ilustrasi: sebuah surat tertulis. (kompasiana.com)

Setiap dari kita adalah khalifah atau pemimpin bagi diri kita sendiri. Pemimpin yang bisa menentukan ke arah mana saja kita akan melangkah, ke mana saja kita singgah, dan ke mana saja kita bertambat atau istirahat. Tak terkecuali akan mengendalikan diri atau tidaknya kita selama hidup di dunia. Adalah kita, manusia yang di berikan Rahmat dan Inayah Allah, hingga pada detik ini masih di berikan nikmatnya menghirup udara segar kebebasan tanpa penjajahan, kebebasan meluapkan pendapat, kebebasan berekspresi dan lain sebagainya.

Menelisik ke belakang, pada bulan Agustus puluhan tahun silam, masih ada banyak jiwa terancam, banyak harta di hempaskan dan banyak nyawa tak berdosa yang melayang. Pada bulan Agustus puluhan tahun silam juga terjadi gebrakan hebat antara golongan muda dan golongan tua yang terjadi karena selisih pendapat. Kini, jiwa yang hebat dan lapang itu telah kita kenang dengan nama pahlawan.

Jika melebarkan pengertian tentang pahlawan, maka sosok yang pandai merawat iman atau memimpin umat kala itu, salah satunya adalah para ulama. Ulama atau pewaris para nabi nyatanya sangat kita rasakan partisipasi dan juga andilnya sebagai masyarakat dan sekaligus rakyat yang bisa diandalkan dan memimpin pelbagai tindakan kala itu.

KH. M. Hasyim Asy’ari adalah nama yang selalu terngiang di hati dan jiwa kita, betapa gagah dan alimnya beliau, dalamnya pengetahuan dan taktik perang, kesabaran dan juga ketawadhuan yang sangat mendalam. Telah jutaan rindu kita bungkus sejak lama untuk bisa bertemu dalam canda dan tawa yang sejuk, kita harus mengusahakan hadiah bacaan Al-Fatihah dan doa terkhusus bagi para pahlawan dan juga ulama yang sudah memperjuangkan Indonesia layaknya memperjuangkan jiwa raga sendiri. Selain melebarkan ilmu agama, bahkan banyak penjajah yang segan kepada Mbah Hasyim dikarenakan ilmunya yang mumpuni dan kebaikannya tidak bisa dilihat hanya dengan cara biasa.

Menelaah kembali tentang makna merdeka atau bebas, mencintai negara atau tanah air bukan hanya sebagai simbol nasionalis, melainkan berkaitan dengan keagamaan. Syaikhona Maimun Zubair pernah menjelaskan bahwasanya jika sebagian dari kita menganggap jiwa nasionalisme dan agama tidak bisa bersatu , maka kiranya kurang tepat. Jiwa nasionalisme bisa kita pupuk dengan selalu mengenang jasa pahlawan, mengunjungi museum sebagai sarana bertafakur, mengingat kebaikan dan usaha para pahlawan, dan tak lupa menanamkan jiwa berani berjuang dengan membela tanah air dengan segenap jiwa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Adapun jiwa keagamaan kita pupuk dengan rajin beribadah, rajin berdoa dan mendekat kepada orang yang alim dan Soleh. Lalu di mana letak perbedaan bahwasanya jiwa nasionalisme tidak bisa beriringan dengan jiwa keagamaan, sebagai bukti bahwa Pancasila pada sila pertama berbunyi ketuhanan yang maha Esa, kita bebas mengartikan esa menurut keyakinan masing-masing, lalu jika kita sandingkan dengan jiwa keagamaan, konon katanya sila pertama tersebut diadaptasi dari salah satu surat dalam Al-Qur’an , yakni Al Ikhlas ayat pertama yang berbunyi Qul HuwaAllahu Ahad, katakanlah bahwa Allah itu Esa.

Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa yang mencintai Indonesia, kita di tuntut untuk membunyikan lonceng kemerdekaan dalam hati kita masing-masing, hati yang lapang, jiwa yang tenang, dan nyaman.

Semoga dengan adanya peringatan kemerdekaan ini, semakin membuka peluang dan mata kita akan adanya darah yang mengucur deras dari para pahlawan, para ulama yang berjuang menentukan taktik dan juga menata keindahan pesantrennya, para santri yang juga giat bersama kitab dan perjuangannya. Hubbul Wathon minal Iman, itulah semboyan yang biasa kita dengar dari lirik lagu yalal Wathon, hubbul wathon minal iman atau berarti cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Semoga kita semakin mencapai tahap baik dari keimanan itu sendiri, semakin merangkak naik derajat Indonesia di kancah internasional, semakin membuat kita sadar bahwasanya usaha yang kita lakukan akan menentukan seberapa keberhasilan kita di kemudian hari, mari kita bakar semangat nasionalisme yang menyatu dengan jiwa keagamaan ini dengan merenungi makna syiir yalal Wathon dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, semoga kita selalu ingat dan bangga akan pencapaian negara tercinta ini, akhiran mari kita kirim doa untuk para pejuang dan ulama yang telah memperjuangkan kemerdekaan, amiiin.



Penulis: Rokhimatus Sholekhah

*Santriwati Pondok Pesantren Alhusna Payaman Secang Magelang.