Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan besar: memilih pasangan hidup, menentukan karir, atau bahkan memutuskan langkah penting dalam pendidikan. Tidak jarang kita merasa bimbang, ragu, atau takut membuat keputusan yang salah. Dalam Islam, ada satu solusi yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ  untuk menghadapi kebimbangan ini, yaitu shalat istikharah.

Namun, banyak orang yang salah kaprah tentang istikharah, menganggapnya sebagai “ramalan” yang harus menghasilkan mimpi atau pertanda tertentu. Padahal, istikharah adalah ikhtiar spiritual yang menyeimbangkan antara usaha dan tawakal, serta mengajarkan kita bagaimana menggabungkan akal sehat dengan ketundukan kepada Allah.

Dalil dan Keutamaan Shalat Istikharah

Shalat istikharah adalah ibadah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

Artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian berniat dalam suatu urusan, maka hendaklah ia shalat dua rakaat (shalat sunnah) selain shalat wajib, kemudian berdoa: Ya Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan aku memohon ketentuan-Mu dengan kekuasaan-Mu, serta aku memohon karunia-Mu yang besar… Jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku, maka takdirkanlah ia untukku dan mudahkanlah ia bagiku, lalu berkahilah aku di dalamnya…” (HR. Bukhari, no. 1162).

Dari hadis ini, kita bisa melihat bahwa shalat istikharah bukan sekadar mencari petunjuk dalam bentuk mimpi, melainkan bentuk kepasrahan kepada Allah setelah mempertimbangkan segala aspek dengan akal sehat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sudut Pandang Ulama: Akal dan Tawakal dalam Istikharah

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Istikharah bukan berarti menghilangkan peran akal dalam mengambil keputusan. Justru, istikharah adalah cara untuk menguatkan keputusan dengan keyakinan penuh kepada Allah setelah kita melakukan pertimbangan secara rasional.

Hal ini juga diperjelas oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain, yang mengatakan bahwa setelah istikharah, seseorang hendaknya menunggu yastakhiru qalbahu—menunggu bagaimana hatinya condong setelah berusaha memahami situasi. Jika hatinya lebih tenang terhadap satu pilihan, maka itulah tanda yang diberikan oleh Allah.

Bahkan dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani menegaskan bahwa istikharah tidak harus diikuti dengan mimpi atau firasat gaib. Tanda istikharah lebih sering muncul dalam bentuk kemudahan dalam melangkah, ketenangan hati, atau sebaliknya, hambatan yang membuat kita berpikir ulang.

Istikharah dalam Perspektif Psikologi: Membantu Mengurangi Overthinking

Menariknya, konsep Istikharah ini juga selaras dengan teori psikologi modern. Sebuah studi oleh Tversky dan Kahneman (1981), berjudul  “The Framing of Decisions and the Psychology of Choice”, menunjukkan bahwa manusia sering kali mengalami decision paralysis—kebingungan dalam mengambil keputusan akibat terlalu banyak mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak relevan.

Shalat istikharah, dalam hal ini, berperan sebagai “mental reset” yang membantu seseorang fokus pada hal yang benar-benar penting. Dengan melakukan shalat dan berdoa, seseorang secara tidak sadar melatih self-reflection dan mindfulness, yang dalam psikologi dikenal dapat mengurangi stres dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, sebagaimana dikemukakan Kross et al. (2014) dalam “Self-distancing Improves Decision Making”.

Kesalahpahaman tentang Istikharah

Banyak orang menganggap istikharah harus selalu memberikan “jawaban” dalam bentuk mimpi atau firasat gaib. Padahal, Rasulullah ﷺ tidak pernah menyebutkan bahwa hasil istikharah harus muncul dalam mimpi.

Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutkan bahwa hasil Istikharah bisa datang dalam bentuk perasaan hati yang lebih mantap, kemudahan dalam suatu urusan, atau bahkan hambatan yang menyulitkan seseorang melanjutkan suatu pilihan.

Contohnya, jika seseorang melakukan Istikharah untuk memilih pekerjaan, lalu satu tawaran kerja tiba-tiba batal sementara yang lain terasa lebih mudah dijalani, maka bisa jadi itulah jawaban dari Istikharahnya.

Para ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari juga dikenal sering mengandalkan shalat istikharah dalam mengambil keputusan penting, termasuk saat mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa beliau selalu melakukan istikharah sebelum mengambil langkah-langkah besar yang akan mempengaruhi umat. Hal ini menunjukkan bahwa istikharah bukan hanya untuk urusan pribadi, tapi juga untuk keputusan-keputusan besar yang berdampak pada orang banyak.

Tata Cara Shalat Istikharah

Dalam Al-Khulashoh karya Al-Habib Umar bin Hafiz, dianjurkan agar melaksanakan shalat Istikharah secara rutin setiap habis shalat dhuha. Tata cara shalat istikharah ialah niat dalam hati untuk melakukan shalat istikharah. Shalat dua rakaat, seperti shalat sunnah biasa. Setelah salam, membaca doa Istikharah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah ﷺ.

Berikut adalah doa khusus untuk shalat istikharah, dikutip dari kitab Al-Khulashoh Fii Adzkaarin wa Ad’iyatin Waaridatiin wa Ma’tsurat:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمْ فِي كُلِّ لَحْظَةٍ أَبَدًا بِجَمِيعِ الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا، عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ، عَدَدَ نِعَمِ اللَّهِ وَإِفْضَالِهِ،اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ.

اللَّهُمَّ مَا عَلِمْتَهُ أَبَدًا مِنْ سَائِرِ الْأُمُورِ وَالْأَشْيَاءِ خَيْرًا لِي وَذُرِّيَّتِي، وَأَحْبَابِنَا وَلِلْمُسْلِمِينَ إِلَى يَـ يَوْمِ الدِّينِ في دِينِنَا وَدُنْيَانَا وَأُخْرَانَا وَمَعَادِنَا وَمَعَاشِنَا وَعَاقِبَةِ أُمُوْرِنَا عَاجِلِهَا وَآجِلِهَا فَاقْدِرْهُ لَنَا وَيَسَرْهُ لَنَا ثُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ.

اللَّهُمَّ وَمَا عَلِمْتَهُ أَبَدًا شَرًّا لَنَا فِي دِينِنَا وَدُنْيَانَا وَأُخْرَانَا وَمَعَادِنَا وَمَعَاشِنَا وَعَاقِبَةِ أُمُوْرِنَا عَاجِلِهَا وَآجِلِهَا؛ فَاصْرِفْهُ عَنَّا، وَاصْرِفْنَا عَنْهُ، وَاقْدِرْ لَنَا الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِنَا بِهِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.

اللَّهُمَّ إِنَّ عِلْمَ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، وَهُوَ مَحْجُوْبٌ عَنِّي، وَلَا أَعْلَمُ أَمْرًا أَخْتَارُهُ لِنَفْسِي، فَكُنْ أَنْتَ الْمُخْتَارُ لِي، فَإِنِّي فَوَّضْتُ إِلَيْكَ مَقَالِيدَ أَمْرِي، وَرَجَوْتُكَ لِفَقْرِي وَفَاقَتِي، فَأَرْشِدْنِي إِلَى أَحَدٍ الْأُمُورِ إِلَيْكَ، وَأَرْضَاهَا لَدَيْكَ، وَأَحْمَدِهَا عَاقِبَةً فِي خَيْرٍ وَعَافِيَةٍ، فَإِنَّكَ تَفْعَلُ مَا تَشَاءُ، وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، فِي كُلِّ لَحْظَةٍ أَبَدًا، عَدَدَ خَلْقِهِ، وَ رِضَى نَفْسِهِ، وَ زِنَةَ عَرْشِهِ، وَ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ.

Artinya:

Segala puji syukur bagi Allah, Tuhan semesta alam. Ya Allah. Haturkanlah sholawat dan salam, setiap saat, selamanya, semua keberkahan, pada junjungan kami Muhammad dan keluarganya, seluas keberkahan nikmat dan kebaikan-Mu.

Ya Allah. Aku memohon saran nasihat dari ilmu pengetahuan-Mu, dan bantuan dari kemahakuasaan-Mu; Aku memohon karunia-Mu yang luar biasa, karena sesungguhnya Engkau mampu, dan aku tidak; Engkau tahu, dan aku tidak tahu. Engkau adalah Maha Mengetahui yang gaib.

Ya Allah. Jika Engkau Tahu (karena Engkau selalu tahu), dari semua jenis urusan dan hal-hal yang baik untukku dan keturunanku, dan orang-orang terkasih kami, dan untuk semua Muslim sampai Hari Penghakiman (kiamat), dalam agama kami, dalam hidup (dunia) kami, di akhirat, dalam pengembalian akhir kami, dan mata pencaharian kami, dan kemudahan dari urusan kami, sekarang atau nanti, maka putuskanlah untuk kami, dan mudahkanlah bagi kami, dan berkatilah kami dengan itu, dan berkatilah itu untuk kami.

Ya Allah. Apa pun yang Engkau ketahui untuk kelanggengan segala jenis urusan dan hal-hal yang buruk bagi kami, dalam agama kami, dalam kehidupan kami, di akhirat, dalam pengembalian akhir kami, dan mata pencaharian kami, dan hasil dari urusan kami, sekarang atau nanti, maka hindarilah mereka dari kami dan jauhkanlah kami dari mereka; kemudian putuskanlah bagi kita apa pun yang baik di mana pun itu dapat ditemukan, dan bantu kami untuk puas dengannya. Wahai Yang Maha Penyayang diantara para penyayang, Wahai Yang Maha Penyayang diantara para penyayang, Wahai Yang Maha Penyayang diantara para penyayang.

Ya Allah. Sesungguhnya, pengetahuan yang gaib adalah milik-Mu, dan itu tersembunyi dariku; dan aku tidak tahu urusan apa pun untuk dipilih untuk diriku sendiri; maka jadilah Engkau yang memilih bagiku, karena sesungguhnya, aku berkomitmen pada-Mu untuk mengelola urusanku, dan aku memohon pada-Mu (bantuan) untuk kefakiran dan kebutuhan-kebutuhanku; jadi bimbinglah aku dalam hal-hal yang paling Engkau sukai (ridhoi), dan yang paling menyenangkan bagi Engkau, dan hasil yang paling terpuji, dalam kebaikan dan kesejahteraan; karena sesungguhnya, Engkau melakukan apa pun yang Engkau inginkan (hendaki), dan Engkau mampu melakukan semua hal.

Dan semoga sholawat dan salam Allah atas junjungan kami Muhammad, dan atas keluarganya, dan para sahabatnya. Setiap saat, selamanya, sejumlah ciptaan-Mu, seluas ridho, dan seberat arsy-Mu, dan tinta yang diperlukan untuk menulis ayat-ayat-Mu.

Setelah berdoa, seseorang dianjurkan untuk merenung, bertanya kepada hati, dan melihat bagaimana Allah membimbing langkah-langkahnya. Jika sesuatu terasa lebih mudah dan lapang, itulah tanda kebaikan dari Allah. Jika justru terasa semakin sulit, mungkin Allah telah menyingkirkan keburukan dari jalan kita.

Istikharah sebagai Perisai dalam Pengambilan Keputusan

Shalat istikharah bukan sekadar “ramalan” atau pencarian pertanda gaib, tetapi bagian dari kesempurnaan Islam dalam menyeimbangkan antara akal dan tawakal. Rasulullah ﷺ mengajarkannya sebagai cara untuk memurnikan niat, menguatkan mental, dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah setelah kita berusaha dengan maksimal.

Di masa modern yang penuh kebingungan dan overthinking, Istikharah bisa menjadi perisai bagi hati dan pikiran. Dengan menjalankan Istikharah, kita belajar untuk lebih tenang, lebih percaya diri dalam mengambil keputusan, dan yang terpenting—lebih dekat dengan Allah dalam setiap langkah kehidupan kita. Wallahu a’lam.

Baca Juga: Galau Memilih? Begini Tata Cara Salat Istikharah


 
Penulis: Athi Suqya Rohmah