Wakil Dekan FAI Unhasy, Dr. Fathur Rohman ungkap strategi kepemimpinan ala KH. Hasyim Asy’ari dalam seminar nasional di Unwahas Jombang. (sumber: unwahastv)

Tebuireng.online— Dr. Fathur Rohman, Wakil Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy), hadir menyampaikan materinya pada acara seminar kerjasama 3 Perguruan Tinggi nama Tokoh NU dengan tema “Islam Nusantara dan Regenerasi Kepemimpinan Nasional Menyongsong Indonesia Emas”.

Di awal, Wadek FAI Unhasy ini membahas perkembangan, serta menurunnya nilai-nilai kepemimpinan pemangku kebijakan di negeri kita, dari masalah tersebut menurut beliau kita dapat melihat dan meneladani apa yang pernah dilakukan Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari yang utama adalah tentang Islam Nusantara.

Dikaji dalam kitab risalah Ahlussunnah wal Jamaah, bab awal Islam Nusantara sendiri telah dengan dipetakan. “Manhaj mereka pun dijelaskan, ada yang identik semisal seperti wahabi, juga toriqoh yang sedang nyebar saat itu. Seperti tasawufnya imam ghozali,  tasawufnya Syaikh Abu Hasan Asy Syadzili yang disebut dalam kitab itu,” ujarnya, Jumat (12/7/2024) di aula gedung Dekan Unwahas Semarang.

Kemudian Fathur juga menerangkan strategi kepemimpinan Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari yang harus kita fahami, agar dapat menjadi manusia yang mampu merubah peradaban serta mempertahankan kedaulatan.

Baca Juga: 3 Perguruan Tinggi dengan Nama Tokoh NU Bersatu, Ada Rencana Besar Diusung

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Membawa maslahah yang besar tidak harus menjadi pemimpin dulu, presiden dulu, gubernur dulu atau menjadi rektor dulu,” jelasnya.

Kaprodi program studi Pendidikan Bahasa Arab Unhasy ini juga menerangkan lebih jauh bahwa Hadratusyaikh dari tempat yang kecil beliau tetap bisa menjadi sosok yang berdaulat, serta tetap dapat menjadi pribadi yang menginspirasi, mengembangkan dan bisa menunjukkan kepada Nusantara saat itu, bahkan kedunia bahwa Hadratusyaikh seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas yang sangat baik.

Mengutip dari tulisan karya Kuncoro, Fatkhur menyebutkan bahwa pemimpin itu harus memiliki sikap mengantisipasi, memberi inspirasi, mempertahankan fleksibilitas, dan juga memperdayakan orang lain untuk menciptakan strategi yang diinginkan.

“Akan kita pelajari bagaimana strategi beliau sehingga beliau bisa menjadi orang besar, dan melahirkan orang orang besar yang bisa membangun negeri ini membawa mashalah yang besar terhadap negeri tercinta ini!,” serunya.

Strategi kepemimpinan Hadratusyaikh sendiri dapat di bagi menjadi 3, yang pertama Hadratusyaikh mengawali dengan membangun generasi, dengan cara mendirikan dan memimpin pondok pesantren dan kemudian mendirikan serta memimpin madrasah Salafiyah Syafi’iyah.

Bahwa ketika beliau membangun pondok pesantren, jarak antara pondok dengan pusat markas belanda itu sekitar 200 meter. “Beliau itu berhadap hadapan, beliau melihat warga rusak bekerja dengan belanda namun setelah pulang uang habis, karena dahulu disediakan pelacur,  dan kalau mereka tidak punya dahulu bisa pinjam uang,” jelasnya.

Pada saat itu Hadratusyaikh tidak memulai dengan kowar-kowar kemana-mana. “Mungkin beliau saat itu belum dikenal luas sebagai tokoh nasional. Makanya beliau membangun suatu pesantren yang dengan awal murid hanya 8,” tambahnya

Apa yang di lakukan masyarakat saat itu merupakan pelanggaran syariat agama Islam yang luar biasa. Maka yang ingin beliau hadirkan adalah masyarakat memiliki kedaulatan penuh dalam menjalankan agama islam. Mengutip tulisan Prof. Jimly Asshiddqie yang menerangkan bahwa kedaulatan di Indonesia ditulis menjadi 5, yakni yang pertama sila kedaulatan ketuhanan, kedua kedaulatan pemerintah, ketiga kedaulatan tentang negara, kedaulatan keempat adalah rakyat dan terakhir adalah kedaulatan hukum.

“Nah beliau ingin memulai dengan kedaulatan tuhan, masyarakat bebas memeluk ajaran agama, Islam dalam lingkup kecil namanya pesantren. Nah beliau lakukan itu di tengah gempuran tantangan penjajahan intervensi yang luar biasa,” kata Fathur.

Setelah masyarakat di bina pengajian dan seterusnya, tetapi keadilan tentang rakyat ini belum didapat, karena yang dapat merasakan pendidikan formal hanya kelas pria, sehingga diperlukan kedaulatan keadilan untuk melahirkan generasi unggul yang mampu mengisi kemerdekaan, menyiapkan orang-orang yang dapat mengisi kemerdekaan sehingga tidak di intervensi bangsa lain atau bahkan di jajah. Oleh karena itu didirikanlah sekolah formal madrasah Salafiyah. Tidak hanya didirikan untuk belajar ilmu agama saja, namun juga ilmu berhitung, sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Baca Juga: Luar Biasa! Tiga Universitas Ini Buat Terobosan Baru, Apa Saja?

Selanjutnya strategi untuk memperjuangkan kemerdekaan adalah beliau menjadi Rois akbar organisasi NU, ketua Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan terakhir adalah menjadi ketua Jawatan Agama Shumubu(Kementerian Agama). Karena ini merupakan strategi beliau menerima tawaran itu, walaupun akhirnya diserahkan pada anaknya kiai Wahid untuk  berkiprah menggerakkan, memobilisasi konsolidasi untuk menyiapkan kemerdekaan.

Lebih lanjut, Fathur Rohman menjelaskan setelah kemerdekaan telah di dapatkan, Hadratusyaikh mengeluarkan fatwa resolusi jihad pada 22 Oktober 1945, dan menjadi ketua Majelis Pertimbangan Masyumi.



Pewarta: Ilvi Mariana