiaan itu datang dari rasa pencapaian ketika berhasil menyelesaikan sebuah proyek, meskipun hanya untuk memenuhi harapan orang lain.

****

Hari demi hari berlalu. Lelaki itu mulai merasa bahwa dirinya telah berubah. Ia menjadi lebih sabar, lebih tenang dalam menghadapi segala rintangan yang datang. Ia mulai lebih memikirkan proses daripada hasil akhir, belajar untuk menerima bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan penuh ketulusan akan selalu memberikan manfaat—meskipun tidak selalu sesuai dengan harapan.

Suatu hari, saat ia sedang duduk di meja kerjanya dengan tatapan kosong, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Seorang manajer senior masuk, membawa sebuah map berisi dokumen penting. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan kelelahan yang dalam.

“Ada apa?” tanya lelaki itu, mencoba untuk tetap profesional meski hatinya merasa lelah.

“Ini revisi desain terakhir kamu. Klien meminta perubahan kecil. Tapi selain itu, mereka sangat senang dengan pekerjaanmu. Mereka ingin kamu terlibat lebih banyak dalam proyek-proyek mendatang,” jawab sang manajer dengan nada yang lebih ramah.

Lelaki itu terdiam sejenak. Apa yang baru saja ia dengar terasa seperti sebuah hadiah yang tak terduga. Klien senang dengan karyanya, dan itu adalah kemenangan kecil baginya. Ia merasa ada secercah cahaya yang mulai muncul di ujung terowongan gelap yang selama ini ia jalani.

Beberapa minggu kemudian, lelaki itu akhirnya menyadari bahwa meskipun lingkungan kerjanya penuh dengan tantangan, setiap tantangan itu mengajarkannya sesuatu yang berharga. Ketika ia melihat kembali pada langkah-langkah yang telah ia tempuh, ia menyadari bahwa keputusan untuk bertahan bukanlah keputusan yang salah. Setiap langkah, meskipun terasa berat, adalah bagian dari perjalanan menuju impian besar yang ia idamkan.

Ia mulai mengerti, bahwa terkadang dalam hidup, kita harus tetap bertahan, meski semua yang kita rasakan adalah rasa lelah dan bosan. Kita bertahan, bukan karena kita tak punya pilihan, tetapi karena kita tahu apa yang ada di depan kita—sebuah impian yang akan membuat semua perjuangan ini terasa berarti.

Lelaki itu tersenyum tipis pada dirinya sendiri, menatap layar komputer yang kini terasa sedikit lebih ramah. “Aku akan terus bertahan,” katanya dalam hati, “karena aku tahu, perjalanan ini akan membawa aku ke tempat yang lebih baik.”



Penulis: Albii