
Namira tumbuh di rumah yang sempit, bukan karena luas tanah yang terbatas, tapi karena ruang untuk bernapas sebagai perempuan terasa nyaris tidak ada. Rumah itu berdiri di ujung gang kecil di sebuah kota kecil yang kian bising. Di dalamnya, tinggal empat orang selain dirinya: ayah yang pendiam tapi tajam kata, ibu yang lelah tapi selalu mencoba kuat, adik laki-laki yang dijunjung seperti pangeran, dan adik perempuan yang masih terlalu kecil untuk mengerti dunia.
Sejak kecil, Namira tahu bahwa dirinya berbeda. Bukan karena ia aneh, tapi karena ia perempuan. Di rumah, ia harus bangun paling pagi, membersihkan rumah, memasak, mencuci piring, lalu membantu adiknya belajar. Sementara adik laki-lakinya, Dimas, bisa duduk santai di depan televisi atau bermain game sepuasnya.
Ibu hanya berkata, “Namira, kamu kan kakak perempuan. Wajar kamu harus lebih banyak bantu.” Tapi tak ada yang terasa wajar saat tubuh dan martabatmu tak dihargai.
****
Ketika Namira menginjak usia dua belas, ia mulai menyadari perubahan dalam dirinya. Tubuhnya tumbuh, dan bersama itu datanglah pandangan mata ayah yang berbeda. Pandangan yang membuatnya merasa kotor dan ingin bersembunyi. Suatu malam, ketika ibu tertidur di kamar bersama adik perempuannya, dan Dimas sudah terlelap, ayah masuk ke kamar Namira. Ia tidak melakukan banyak, tapi cukup untuk meninggalkan jejak luka yang tak pernah bisa Namira hapus dari tubuhnya.
Pagi harinya, ia mencoba bicara kepada ibu. Tapi ibu menatapnya seperti menatap dinding, dingin dan tak percaya.
“Jangan mengada-ada, Namira,” kata ibu pelan, nyaris berbisik. “Itu ayahmu. Kamu pasti salah paham.”
Hari itu, Namira belajar bahwa menjadi perempuan berarti seringkali suara kita dianggap kebohongan.
Sejak itu, ia menjauh dari ayah, memperkuat tembok dalam dirinya. Ia belajar lebih keras, membaca buku diam-diam saat malam, menulis di bawah selimut dengan cahaya dari senter kecil. Ia bermimpi keluar dari rumah itu. Tidak untuk membalas, tapi untuk hidup. Hidup yang layak, sebagai manusia utuh.
Di sekolah, ia sering diejek oleh teman laki-lakinya karena terlalu pintar. “Perempuan kok cita-citanya mau kuliah tinggi?” mereka tertawa. Tapi Namira tak menyerah. Ia tahu, pendidikan adalah pintu-pintu menuju kebebasan.
Namun beban di rumah terus bertambah. Ibu makin sering menyuruhnya mengurus adik-adik. Kadang, ibu menangis diam-diam di dapur, tapi tetap tak pernah menyentuh luka Namira. Dimas tumbuh makin berani berkata kasar pada Namira. “Kamu tuh perempuan, makanya jangan banyak atur. Lagian kamu cuma numpang hidup di sini,” katanya suatu malam. Ayah hanya mendengus dan menyalakan rokok.
Namira ingin teriak. Ingin kabur. Tapi ia hanya memeluk adik perempuannya yang tidur, dan berjanji: “Kita akan bebas suatu hari nanti.”
Hari itu datang perlahan. Saat SMA, Namira mendapat beasiswa ke luar kota. Ia hampir tak diizinkan pergi. Ayah menolak. Dimas mengejek. Tapi kali ini ibu berdiri untuk pertama kalinya. “Biarkan Namira pergi. Dia anak yang baik.”
Dengan air mata yang menggantung dan tas kecil berisi mimpi, Namira meninggalkan rumah itu. Di kota lain, ia belajar keras, bekerja sambilan, dan membangun kembali dirinya dari puing-puing luka.
****
Bertahun-tahun kemudian, Namira kembali ke rumah kecil itu. Kali ini bukan sebagai anak yang meminta ruang, tapi sebagai perempuan yang membawa ruang itu bersamanya. Ia sudah lulus kuliah, bekerja sebagai guru, dan menulis buku tentang kekerasan dalam keluarga.
Ketika ia berbicara di sebuah forum tentang pentingnya ruang aman bagi anak perempuan, seorang ibu mendekatinya sambil menangis. “Anakku juga mengalami hal yang sama, tapi aku diam. Terima kasih karena kamu bersuara.”
Namira tak pernah membenci ibunya. Ia tahu, ibunya juga korban dari sistem yang membungkam perempuan sejak dini. Tapi ia tak lagi ingin menjadi korban berikutnya. Ia menulis, berbicara, dan mendirikan ruang aman bagi anak perempuan di kotanya. Sebuah tempat untuk mendengar, memeluk, dan memulihkan.
Dimas kini telah dewasa. Mereka tak banyak bicara, tapi ketika ia melihat Namira di televisi, menyuarakan hak-hak perempuan, ia terdiam cukup lama. Mungkin malu, mungkin bingung. Tapi Namira tak lagi menunggu pengakuan darinya. Ia sudah berdamai dengan sunyi itu.
Malam itu, Namira duduk di beranda rumah masa kecilnya, di sebelah ibu yang kini sudah mulai menua. Mereka minum teh bersama, dan untuk pertama kalinya, ibu menggenggam tangan Namira dan berkata, “Maaf, dulu ibu tak melindungimu.”
Namira tersenyum kecil. Luka itu tak hilang, tapi ia sudah tumbuh akar di atasnya. “Sekarang, aku ingin pastikan tidak ada anak perempuan yang merasa sendirian seperti dulu,” ucap Namira.
Di rumah yang dulu sempit itu, kini ada ruang baru. Bukan karena temboknya diubah, tapi karena ada perempuan yang berani memperjuangkan ruang bagi dirinya, dan bagi semua perempuan yang pernah dibungkam oleh sunyi.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary