
Memang bukanlah hal yang mudah bisa menjejaki halaman terakhir pada buku yang lebih rumit jika dibaca. Sama seperti buku filsafat, yang harus dibaca dan dipahami berulang kali. Menariknya, pada lembaran awal terdapat beberapa episode indah. Pada episode kali ini tulisan duka dan lara sepertinya hilang sejenak dari kamus kehidupan.
Namun, aku selalu menitipkan rasa bahagia ini kepada sang pencipta kebahagiaan. Karena bisa jadi dalam sekejap saja mampu menjadikan sebaliknya. Bisa dikatakan ini adalah ‘butterfly era’ mungkin masalah tetap ada, tapi tidak diperlukan overthinking dalam menghadapinya. Berarti tidak seberat dan sebanyak pada tahun-tahun sebelumnya. Dan aku selalu menemukan solusinya.
Dan oh, ya.. di dalam episode ini selain always be happy ternyata ada ruang pengharapan, padahal sebenernya berharap pada manusia itu menyakitkan. Tapi aku membangun dan membuat ruang harap tersebut semakin menjadi luas.
Maka pada episode yang kedua ini beberapa konflik silih berganti berdatangan menghampiri. Selalu menyerang dari sisi manapun. Hingga akhirnya pertahanan pun mulai runtuh. Terjadilah pertikaian ego, saling mengalah, beradu argumen dengan emosi, melepas perpisahan, bertanggung jawab atas semua pilihan, berdamai dengan hati dan masih banyak lagi.
Part yang tidak akan pernah aku lupakan adalah ketika aku bersuara dengan tujuan menyuarakan hak aspirasi, memberikan kritik dan saran, maka pada saat itulah suaraku diangap sebagai cicitan tikus. Mereka yang merasa mempunyai jabatan yang lebih tinggi tak butuh saran, tak butuh kritikan. Mereka hanya butuh validasi basi. Berhadapan dengan orang-orang penting itu rasanya sama saja seperti berhadapan dengan limbah produksi. Yang merugikan masyarakat. Dan pada saat itulah kontrol emosional aku harus perlu dikendalikan. Dan aku harus berani mengambil resiko atas pilihan-pilihan yang telah dipilih.
Bertepatan dengan kejadian itu, aku harus merasakan kehilangan orang yang sudah 5 tahun aku perjuangkan. Kabar itu menyeruak, berisi tentang dirinya akan menikah. Bukan dengan aku, tapi dengan orang lain. Namun aku cukup menegenal siapa orangnya.
Aku menjauh. Memberikan jarak dan ruang untuk aku butuh sendiri. Awalnya memang aku masih bertanya-tanya, kenapa dia harus menikah dengan orang itu? tidak adakah yang lain wahai tuan?
Oke, di episode kedua ini makna keikhlasan dan melepaskan adalah makna yang sangat menyayat hati. Dengan berusaha tidak menyalahkan takdir, aku terus berupaya menerima semua ini. Karena Sang Sutradara lebih mengetahui pelakon-pelakon pilihan-Nya.
Lalu di akhir episode, ada pengalaman yang sangat bermanfaat. Aku mengisi pengajian anak muda. Yang dominan membutuhkan motivasi islami. Tema yang aku pilih adalah tentang kebahagiaan yang tidak perlu dicari. Karena kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri. Sepertinya mantra itu akan tertancap pada lembaran baru. Dalam forum pengajian, aku menceritakan sedikit perjalanan aku selama setahun ini. Tentang pesakitan yang telah aku alami dan tentang proses bagaimana aku bisa bangkit dan berdiri tegak lagi. Pada saat itu juga ada sepercik kebahagiaan; membagikan ilmu. Mereka sangat antusian mendengarkan dan memahami apa yang telah aku jelaskan.
Kepada peran-peran yang telah hadir dalam 365 hari ini, entah itu peran antagonis, protagonis, tritagonis atau yang lainnya. Terimakasih karena telah berperan sebaik-baik peran.
Tahun ini, rangkuman 365 lebih spesial daripada tahun sebelumnya. Seperti pohon yang tumbuh, semakin tinggi pohon makaakan semakin kuat angin yang mengguncangnya. Tapi ini bukan perihal angin.
Penulis: Nabila Rahayu