ilustrasi

Salah satu masalah yang menjadi pembahasan para ulama dalam bab transaksi adalah hutang-piutang. Praktik hutang-piutang ini sudah lazim terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit yang terpaksa berhutang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun banyak juga yang berhutang bukan karena kebutuhan, namun untuk memenuhi hasrat yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Bahkan di antara mereka ialah orang yang kaya raya, rumah dan mobilnya banyak, usahanya memiliki cabang di berbagai daerah, dan diberi julukan sebagai sultan oleh teman-temannya.

Terkadang yang menjadi dilema tersendiri ialah kita tahu bahwa orang yang berhutang tersebut sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan, lebih cenderung pada menuruti gengsi semata. Lebih parahnya lagi, jika ditagih, untuk membayar susahnya minta ampun. Sampai viral di media sosial komentar-komentar negatif, seperti, “gaya elit, bayar hutang sulit” atau “pas ngutang melas, pas bayar males” atau “yang ditagih lebih galak dari yang nagih”. Selain menimbulkan perasaan dilema, hal ini juga menumbuhkan trauma tersendiri. Lalu bagaimana fiqih menangggapi hal tersebut?

Hukum menghutangi pada dasarnya adalah sunnah dan sangat dianjurkan oleh syara’ sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadist;

مَن نَفَّسَ عن مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنْيا، نَفَّسَ اللَّهُ عنْه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَومِ القِيامَةِ، وَمَن يَسَّرَ على مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللَّهُ عليه في الدُّنْيا والآخِرَةِ، وَمَن سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللَّهُ في الدُّنْيا والآخِرَةِ، واللَّهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كانَ العَبْدُ في عَوْنِ أَخِيه

Artinya: “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin yang lain dari kesulitannya di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesulitan pada hari kdiamat. Barangsiapa yang meringankan orang yang kesusahan (dalam hutangnya), niscaya Allah akan meringankan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut mau menolong saudaranya” (H.R. Muslim)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa menghutangi lebih utama dari pada bersedekah. Pendapat ini didasarkan pada hadist riwayat Anas Ibn Malik;

رأيتُ ليلةَ أُسريَ بي مكتوبًا على باب الجنةِ الصدقةُ بعشرِ أمثالِها والقرضُ ثمانيةَ عشرَ فقلتُ لجبريلَ ما بالُ القرضِ أفضلُ من الصدقةِ قال لأنَّ السائلَ يسألُ وعنده والمُستقرضُ لا يستقرضُ إلا من حاجة

Artinya: “Pada malam aku diisrakan aku melihat di atas pintu surga tertulis ‘Sedekah akan dikalikan menjadi sepuluh kali lipat, dan memberi pinjaman dengan delapan belas kali lipat’. Maka aku pun bertanya: “Wahai Jibril, apa sebabnya memberi hutang lebih utama ketimbang sedekah?” Jibril menjawab: “Karena saat seorang peminta meminta, (terkadang) ia masih memiliki (harta), sementara orang yang meminta pinjaman, ia tidak meminta pinjaman kecuali karena ada butuh.” (H.R. Ibnu Majah)

Hukum sunnah tersebut berlaku jika orang yang berhutang tidak dalam keadaan terdesak. Jika dalam keadaan sangat sangat terdesak, maka hukumnya menjadi wajib, sebagaimana keterangan dalam kitab Fathul Mu’in. Hukum menghutangi ini pun bisa berubah menjadi haram jika orang yang menghutangi mengetahui atau menyangka bahwa orang yang dihutangi akan menggunakan hutang tersebut untuk kemaksiatan.

Dalam kitab yang sama, menyebutkan bahwa di antara kemaksiatan tersebut adalah jika orang yang dihutangi bukanlah orang yang membutuhkan serta diketahui tidak ada i’tikad baik untuk membayar hutang.

ويحرم الاقتراض على غير مضطر لم يرج الوفاء من جهة ظاهرة فورا في الحال وعند الحلول في المؤجل ك الإقراض   عند العلم أو الظن من آخذه أنه ينفقه في معصية.

Sisi keharamanya karena ia dianggap membantu dalam kemaksiatan pula, selaras dengan firman Allah SWT;

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰن

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah;2)

Sebenarnya hal ini menjadi tamparan keras bagi mereka yang suka berhutang tapi menunda membayarnya padahal sudah mampu, atau bahkan enggan membayarnya, dan pura-pura lupa ketika ditagih. Karena perbuatan ini termasuk dari pada dosa besar. Sebagaimana keterangan dalam kitab Mirqotu Shu’udi at-Tasdiq.

Dan jika kita berada dalam posisi orang yang menghutangi, maka sesungguhnya hal yang lebih dianjurkan adalah merelakan hutang tersebut jika berkenan. Karena pahala dari pada merelakan hutang itu jauh lebih besar dari pada memberi tempo pembayaran, sebagaimana masyhur dalam pembahasan qowaidul fiqih.

Namun jika kita belum bisa merelakan, maka setidaknya berilah waktu kembali, sampai ia benar-benar sanggup membayar. Dan jangan khawatir, pahala kita akan senantiasa dicatat selama kita masih berstatus sebagai pemberi pinjaman, sebagaimana pendapat Ibnu Umar yang dinuqil dalam kitab Hasyiyah Qulyuby wa Umairoh.

وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ الصَّدَقَةُ يُكْتَبُ أَجْرُهَا حِينَ تَصَدَّقَ بِهَا، وَالْقَرْضُ يُكْتَبُ أَجْرُهُ مَا دَامَ عِنْدَ الْمُقْتَرِضِ

Sekian. Wallahu a’lam.

 


Referensi:

Fathul Muin, Zainuddin Al-Malibary

Hasyiyah Qulyuby wa Umairoh

Mirqotu Shu’udi at-Tasdiq, Muhammad Nawawi al-Bantany


Penulis: Umu Salamah, pengajar di Pesantren Raudhatul Ulum Pati

Editor: Muh Sutan