
Oleh: Moehammad Nurjani*
Akademisi seringkali memberikan pendapat atau gagasan dalam menyelesaikan beberapa polemik yang terjadi. Gagasan itu mereka berikan setelah melakukan penelitian secara mendalam. Tak bisa dipungkiri bahwa seringkali gagasan yang mereka usung ditolak oleh akademisi lain.
Para ulama fikih dalam merumuskan hukum tersebut tidak serta-merta diterima langsung oleh ulama lain. Terkadang mereka sependapat dan terkadang kurang setuju dengan yang lain. Hal ini dikarenakan dalil ataupun proses dalam memahami dalil mereka berbeda cara. Selain itu, mereka juga saling memberikan tanggapan mengenai rumusan yang diajukan oleh ulama lain.
Para ulama memberikan tata cara yang benar dalam memberikan tanggapan mengenai rumusan ulama lain, atau biasa disebut dengan debat. Kata kuncinya adalah melemahkan dalil atau alasan yang disampaikan oleh pihak lawan debat. Semisal hendak mencari hukum kesunahan taslist (melakukan sebanyak tiga kali) pada pengucapan kepala (مسح بعض الرأس) dalam wudhu.
Pihak pertama berpendapat bahwa taslist dalam pengusapan kepala hukumnya sunnah karena disamakan dengan membasuh wajah bahwa keduanya termasuk rukun wudhu. Pihak kedua tidak sepakat. Mereka memberikan alasan lain yang melemahkan hukum sebelumnya. Bahwasanya, pengusapan kepala itu memiliki alasan (illat) yang sama dengan pengusapan khuf, yakni berupa mashu (pengusapan). Oleh karenanya, tatslits dalam pengusapan kepala tidak disunahkan.
Contoh lain ketika mencari hukum melaksanakan shalat witir. Pihak pertama mengatakan bahwa mengerjakan witir hukumnya wajib karena hal itu sering dilakukan oleh Nabi. Pihak lain tidak setuju. Mereka mengatakan bahwa shalat witir termasuk salat yang waktu pengerjaannya bergantung dengan waktu salat fardhu. Sehingga hukumnya bukan wajib lagi, melainkan sunnah, seperti shalat qabliyah subuh.
Kedua contoh di atas sesuai dengan kaidah debat yang benar karena pihak kedua melemahkan hukum yang diberikan oleh pihak pertama dengan cara memberikan alasan yang berbeda dan hukum yang dimunculkan oleh pihak pertama dan kedua tidak bisa dijadikan satu. Di pembahasan pertama, pihak pertama menyunahkan tatslits dalam pengusapan kepala, sedangkan pihak kedua tidak menyunahkan.
Kedua hukum ini tidak bisa dijadikan satu karena tidak bisa satu pekerjaan dihukumi sunnah dan tidak sunah secara bersamaan. Kemudian, dalam pembahasan kedua, pihak pertama mengatakan bahwa shalat witir hukumnya wajib. Sedangkan pihak kedua mengatakan sunnah. Antara hukum wajib dan sunah tidak bisa digunakan bersamaan dalam satu objek. Sehingga ketika menghukumi sunnah niscaya meniadakan hukum wajib dalam pekerjaan tersebut.
Berbeda halnya ketika hukum yang diberikan oleh pihak kedua tidak meniadakan atau tidak melemahkan hukum pertama. Semisal hendak mencari konsekuensi ketika melakukan sumpah palsu. Pihak pertama mengatakan bahwa sumpah palsu adalah ucapan yang pelakunya divonis mendapat dosa sehingga tidak wajib kafarat, seperti saksi palsu.
Hal ini tidak disetujui oleh pihak kedua. Mereka mengatakan bahwa sumpah palsu merupakan ucapan yang memperkuat kebatilan atau kesalahan yang diduga itu benar sehingga hukumnya wajib ta’zir, seperti saksi palsu. Cara debat seperti ini tidak bisa dibenarkan. Karena pihak kedua tidak melemahkan hukum yang diberikan oleh pihak pertama. Hukum tidak wajib kafarat dan hukum wajib ta’zir masih bisa dikumpulkan. Sehingga pihak kedua di sini hanya mencetuskan hukum baru, tidak meniadakan hukum pertama.
Oleh karenanya, tata cara debat yang benar, seperti yang dikemukakan oleh para ulama, adalah dengan melemahkan atau meniadakan hukum dari pihak lain, bukan mencetuskan hukum baru. Apabila sudah terjadi demikian, tugas dari pihak pertama adalah memberikan dalil penguat bahwa alasan atau hukum yang mereka cetuskan itu memang benar sehingga sangkalan dari pihak kedua tertolak.
Tugas ini juga berlaku bagi pihak kedua. Sehingga kedua belah pihak memang saling adu argumen dengan didasari dalil sebagai penguatnya. Ketika salah satu dari kedua pihak tersebut tidak bisa menjawab atau tidak mampu menguatkan pendapatnya, maka debat mereka selesai, dan hukum yang dicetuskan pihak lawan harus diterima.
Baca Juga: Musyawarah Kitab, Bukan Hanya Soal Berdebat
*Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo.