
Hari itu hari Minggu. Matahari masih malas bangun, hujan semalam menyisakan gerimis tipis yang jatuh seperti sisa-sisa harapan. Di gang sempit RT 04, suara motor menderu, dan ibu-ibu mulai merapikan jilbab. Hari pembagian sembako dari yayasan X datang lagi.
Aku berdiri di depan rumah, di bawah spanduk yang sudah mulai robek: “Berbagi Berkah Ramadhan — Jangan Lupa Follow IG Kami @YayasanXPeduli”
Anakku yang duduk kelas tiga SD keluar sambil menggosok mata. “Ayah, itu yang bawa kamera lagi datang, ya?”
Aku mengangguk. “Iya. Siap-siap senyum.”
Sudah dua tahun terakhir ini kami menerima sembako dari lembaga itu. Isinya tidak selalu sama: kadang beras tiga liter, kadang mie instan, kadang biskuit. Tapi yang selalu sama adalah proses pengambilan gambarnya. Harus dari sudut kanan, dengan latar spanduk yayasan, senyum diatur oleh relawan, dan kadang disuruh ucapkan kalimat, “Terima kasih Yayasan X, semoga berkah selalu.”
Aku pernah bertanya pada salah satu relawan, “Kalau nggak mau difoto, boleh nggak tetap dapat sembakonya?”
Dia menatapku, lalu tersenyum canggung, “Kami cuma menyalurkan sesuai SOP. Foto itu penting buat laporan sponsor.”
Sponsor. Kata yang sama sekali tidak kami kenal, tapi ternyata ikut menentukan nasi malam anakku.
Hari itu aku menerima satu paket kardus berlogo besar: “Program Peduli Sesama, Donasi Anda Menyentuh Hati Mereka.” Di dalamnya ada lima bungkus mie goreng, dua liter minyak, dan sebungkus roti tawar. Roti itu, aku buka di dapur baunya asam. Sudah berjamur di ujungnya.
Istriku mendecak pelan. “Mereka pikir kita ini tempat buang kadaluarsa?”
Aku tak menjawab. Hanya diam. Karena pada dasarnya, aku sedang bingung: apakah aku harus marah karena roti basi, atau berterima kasih karena masih dapat bantuan?
Malam harinya, aku duduk di warung kopi. Di situ, Mas Toni pak RT kami yang baru, juga duduk sambil mengutak-atik ponselnya. Aku nekat bertanya, “Mas, bantuan sembako dari yayasan itu, mereka pakai buat laporan apa, sih?”
Mas Toni nyengir. “Ya buat medsos, buat laporan ke donatur luar negeri, buat branding. Gitu lah.”
“Berarti kita ini cuma konten?”
Toni tertawa kecil. “Kamu baru sadar? Ini zamannya kapitalisme kemanusiaan, Bro. Bukan zaman Rasullullah yang ngasih zakat sembunyi-sembunyi. Sekarang zakat harus punya engagement tinggi.”
Aku ingin tertawa, tapi tak bisa.
===
Hari Senin, saat aku menjemur pakaian, tetanggaku Bu Nunung melambaikan tangan dari seberang pagar.
“Mas Anwar, katanya minggu depan kita mau dishoot video. Yang dari Korea itu mau lihat langsung warga miskin Indonesia.”
Aku mengernyit. “Korea?”
“Iya, katanya lembaga yang bantu kita itu partner-an sama NGO luar. Mereka mau buat video dokumenter, buat ditayangin pas acara penggalangan dana.”
Aku menarik napas dalam. Rasanya seperti hidup ini adalah reality show murahan, dan aku cuma figuran yang dibayar dengan minyak goreng dan mie instan.
===
Hari pembuatan video tiba. Aku sengaja tidak ikut antre. Biar mereka anggap aku pergi ke pasar. Tapi anakku datang membawa surat kecil.
“Ini dari pak RW,” katanya, sambil menyerahkan lipatan kertas.
“Mas Anwar, mohon kerja samanya. Ini untuk kebaikan bersama. Jangan membuat suasana tidak enak.”
Kebaikan bersama. Kata-kata yang kerap dipakai untuk membungkam suara minor. Aku jadi teringat video dari Facebook yang diperlihatkan Toni, tentang apa yang disebut Emile Durkheim sebagai sanksi sosial non-formal bukan hukum tertulis, tapi pandangan tetangga yang berubah, bisik-bisik yang semakin nyaring, dan undangan pengajian yang tiba-tiba tak sampai ke rumah.
Di warung kopi malam itu, aku bicara ke Toni, dengan nada lebih keras dari biasanya.
“Kamu tahu nggak, Mas, bantuan itu sekarang kayak jualan martabak. Yang penting topping-nya kelihatan tebal, meski di dalam kosong.”
Toni tersenyum sinis. “Kamu pikir dunia ini adil? Kebaikan sekarang perlu sponsor. Amal perlu kameramen. Kalau kamu nolak difoto, kamu nolak ekosistem.”
Satu minggu kemudian, datang surat pemberitahuan: “Penerima sembako periode berikutnya akan disesuaikan berdasarkan keaktifan dan kerja sama penerima.”
Aku dicoret dari daftar.
Istriku marah. “Kenapa, Mas? Kita salah apa?”
Aku hanya menatap langit-langit. “Mungkin karena aku nggak senyum. Atau karena aku mulai sadar bahwa senyum itu kini jadi alat tukar.”
Malam itu, aku buka YouTube. Video berdurasi 20 menit itu viral: “Menembus Batas Kemiskinan: Wajah-Wajah Harapan dari Gang Kecil Jakarta.” Ada anakku. Ada istriku. Ada aku, diambil dari samping.
Semuanya tampak bahagia. Musiknya menyentuh. Tapi tidak ada satu pun adegan roti berjamur. Tidak ada satu pun kalimat “Kami sudah bosan dipamerkan.”
Video itu ditonton jutaan orang. Komentarnya:
“Harusnya mereka bersyukur.”
“Lucu anaknya, senyumnya tulus banget.”
“Terima kasih donatur.”
Satu-satunya kebenaran malam itu adalah: aku masih lapar. Dan senyum kami, ternyata bukan gratis. Ia sudah jadi bagian dari sistem. Komoditas yang dijual dalam frame berdurasi 20 menit.
===
Suatu siang, setelah salat Jumat, aku duduk di emperan masjid. Terik belum reda, tapi bayang-bayang khutbah tadi belum juga hilang dari benakku. Isinya bicara soal sedekah. Bahwa memberi itu tak cukup dengan uang, tapi harus dengan wajah ramah, sikap santun, dan niat ikhlas. Sayangnya, wajah yang bersedekah ke gang kami datang dengan kamera dan kaus oblong yang bertuliskan “#HumanityIsNow”.
Mereka tidak pernah tahu nama kami.
Tidak menatap mata kami.
Tidak pernah balik lagi.
Dulu, saat aku masih kecil, pemberi sembako datang diam-diam. Bawa karung dari belakang masjid. Nggak ada stiker, nggak ada tulisan besar-besar “bantuan ini didukung oleh…”, apalagi tukang foto. Sekarang, sedekah datang pakai mic bluetooth. Yang disebut bukan nama kami, tapi follower dan engagement rate.
===
Di warung, Toni membaca artikel dari HP-nya.
“Mas, tahu nggak teori kekerasan simbolik Bourdieu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengernyit. “Apalagi itu?”
Dia menjelaskan pelan. Katanya, kekerasan simbolik adalah bentuk kekuasaan yang tidak terlihat sebagai kekerasan. Misalnya, saat bantuan dijadikan alat mengatur warga. Saat orang kaya menentukan mana kemiskinan yang layak ditampilkan. Ketika penerima harus bersikap tunduk, agar tidak dicoret dari daftar.
“Dan sialnya,” lanjut Toni, “sering kali si pemberi nggak sadar bahwa mereka sedang menindas. Mereka pikir sedang menyelamatkan dunia.”
Malam itu, aku duduk di depan rumah sembari megang hp butut. Menulis kalimat pertama postingan Facebook.
Kepada siapapun yang merasa peduli…
Aku tidak tahu akan kukirim ke mana. Tapi aku ingin menulis sesuatu yang lebih jujur daripada semua footage yang pernah mereka ambil. Tentang betapa letihnya hidup yang harus pura-pura tersenyum agar tidak lapar.
Kami tak minta banyak. Hanya satu: Kalau memang mau memberi, jangan jadikan wajah kami sebagai bahan jualan. Karena sedekah yang tidak memandang wajah, jauh lebih luhur dari yang hanya menatap kami lewat lensa.
Beberapa hari setelah postingan itu, tak ada komentar. Tapi satu hal kecil terjadi: Seorang tetangga mengetuk pintu. Membawa sekantong mangga. Tak banyak bicara. Tak ada logo. Tak ada kamera. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku bisa tersenyum, bukan karena lapar, tapi karena merasa masih dianggap manusia.
Penulis: Sya’ban Fadol. H
Editor: Rara Zarary