Ilustrasi kisah Gunung Jati dan Cinta Putri Ong Tien.

Di tengah riuhnya gelombang laut, sebuah kapal besar dari negeri Tiongkok berlayar menuju Tanah Jawa. Kapal itu membawa seorang putri bangsawan bernama Ong Tien, putri dari Kaisar Tiongkok. Dengan gaun sutra berwarna giok dan hiasan rambut dari emas, ia berdiri di haluan kapal, menatap cakrawala dengan hati penuh harapan.

Sejak kecil, Ong Tien mendengar kisah tentang seorang pemimpin agung di Jawa, seorang wali Allah yang bijaksana dan dihormati oleh rakyatnya **Sunan Gunung Jati**. Setiap pedagang yang datang ke Tiongkok selalu menceritakan keadilannya, kebijaksanaannya, dan kemampuannya menyembuhkan orang sakit. Kisah-kisah itu begitu memesona hingga tanpa sadar, hatinya terpaut pada lelaki yang bahkan belum pernah ia temui. 

“Putri, sebentar lagi kita akan sampai di pelabuhan Cirebon,” kata seorang pelayan dengan hormat. 

Putri Ong Tien menarik napas dalam. Perjalanan jauh ini bukan sekadar perjalanan biasa—ini adalah perjalanan hatinya, sebuah pencarian yang akan menentukan takdir hidupnya. 

Pertemuan dengan Sang Wali

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sesampainya di pelabuhan, rakyat Cirebon terkejut melihat kapal megah dari Tiongkok bersandar. Dari dalam kapal, keluarlah Putri Ong Tien, diiringi beberapa pengawal dan pelayan yang membawa peti-peti berisi sutra, keramik, dan rempah-rempah sebagai hadiah. 

Kabar kedatangan Putri Ong Tien segera sampai ke telinga Sunan Gunung Jati. Dengan tenang, beliau menyambutnya di Keraton Pakungwati, istana megah di tengah Cirebon. Saat pertama kali bertemu, Putri Ong Tien tertegun. Lelaki di hadapannya bukan hanya memiliki wibawa seorang raja, tetapi juga pancaran cahaya kebijaksanaan yang membuat hatinya semakin yakin. 

“Apa yang membawa putri jauh-jauh dari negeri Tiongkok ke tanah Jawa?” tanya Sunan Gunung Jati dengan suara lembut. 

Putri Ong Tien menundukkan kepala dengan hormat. “Aku telah lama mendengar tentang kebijaksanaan dan kebaikanmu, Kanjeng Sunan. Hatiku terpanggil untuk mengenal lebih jauh ajaran yang engkau sebarkan, dan jika engkau berkenan, aku ingin menjadi bagian dari kehidupanmu.” 

Sunan Gunung Jati tersenyum. Ia melihat ketulusan dalam tatapan mata putri itu. Namun, sebagai seorang pemimpin dan ulama, ia tidak bisa begitu saja menerima perasaan seseorang tanpa memastikan niat yang benar. 

“Putri, mengenal ajaran ini bukanlah sekadar mengikuti seseorang, tetapi memahami dan mengamalkan dengan hati. Jika kau sungguh-sungguh, belajarlah terlebih dahulu tentang Islam, dan biarkan hatimu yang memutuskan.” 

Maka dimulailah perjalanan baru Putri Ong Tien. Setiap hari, ia belajar dari para ulama di Cirebon, memahami makna tauhid, keikhlasan, dan kasih sayang dalam Islam. 

Ujian Keikhlasan

Hari-hari berlalu, dan Putri Ong Tien semakin mantap dengan keyakinannya. Ia memutuskan untuk memeluk Islam dengan nama Syarifah Ong Tien. Keinginannya untuk menikah dengan Sunan Gunung Jati bukan lagi sekadar karena kekaguman, tetapi karena keyakinan bahwa bersama Sunan, ia bisa berjuang dalam kebaikan. 

Namun, perjalanan cinta mereka tidaklah mudah. Beberapa petinggi di Kesultanan Cirebon menentang pernikahan ini.

“Bagaimana mungkin seorang putri dari negeri yang berbeda, dengan adat dan budaya asing, bisa menjadi bagian dari kesultanan ini?” kata salah seorang penasihat kerajaan. 

Sunan Gunung Jati hanya tersenyum. “Allah melihat hati, bukan asal-usul seseorang. Jika ia telah memilih Islam dengan tulus, siapa kita untuk menghalanginya?” 

Meskipun ada penolakan, Putri Ong Tien tetap sabar dan tidak menunjukkan kesedihan. Ia justru semakin menunjukkan baktinya dengan membantu rakyat Cirebon, mengajarkan seni dan budaya Tiongkok yang bisa dikombinasikan dengan budaya lokal. Sedikit demi sedikit, kehadirannya diterima oleh masyarakat. 

Pernikahan yang Menyatukan Dua Budaya

Akhirnya, setelah melewati berbagai ujian, Sunan Gunung Jati menikahi Putri Ong Tien dalam sebuah upacara sederhana namun penuh berkah. Pernikahan mereka bukan hanya menyatukan dua hati, tetapi juga dua budaya besar Tiongkok dan Nusantara.

Setelah pernikahan, Putri Ong Tien tidak sekadar menjadi istri Sunan Gunung Jati, tetapi juga seorang ibu bagi rakyat Cirebon. Ia mendirikan berbagai tempat pendidikan, memperkenalkan seni keramik Tiongkok, dan membantu dalam diplomasi dengan negeri-negeri lain. 

Bersama Sunan Gunung Jati, ia menjalani kehidupan penuh keberkahan. Namun, takdir berkata lain. Beberapa tahun setelah pernikahan mereka, Putri Ong Tien jatuh sakit. Meskipun berbagai tabib telah berusaha menyembuhkannya, kesehatannya semakin memburuk. 

Di saat-saat terakhirnya, ia memegang tangan Sunan Gunung Jati dan berbisik, “Terima kasih telah membimbingku dalam cahaya Islam. Aku tak pernah menyesali perjalanan ini.” 

Dengan air mata yang ditahan, Sunan Gunung Jati mengucapkan doa untuknya. Putri Ong Tien berpulang dengan tenang, meninggalkan jejak kasih yang mendalam di hati rakyat Cirebon. 

Jejak Abadi

Hingga kini, kisah Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien masih dikenang. Banyak peninggalan budaya di Cirebon yang mencerminkan perpaduan budaya Tiongkok dan Islam, sebagai bukti bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk bersatu dalam cinta dan kebaikan. 

Di Kompleks Makam Sunan Gunung Jati, terdapat satu bagian khusus yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Putri Ong Tien. Rakyat Cirebon terus mengenangnya sebagai seorang perempuan yang telah mengorbankan segalanya demi keyakinan dan cinta yang sejati. 

Kisah ini mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang memberi, berjuang, dan menerima takdir dengan penuh keikhlasan.

Lahumal Faatihah. Selesai.



Penulis: Achmad Muzayyin, Pengajar Pendidikan Diniyah Sekolah Dasar di Jombang dan anggota GP Ansor Jombang.