Para santri hingga mahasantri foto bersamai dalam forum ‘penguatan kapasitas HAM bagi santri Tebuireng’, di aula lantai 3 gedung Yusuf Hasyim (foto: Bakhit)

Tebuireng.online— Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) Wilayah Jawa Timur menggelar kegiatan edukatif terkait penguatan Hak Asasi Manusia bagi Masyarakat di Pesantren Tebuireng. Materi dalam kegiatan ini disampaikan oleh dua orang ahli dalam bidang hak asasi manusia yakni Prof. Dr. Rumadi Ahmad, M.Ag. (Staf Ahli Penguatan Reformasi Birokrasi) dan Dr. KH. Ahmad Roziqi, Lc., M.H.I. (Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng).

Melalui rangkaian materi yang disampaikan, acara ini menegaskan betapa ajaran Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang sejalan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai pembicara pertama, KH. Roziqi menjelaskan bahwa nilai-nilai universal tentang kemanusiaan telah lama tertanam dalam ajaran Islam.

“Al Quran, hadits, dan para ulama di Indonesia terdahulu sudah menjelaskan tentang hak asasi manusia. Selain karena aspek sosial, menjalankan hak asasi manusia ini termasuk ke dalam ibadah,” jelasnya di hadapan ratusan santri dan mahasantri, Rabu (11/6).

Baca Juga: Kementerian HAM Jawa Timur Lakukan Penguatan HAM di Tebuireng

Dai yang juga Dosen Mahad Aly Hasyim Asy’ari itu, menambahkan bahwa Rasulullah Saw., telah mengajarkan kepada umatnya untuk saling bertoleransi baik sesama muslim maupun non-Muslim. Kutipan dari Darul Ifta’ Mesir menekankan pembicaraan bahwa para sahabat Rasul tidak mencela, mengganggu, ataupun mengintimidasi kaum non-Muslim.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam pemaparan selanjutnya, Ustadz Roziqi, menampilkan ayat ke-70 dari Al Qur’an surat Al-Isra’ yang menunjukkan bahwa Allah memuliakan manusia dan memberinya kelebihan dibanding makhluk lainnya. Kutipan syair dari Maroh Labid karya Syaikh Nawawi al-Bantani memperkuat narasi ini bahwa manusia dikaruniai akal, ilmu, dan kemampuan yang luar biasa sebagai bentuk kemuliaan dari Allah.

“Dapat diartikan pula, manusia menjadi makhluk yang istimewa. Seharusnya dengan keistimewaannya itu seorang manusia harus bisa memanusiakan manusia yang lain,” tuturnya.

Di samping itu, dalam Al-Mujadalah ayat 11 ditegaskan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Karya Syaikh Nawawi al-Bantani kembali menjadi referensi narasumber untuk menegaskan bahwa ilmu menjadi penentu utama dalam memuliakan martabat manusia.

“Dengan ayat ini, maka seorang manusia harus memiliki ilmu agar bisa menjadi manusia seutuhnya. Salah satu tempat yang tepat untuk mencari ilmu tersebut adalah pesantren,” imbuhnya.

KH. Roziqi juga menyebutkan sosok KH. Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional yang meletakkan dasar kemerdekaan Indonesia dan memajukan hak pendidikan melalui pendirian pondok pesantren sejak 1899. Dengan semboyan

لَا خَيْرَ فِي أُمَّةٍ إِذَا كَانَ أَبْنَاؤُهَا جُمَلَاءَ وَلَا تَصْلُحُ أُمَّةٌ إِلَّا بِالْعِلْمِ

“Tidak ada kemuliaan bagi suatu bangsa jika generasi mudanya bodoh-bodoh, dan tidak ada kehormatan bagi suatu bangsa kecuali dengan ilmu pengetahuan”. Hal ini menekankan pentingnya perjuangan dan pendidikan sebagai bentuk penghormatan terhadap manusia.

Selain itu, Prof Rumadi menambahkan penjelasan terkait hukum HAM di Indonesia. Dengan keberagaman agama yang di Indonesia, hukum syariat Islam secara ushul atau dasar tidak sepenuhnya ditetapkan tetapi diselaraskan atau dikenal dengan istilah furu’. Maka dikatakan bahwa hak asasi manusia di Indonesia bahkan di dunia ini ada perkembangan dan transformasi.

“Aspek-aspek furu’ yang ada pada hukum di Indonesia penting untuk dilakukan kajian-kajian meskipun pada aspek ushulnya sudah bertemu mungkin pada aspek furu’nya masih terdapat persoalan-persoalan,” jelasnya.

Di akhir pembicaraan, Prof Rumadi mengajak kepada para santri agar tidak hanya sebagai penonton perubahan hak asasi manusia tetapi sebagai penggerak. “Kalau dalam bahasa santri itu, tidak boleh sebagai maf’ul saja tetapi harus sebagai fa’ilnya,” ajaknya.

Sebagai penutup dari acara ini, Ustadz Roziqi memberikan sebuah renungan kepada seluruh yang hadir.

“Sebagai santri mestinya kita lebih dapat menghormati dan menjaga hak-hak manusia dibanding yang bukan santri, mengapa tidak? Jika HAM mereka berdasar pada DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) tahun 1948, sejatinya kita sudah mengimani HAM ini sejak nash-nash suci diturunkan dan diajarkan oleh Hadhroturrosul yang kemudian diamalkan oleh para pendahulu hingga sampai dan diperjuangkan oleh para kiai kita.” Tutupnya.



Pewarta: Bakhit Jauharullaudza

Editor: Rara Zarary