
Kedangkalan dalam Menarik Kesimpulan: Salah Satu Dosa Intelektual Ilmuwan Muslim Modern
Salah satu kajian para mahasantri Mahad Aly, khususnya Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo adalah Fikih Nawazil. Sederhanannya, kajian ini berkutat pada masalah-masalah keagamaan yang sifatnya baru dan mendesak untuk segera mendapat label hukum. Jadi, masalah yang ada hari ini, sering kali tidak ditemukan jawabannya pada teks-teks yang pernah ditulis ulama Salaf.
Ibnu Rusyd, ilmuwan kelahiran Spanyol yang dikenal oleh dunia Barat dengan sebutan Averroes, pernah menyinggung kesimpulan di atas melalui pernyataannya,
أَنَّ الْوَقَائِعَ بَيْنَ أَشْخَاصِ الْأَنَاسِيِّ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٍ وَالنُّصُوصَ وَالْأَفْعَالَ وَالْإِقْرَارَاتِ مُتَنَاهِيَةٌ وَمُحَالٌ أَنْ يُقَابَلَ مَا لَا يَتَنَاهَى بِمَا يَتَنَاهَى
“Peristiwa-peristiwa yang terjadi di antara manusia tidak terbatas jumlahnya, sedangkan teks-teks hukum, perbuatan, dan pengakuan terbatas adanya. Maka mustahil untuk menghadapi sesuatu yang tak terbatas dengan sesuatu yang terbatas.”
Penulis menyadari, bahwa faktor yang melatarbelakangi kondisi di atas jelas banyak dan kompleks. Hanya saja penulis tidak akan memaparkan penjelasan tersebut pada catatan kali ini.
Melihat kondisi di atas, jelas ini adalah suatu tantangan yang sangat berat bagi ilmuwan muslim modern. Kenapa berat? Melihat realita yang ada saat ini, bahwa kualitas ilmuwan muslim modern tak lagi sama dengan ulama Salaf. Di saat yang sama, mereka malah dituntut menyelesaikan kompleksitas masalah yang dahulu tidak pernah dirasakan oleh ulama Salaf.
Oleh karena itu, mengkaji dan menelaah lebih dalam pola berpikir dan sistematika penyelesaian hukum yang pernah dilakukan ulama Salaf sangat perlu untuk diperhatikan. Selain karena tidak semua jawaban atas hukum ditulis oleh ulama Salaf, hal ini juga dalam rangka menghindari ragam kerancuan dan kesalahan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Namun, meski aturan idealnya sebagaimana penulis jelaskan, masih ditemukan di sana sini, ilmuwan muslim modern yang salah kaprah dalam menyikapi suatu problem keagamaan yang ada.
Salah satu ilmuwan muslim modern, Muhammad Mustafa bin Hamid bin Smith, melalui salah satu karyanya, Madkhal ila Fiqh Nawazil menjelaskan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh ilmuwan muslim modern. Salah satunya adalah kedangkalan dalam menarik suatu kesimpulan.
Beliau mencontohkan sosok Muhammad Bakhits al-Muthi’i, salah satu ilmuwan muslim modern. Beliau memahami bahwa proses Telegram (surat kawat atau berita yang dikirimkan melalui telegraf, merupakan pesan yang dikirimkan menggunakan kode morse yang ditransmisikan melalui kabel-kabel yang menghubungkan dua lokasi) sama dengan proses tulis menulis yang dahulu sering kali digunakan pada zaman ulama Salaf.
Dalam hal ini, Muhammad Bakhits al-Muthi’i tidak memberikan dasar atas argumen di atas. Dia hanya menyatakan, namun tidak dibarengi dengan pola logika dan dasar yang melatarbelakangi munculnya argumen tersebut.
Selanjutnya, apa yang telah dinyatakan oleh Muhammad Bakhits al-Muthi’i di atas oleh banyak ilmuwan yang datang setelahnya dijadikan sebagai pegangan dalam menyelesaikan jawaban atas ragam perangkat komunikasi yang hari ini massal digunakan.
Bisa jadi apa yang telah disimpulkan oleh Muhammad Bakhits al-Muthi’i adalah suatu kesalahan. Dan dengan mudahnya, ulama lain langsung menggunakan kesimpulan tersebut, tanpa menelaah lebih lanjut pernyataan Muhammad Bakhits al-Muthi’i.
Dalam hal ini, ulama yang menggunakan pernyataan Muhammad Bakhits al-Muthi’i tanpa terlebih dahulu menelaah, telah melakukan kesalahan. Mereka dangkal dalam memahami suatu kesimpulan atau pernyataan ulama lain, sehingga sangat mungkin untuk terjadi kesalahan dan kerancuan dalam menentukan suatu hukum.
Pada akhirnya, tidak terlalu terburu-buru dalam memahami suatu kesimpulan hukum menjadi sesuatu yang harus ada pada diri ilmuwan muslim modern. Harapannya, agama benar-benar memberikan sikap yang sesuai dengan role dasar, tidak sembarangan hingga menyebabkan umat Islam terjerumus dalam kesalahan yang berlarut.
Penulis: Moch. Vicky Shahrul Hermawan
Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang