sebuah ilustrasi (ustadz.id)

Oleh: Rasyida Rifa’ati Husna*

Dalam QS. al-Baqarah ayat 217 diterangkan bahwa Allah telah menjadikan bulan-bulan haram sebagai waktu khusus untuk kedamaian dan keamanan bagi umat khususnya di masa Rasulullah dahulu dengan larangan berperang dan menumpahkan darah. Namun demikian, apabila kaum musyrikin terlebih dahulu memerangi, maka umat Islam diperbolehkan untuk membalas dan memerangi mereka meski pada bulan haram. Hal itu sebagaimana termaktub dalam firmanNya:

اَلشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمٰتُ قِصَاصٌۗ فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Artinya: “Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qisas. Oleh sebab itu barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 194)

Kronologi Turunnya Ayat

Ulama berselisih pendapat tentang sebab turunnya ayat ini, sebagaimana Ibnu Abi Hatim (1/329) dan al-Syaukani (1/748) menukil riwayat Ibnu Abbas, mengatakan ayat ini dan yang senada dengan ini diturunkan di Makkah. Dimana saat itu kaum muslimin masih sedikit, belum mempunyai kekuatan yang cukup untuk menghadapi kaum musyrikin, sementara mereka diperlakukan dengan penghinaan dan siksaan, maka Allah memerintahkan kaum muslimin yang dianiaya agar melakukan pembalasan sebagaimana penganiayaan yang ditimpakan kepada mereka, atau bersabar dan memaafkan.

Pendapat yang lain, diriwayatkan Mujahid ayat ini diturunkan di Madinah, dimana kekuatan mereka telah dikukuhkan, sehingga Allah memerintahkan kaum muslimin agar menghentikan kezaliman musyrikin terhadap mereka, maksudnya kebolehan membalas peperangan untuk mempertahankan diri dan agar tidak lagi mereka menyerang seperti orang-orang jahiliyah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tafsir at-Thabari (3/323-324) menyebutkan bahwa penakwilan yang paling tepat adalah dari Mujahid sebab perintah perang tidak diwajibkan ketika di Mekkah namun Allah mewajibkannya seusai hijrah. Yaitu pada saat Rasulullah dan para sahabat melaksanakan umrah qadha pada Zulkaidah 7 H.

Hal itu bermula ketika setahun sebelumnya Rasulullah dan umat Islam berangkat untuk melaksanakan umrah, namun saat beliau tiba di Hudaibiyah pada bulan Zulkaidah (bulan yang dihormati, dilarang berperang) kaum kafir Quraisy menghalangi dan memalingkan beliau dari Kakbah, sehingga beliau pun kembali lagi ke Madinah, akan tetapi Allah menjanjikan kepada Rasul, bahwa beliau akan memasukinya. Kaum muslimin kemudian dapat memasuki Makkah pada 7 H, dan beliau pun mengqadha ibadahnya. Maka turunlah ayat ini.

Baca Juga: Peristiwa Penting pada Bulan Muharram

Al-Qurthubi (2/804), menerangkan dari riwayat  al-Hasan bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Nabi saw: “Wahai Muhammad apakah engkau dilarang berperang pada bulan Haram?” Beliau menjawab, “Ya.” Maka mereka pun hendak memerangi beliau sehingga turunlah ayat ini. Sehingga makna dari ayat ini adalah, jika orang-orang musyrik menghalalkan peperangan pada bulan haram, Allah memperbolehkan umat Islam untuk memerangi mereka, hal itu disebutkan sebagai pembalasan bukan kezaliman.

Hukum Qishash:  Kebolehan membalas penyerangan di Bulan Haram

Firman Allah, “Fa mani‘tadā ‘alaikum fa‘tadū ‘alaihi bimitsli ma‘tadā ‘alaikum. (Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu)”  Redaksi ini sebagai penegasan dari awal ayat yaitu: “Asy-syahrul-ḫarāmu bisy-syahril-ḫarāmi wal-ḫurumātu qishās. (Bulan haram dengan bulan haram dan (terhadap) sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qishash)”

Allah menegaskan berlakunya hukum qishash, bahwa sesuatu yang wajib dimuliakan (baik bulan haram maupun tanah haram) dibalas dengan setimpal ketika dirusak kemuliannya, dalam artian sebagaimana kaum musyrik memerangi umat Islam pada waktu itu, maka hendaknya umat Islam membalasnya dengan melakukan perlawanan untuk mempertahankan diri tanpa takut akan kehormatan bulan haram dan tanah haram yang tercoreng. (Tafsir Hasyiyah as-Shawi 1/118)

Sebab sebagaimana Wahbah al-Zuhaili (1/420-421) menjelaskan ayat ini bahwa tidak ada dosanya bagi muslimin berperang pada bulan-bulan ini demi membela agama, dan membuat jera orang-orang yang mencoba menyelewengkan dari agama serta melanggar perjanjian. Dan karena mempertahankan nyawa dan membela agama Allah adalah wajib hukumnya dan tidak ada dosanya meskipun mereka sedang berada di Makkah, atau sedang ihram, atau pada bulan haram.

Berdasarkan hal ini, pelanggaran al-hurumaat menjadi suatu keniscayaan dalam syariat, akal, dan kebiaasan. Melakukan peperangan untuk mempertahankan diri meskipun melanggar kemuliaan al-hurumaat (bulan haram, tanah Haram, dan kemuliaan ihram) hukumnya boleh. Akan tetapi balasan penyerangan itu tetap harus terikat dengan prinsip-prinsip keutamaan, takwa, peradaban, dan kemanusiaan.

Sebagaimana di akhir ayat, “Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” Maksudnya takwa menurut al-Bantani (1/45) dan al-Zuhaili (1/422) ialah dengan tidak memulai peperangan dan tidak berbuat aniaya, juga dengan mengikuti batas-batas keadilan dan menegakkan kebenaran, dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Karena Allah akan menolong orang-orang yang bertakwa. Dia menolong mereka atas musuh, memberi kemenangan kepada mereka, mengukuhkan mereka di bumi, demi menegakkan agama Allah.Wallah a’lam.



*Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al Murtadlo.