sumber ilustrasi: profilrulama-laduni.id

Oleh: Vigar Ramadhan Daeng M.*

Bernama asli Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar an-Nasa’i, nisbah dari Nasa, kota terkenal di Khurasan, istilah modern untuk wilayah timur Persia kuno sejak abad ke-3. Khurasan Raya meliputi salah satu wilayah yang kini merupakan bagian dari Iran. Lahir tahun 210 H dan wafat tahun 303 H. Beliau merupakan salah satu tokoh agama dan imam hadits, imam bagi masyarakat sezamannya, dan panutan bagi para ahli hadits dalam mengetahui al-Jarh wa Tadil.

An-Nasa’i muda sudah melakukan rihlah untuk belajar haditsnya pada usia 15 tahun (230 H), ia berguru kepada Qutaibah bin Sa’id dan menetap bersamanya selama setahun di Baghlan (kini menjadi Afganistan). Secara gamblangnya, peta perjalanan belajar hadits beliau antara lain ialah Khurasan, Hijaz, Mesir, ‘Iraq, Jazirah, Syam, dan Tsaghur, kemudian menetap di Mesir. Sebab ketekunannya, banyak para ulama besar memujinya. Seperti al-Daraquthni, memujinya dengan berkata: “Abu Abdurrahman adalah yang terdepan di antara mereka yang disebut dalam ilmu ini (hadist) pada zamannya, dan dia adalah faqih di antara guru-guru zamannya, serta yang paling mengetahui persoalan tentang hadits dan periwayat.”

Lalu az-Dzahabi juga berkata: “Tidak ada seorang pun di awal abad ketiga yang lebih hafal daripada An-Nasa’i, dia adalah yang paling ahli dalam hadits, ‘ilal (kecacatan periwayatan), dan para periwayatnya, melebihi Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi, dan dia sejajar dengan Al-Bukhari dan Abu Zar’ah.”

Salah satu penyebab beberapa ulama memuji an-Nasa’i dan kitab Sunannya karena sangat ketatnya periwayatan beliau untuk masalah hadist yang diterimanya. Seperti halnya para ahli hadits lainnya, beliau juga sangat memperhatikan ketepatan dalam meriwayatkan hadits berdasarkan cara penerimaan dari para guru. Sebagai contoh beliau tidak berkenan menerima suatu hadist jika tidak didengarnya langsung dari seorang periwayat lain.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ibnu Hajar dan as-Suyuthi meriwayatkan dari Muhammad bin Mu’awiyah al-Ahmar, perawi dari an-Nasa’i, yang berkata: “An-Nasa’i berkata: ‘Seluruh kitab Sunan adalah shahih, dan sebagiannya mu’allal (mempunyai ‘ilat/cacat), tetapi ia tidak menjelaskan ‘illatnya. Dan kitab as-Sunan ash-Shugra, yang disebut juga Al-Mujtaba: semuanya shahih.'” Dan Al-Khathib, As-Salafi, Abu ‘Ali An-Naisaburi, Abu Ahmad bin ‘Adi, Abu Al-Hasan Ad-Daraquthni, Ibnu Mandah, ‘Abd Al-Ghani bin Sa’id, Abu Ya’la Al-Khilali, Al-Hakim, dan lainnya telah menetapkan kesahihan kitab Sunan an-Nasai.

Mengenai karya terkenalnya, yakni as-Sunan ash-Shugra disebutkan bahwa latar belakang penulisan al-Mujtabaa atau as-Sunan ash-Shugra ialah ketika beliau telah merampungkan penyusunan kitab as-Sunan al-Kubra, lalu beliau menunjukkannya kepada Amir ar-Ramlah, maka ia berkata kepada an-Nasa’i, “apakah semua hadits di kitab ini shahih?” an-Nasa’i menjawab, “Tidak.” Maka sang Amir berpesan, “buatkanlah untukku kitab yang berisi hadits shahih saja.” Dari peristiwa inilah lantas beliau memisahkan dan membuat kitab tersendiri yang berisi hadits shahih saja, yang beliau namai al-Mujtabaa atau as-Sunan ash-Shugra. Dan apabila ada penisbatan hadits kepada an-Nasa’i, maka maksudnya adalah hadits yang beliau riwayatkan dalam al-Mujtabaa atau as-Sunan ash-Shugra.

Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya Hadits Muhadditsun menuturkan bahwa kitab al-Mujtaba merupakan kitab sunan yang paling sedikit hadits dhaif dan rawi yang di-jarhnya, serta kedudukan haditsnya berada setelah as-Shahihain (Bukhari dan Muslim), yang berarti juga posisinya di atas Sunan Abu Daud dan Sunan at-Tirmidzi. Hal ini dikarenakan an-Nasa’i memiliki keistimewaan dari pada kedua sunan tersebut, yakni ketelitian beliau dalam memeriksa para rawi sehingga dikatakan bahwasanya beliau lebih hafidz dari Muslim. Dan setara dengan Bukhari.

Atas jasa besar dan ketekunan beliau dalam ilmu hadits ini, kini kita telah dimudahkan sekali untuk mencari dalil dari sebuah hukum yang terdapat dalam Islam. Beliau, An-Nasai telah mengorbarkan umur bahkan hidupnya untuk sunah Nabi dan Agama ini.

Sebagai umat Nabi dan seorang Muslim, lantas apa yang perlu kita lakukan untuk meneruskan perjuangan para Ulama terdahulu yang sudah memberikan karya dan ilmunya? Kiranya bolehkan saya si penulis yang tidak ngalim ini menjawabnya sedikit, yakni: “melanjutkan perjuangannya  dengan terus belajar ilmu Agama terutama Sunah dan ilmu hadits, dan tekun membaca juga mempelajari karya-karya beliau”.

Semoga kita terus diberi rasa kurang dan bodoh dalam hal mendalami ilmu Agama, sehingga membuat kita terus haus akan belajar, belajar, dan belajar. Waallahu a’lam…

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.